Bolehkah Melakukan Otopsi Pada Mayat?
Sejumlah lembaga memberikan fatwa soal hukum otopsi mayat.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA --Bedah mayat atau otopsi (jirahah at tasyrih) merupakan pemeriksaan tubuh mayat dengan jalan pembedahan untuk mengetahui penyebab kematian, penyakit, dan sebagainya. Namun bagaimana hukum otopsi dalam Islam?
Pakar fiqih yang juga pendiri Rumah Fiqih Indonesia, ustaz Ahmad Sarwat mengatakan dilihat dari kepentingannya, secara umum otopsi terbagi menjadi tiga macam. Pertama, otopsi forensik yaitu otopsi yang dilakukan oleh penegak hukum yang dilakukan terhadap mayat seseorang yang diduga meninggal akibat suatu sebab yang tidak wajar seperti pada kasus kecelakaan, pembunuhan, maupun bunuh diri.
Otopsi forensik dilakukan atas permintaan penyidik sehubungan dengan adanya penyidikan suatu perkara. Tujuan otopsi forensik adalah untuk memastikan identitas seseorang yang tidak diketahui atau belum jelas, untuk menentukan sebab pasti kematian, mekanisme kematian, dan saat kematian.
Selain itu untuk otopsi forensik juga bertujuan untuk mengumpulkan dan memeriksa tanda bukti untuk penentuan identitas benda penyebab dan pelaku kejahatan. Serta untuk membuat laporan tertulis yang objektif berdasarkan fakta dalam bentuk visum et repertum.
Kedua otopsi klinis, yaitu otopsi yang dilakukan untuk mengetahui berbagai hal yang terkait dengan penyakit. Misalnya jenis penyakit sebelum mayat meninggal. Otopsi klinis dilakukan untuk mengetahui sebab apa seseorang meninggal dunia.
Otopsi klinis dilakukan terhadap mayat seseorang yang diduga terjadi akibat suatu penyakit. Tujuannya untuk menentukan penyebab kematian yang pasti, menganalisa kesesuaian antara diagnosis klinis dan diagnosis postmortem, patogenesis penyakit, dan sebagainya. Biasanya otopsi klinis dilakukan dengan persetujuan tertulis ahli waris, atau dilakukan atas permintaan ahli waris.
Ketiga, otopsi anatomis yaitu otopsi yang dilakukan oleh mahasiswa kedokteran untuk mempelajari ilmu anatomi. Tujuannya semata-mata untuk ilmu pengetahuan.
Biasanya mayat yang dipakai adalah mayat yang dikirim ke rumah sakit dan tidak ada ahli waris yang mengakuinya. Setelah diawetkan di laboratorium anatomi, mayat disimpan sekurang-kurangnya satu tahun sebelum digunakan untuk praktikum anatomi sebagaimana hukum di Indonesia.
Namun terkadang seseorang dapat juga mewariskan mayatnya setelah meninggal untuk kepentingan ilmu pengetahuan.
Ustaz Sarwat menjelaskan tidak ditemukan dalil yang tegas (sharih) baik di dalam Alquran maupun hadits tentang otopsi mayat. Terdapat perbedaan pendapat di antara para ulama tentang hukum membedah perut mayat.
Para ulama di kalangan mazhab Hanafi menuliskan dalam kitab mereka tentang kebolehan membedah perut seseorang yang telah wafat dan diyakini di dalam perutnya ada harta benda. Dengan syarat harta di dalam perut mayat itu milik orang lain, sedangkan mayat itu tidak punya harta yang ditinggalkan untuk mengganti harta milik orang lain. Maka dibolehkan saat itu mengeluarkan harta dari perutnya untuk melunasi hak orang lain.
Ulama mazhab Syafi'i bahkan berpendapat kebolehan membedah perut mayat dan mengambil harta di dalamnya tidak harus dengan syarat untuk mengembalikan hak orang lain. Sekalipun bila harta itu milik si mayat hukumnya boleh dibedah dan diambil. Begitupun pendapat ulama Malikiyah tidak jauh berbeda.
Tetapi ulama mazhab Imam Ahmad menolaknya. Lebih lanjut para ulama juga berpendapat tentang membedah perut wanita hamil yang meninggal. Mazhab Hanafiyah dan Syafi'iyah mengatakan dibolehkan membedah perut wanita hamil yang meninggal asalkan diyakini janin yang ada di dalam perutnya masih hidup.
Namun mazhab Malikiyah dan Hanabilah tidak membolehkannya. Dari dalil dan ijtihad para ulama terdahulu tentang bedah mayat, para ulama modern mengambil kesamaan illat tentang bedah mayat.
"Ketika menetapkan hukum kebolehan untuk melakukan otopsi, sebagian besar ulama dan umumnya membolehkannya. Asalkan terpenuhi semua syarat dan ketentuannya. Namun ada juga sebagian lain yang mengharamkannya. Para ulama yang membolehkan otopsi beralasan bahwa alasan otopsi diperlukan secara nyata, antara lain untuk mewujudkan kemaslahatan di bidang keamanan, keadilan dan kesehatan," kata ustaz Satwat dalam kajian fiqih kontemporer Sekolah Fiqih-Rumah Fiqih Indonesia beberapa hari lalu
Sementara itu di antara beberapa lembaga fatwa yang telah mengeluarkan fatwa bolehnya otopsi seperti Hal'ah Kibaril Ulama Kerajaan Arab Saudi, Majma' Fiqih Islami Makkah, Lajnah Al Ifta' Jordan, Lajnah Al Ifta' Jordan Al Azhar Mesir. Sedangkan ulama yang memfatwakan haram melakukan otopsi beralasan bahwa otopsi melanggar kehormatan mayat berdasarkan hadits nabi tentang larangan merusak tulang mayat seorang Muslim.