OPEC+ Sepakat Pangkas Produksi Minyak

Pengurangan pasokan minyak ini dapat memacu pemulihan harga minyak

AP Photo/Hassan Ammar
OPEC+ menyetujui pengurangan produksi minyak 2 juta barel per hari (bph) sama dengan 2 persen dari pasokan global.
Rep: Dwina Agustin Red: Esthi Maharani

REPUBLIKA.CO.ID, WINA -- Organisasi Negara-Negara Pengekspor Minyak Bumi dan sekutu (OPEC+) menyetujui pengurangan produksi minyak pada Rabu (5/10/2022). Pemimpin de facto OPEC Arab Saudi mengatakan, pemotongan produksi 2 juta barel per hari (bph) sama dengan 2 persen dari pasokan global.

Keputusan itu diambil dengan pertimbangan untuk menanggapi kenaikan suku bunga di Barat dan ekonomi global yang lebih lemah. Menteri Energi Saudi Abdulaziz bin Salman mengatakan, OPEC+ perlu proaktif karena bank sentral di seluruh dunia bergerak untuk mengatasi inflasi yang melonjak dengan suku bunga yang lebih tinggi.

Pemotongan produksi sebesar 2 juta barel per hari didasarkan pada angka-angka dasar yang ada. Artinya pemotongan tersebut tidak akan terlalu dalam karena OPEC+ turun sekitar 3,6 juta barel per hari dari target produksinya pada Agustus.

Kurangnya produksi terjadi karena sanksi Barat terhadap negara-negara seperti Rusia, Venezuela dan Iran dan masalah produksi dengan produsen seperti Nigeria dan Angola. Pangeran Abdulaziz mengatakan, pemotongan sebenarnya adalah 1,0-1,1 juta barel per hari.  

Pengurangan pasokan minyak yang diputuskan di Wina ini dapat memacu pemulihan harga minyak yang telah turun menjadi sekitar 90 dolar AS dari 120 dolar AS pada tiga bulan lalu.

Saudi menolak kritik bahwa organisasi itu berkolusi dengan Rusia yang termasuk dalam kelompok OPEC+ untuk mendorong harga lebih tinggi. Saudi mengatakan, Barat sering didorong oleh arogansi kekayaan ketika mengkritik kelompok tersebut.  

Gedung Putih mengatakan Presiden Amerika Serikat (AS) Joe Biden akan terus menilai apakah akan merilis stok minyak strategis lebih lanjut untuk menurunkan harga. "Presiden kecewa dengan keputusan picik OPEC+ untuk memangkas kuota produksi sementara ekonomi global menghadapi dampak negatif lanjutan dari invasi (Presiden Rusia Vladimir) Putin ke Ukraina," kata Gedung Putih.

Barat telah menuduh Rusia mempersenjatai energi dengan melonjaknya harga gas dan perebutan untuk menemukan alternatif menciptakan krisis di Eropa yang dapat memicu penjatahan gas dan listrik musim dingin ini. Sementara itu, Moskow menuduh Barat mempersenjatai dolar dan sistem keuangan seperti mekanisme pembayaran internasional SWIFT sebagai pembalasan atas pengiriman pasukan Rusia ke Ukraina pada Februari.

Wakil Perdana Menteri Rusia Alexander Novak termasuk dalam daftar sanksi khusus oleh AS pada pekan lalu. Dia melakukan perjalanan ke Wina untuk berpartisipasi dalam pertemuan karena tidak berada di bawah sanksi Uni Eropa. Dia dan anggota OPEC+ lainnya sepakat untuk memperpanjang kesepakatan kerja sama dengan OPEC satu tahun lagi hingga akhir 2023.

Pertemuan OPEC+ berikutnya akan berlangsung pada 4 Desember. OPEC+ akan pindah ke pertemuan setiap enam bulan, bukan pertemuan bulanan.


sumber : AP
BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Berita Terpopuler