Serukan Pembebasan Al Aqsa, Tokoh Tionghoa: Jika Korbannya Muslim Semua Diam
Pembebasan Al-Aqsa dan Palestina adalah isu kemanusiaan tak sekadar Islam
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Tepat 2 Oktober 1187, kiblat pertama umat Islam tersebut dibebaskan Sultan Shalahudin Al Ayyubi secara damai setelah sebelumnya dikuasai oleh pihak lain.
Untuk mengenang sekaligus mempelajari ulang peristiwa gemilang tersebut, KNRP mengadakan serangkaian kegiatan, salah satunya webinar bertema Strategi Membebaskan Baitul Maqdis di Era Modern dengan mengundang pakar sejarah Asep Sobari.
Menurut pendiri Sirah Community Indonesia ini, masalah Palestina bukan sekadar invasi pendudukan asing atas sebuah wilayah negara.
“Masalah jatuhnya Baitul Maqdis bukanlah sekedar kekalahan militer, lemahnya pasukan atau lemahnya kekuasaan. Ini adalah masalah internal umat Islam dan generasi saat itu mampu mendiagnosa penyakit-penyakit umat, yang karena penyakit tersebut para agresor asing pun datang dan menang,” tutur Asep dalam paparannya, Ahad (2/10/2022).
Menurut alumnus Universitas Islam Madinah tersebut, umat Islam saat ini memiliki kelayakan untuk dijajah. Dilihat dari konteks global, masalah Palestina tidak lagi menjadi isu prioritas, melainkan menjadi isu pinggiran oleh kaum muslimin sendiri.
“Negara-negara Arab yang berada di sekitar Palestina tidak menjadikan ini sebagai agenda utama. Bahkan Uni Emirat Arab pun sudah melakukan normalisasi dengan Zionis. Jadi, masalah utama bukanlah adanya penjahah, tapi karena kesiapan umat Islam itu sendiri untuk dijajah,” kata dia, dalam keterangannya, Selasa (4/10/2022).
Asep menambahkan, keberhasilan Shalahudin Al Ayyubi merebut Palestina setelah diduduki 88 tahun bukanlah proses yang instan.
“Dia bukan sosok yang muncul tiba-tiba dari langit. Dia adalah generasi ketiga dari dua generasi sebelumnya yang melakukan estafet untuk memberikan perhatian besar terhadap Palestina sejak ditaklukkan penjajah pada 1099. Generasi-generasi tersebut merawat cita-cita, gagasan dan agenda pembebasan Baitul Maqdis hingga sampai pada generasi Shalahudin.”
Menurut alumni Gontor ini, masyarakat Muslim tidak punya kesadaran standar tentang isu Palestina. Dibutuhkan modul yang bisa mengukur tingkat kesadaran masyarakat mengenai masalah ini. “KNRP perlu merumuskan standarisasi pengetahuan masyarakat Indonesia terhadap Palestina.”
Secara terpisah, tokoh Tionghoa yang aktif membela Palestina, Lieus Sungkharisma, menegaskan bahwa pemerintah harus lebih proaktif dalam memperjuangkan hak-hak warga Palestina di pentas global. Sangat tidak masuk akal jika di zaman modern seperti sekarang masih ada penjajahan dan dunia diam.
“Saya terkadang melihat adanya ketidakadilan yang sedang berlaku di dunia saat ini. Kalau korbannya non Muslim, maka dunia bergerak. Namun kalau korbannya Muslim, yang bergerak hanya umat Islam. Itu pun tidak semuanya,” tutur Koordinator KomTak ( Komunitas Tionghoa Anti Korupsi) tersebut.
Baca juga: Mualaf Sujiman, Pembenci Adzan dan Muslim yang Diperlihatkan Alam Kematian
Sebagai penganut agama Budha yang taat, tambah Lieus, membela kaum yang lemah tanpa memandang suku dan agama adalah inti ajarannya.
“Wajar kalau saya ikut membela Palestina. Karena ini adalah isu kemanusiaan yang kebetulan korbannya adalah Muslim.”
Dia pun menyarankan pentingnya keberadaan lembaga-lembaga yang ikut berperan serta membantu rakyat Palestina untuk merdeka dan menentukan nasibnya sendiri seperti bangsa-bangsa lain di dunia. “Seperti Indonesia yang dulu kemerdekaannya juga didukung oleh bangsa Palestina,” tutur dia.