Pemimpin Taiwan: Konflik Bersenjata dengan China Bukan Pilihan
Pemimpin Taiwan Tsai Ing-wen berkomitmen tingkatkan pertahanan Taiwan
REPUBLIKA.CO.ID, TAIPEI - Pemimpin Taiwan Tsai Ing-wen pada Senin (10/10/2022) mengatakan bahwa dia berkomitmen untuk meningkatkan kemampuan pertahanan Taiwan. Akan tetapi konfrontasi bersenjata dengan China sama sekali bukan pilihan meskipun ketegangan meningkat di antara keduanya.
Dalam pidato untuk menandai peringatan 111 tahun berdirinya Republik China, sebagaimana Taiwan menyebut dirinya, Tsai mengatakan pemerintahannya bersedia bekerja dengan Beijing dan yang mereka butuhkan adalah rasa saling menghormati.
Pernyataan Tsai yang menyerukan dialog berdasarkan rasionalitas dan kesetaraan itu disampaikan saat hubungan Taiwan dan China semakin tegang sejak kunjungan tingkat tinggi Ketua DPR Amerika Serikat Nany Pelosi ke Taiwan pada Agustus. Militer China mengadakan latihan besar di dekat selat Taiwan sesudah kunjungan Pelosi.
"Saya ingin menjelaskan kepada pihak berwenang Beijing bahwa mempersenjatai konfrontasi sama sekali bukan pilihan bagi kedua belah pihak," kata Tsai. Pernyataan itu diungkapkan menjelang pembukaan kongres Partai Komunis China, yang diadakan lima tahun sekali, pada Ahad (16/10/2022).
Pada Kongres Partai Komunis China, Xi Jinping secara umum diperkirakan akan memenangkan masa jabatan presiden selama lima tahun untuk ketiga kalinya, peristiwa yang belum pernah terjadi sebelumnya. "Hanya dengan menghormati komitmen rakyat Taiwan terhadap kedaulatan, demokrasi, dan kebebasan, maka akan ada dasar untuk melanjutkan interaksi konstruktif di Selat Taiwan," ujar Tsai.
Dia juga mengatakan sangat disesalkan bahwa tindakan Beijing baru-baru ini telah mengancam status quo perdamaian dan stabilitas di kawasan itu. Meskipun ada beberapa pandangan yang berbeda tentang China di tengah masyarakat Taiwan, konsensus terluas di antara warga dan partai politik di pulau itu adalah bahwa kedaulatan dan cara hidup yang bebas dan demokratis harus dipertahankan.
"Pada titik ini, kami tidak memiliki ruang untuk kompromi," kata Tsai.
Dia menambahkan Taiwan perlu melakukan penguatan kemampuan pertahanan diri, seperti melalui produksi massal rudal presisi dan kapal canggih angkatan laut. China bereaksi dingin terhadap pidato Tsai itu.
Juru bicara Kementerian Luar Negeri China Mao Ning mengatakan pada konferensi pers di Beijing akar penyebab ketegangan lintas selat saat ini adalah kebijakan pemerintah Tsai untuk mengupayakan kemerdekaan Taiwan. "Pertanyaan Taiwan menyangkut kedaulatan dan integritas teritorial China," kata Mao.
"Kami akan menciptakan ruang yang cukup untuk reunifikasi damai tetapi tidak pernah memberikan ruang untuk kegiatan separatis kemerdekaan Taiwan," ujarnya.
China dan Taiwan telah diperintah secara terpisah sejak keduanya berpisah pada 1949 akibat perang saudara. Beijing menganggap Taiwan sebagai provinsi yang memisahkan diri dan menunggu untuk dipersatukan kembali, secara paksa jika perlu.
Pada 2019, Presiden Xi mengusulkan untuk mengeksplorasi model pemerintahan "satu negara, dua sistem" seperti yang diterapkan di Hong Kong, untuk versi Taiwan. Namun, pemimpin Taiwan Tsai telah menjelaskan dia tidak akan terlibat dalam pembicaraan di bawah gagasan seperti itu.
Saat berbicara untuk peringatan Hari Nasional Taiwan, Tsai menggunakan kata "ketahanan" berkali-kali dan menggambarkan sifat itu sebagai hal yang vital untuk masa depan Taiwan, secara ekonomi dan sosial, serta untuk keamanan pulau itu. Tsai mengatakan membangun "ketahanan demokratis" adalah kunci untuk menjaga Taiwan.
"Kita dapat memiliki posisi yang berbeda, dan kita dapat berdebat satu sama lain. Akan tetapi kita harus dengan suara bulat dan tegas berdiri di belakang sistem yang bebas dan demokratis, tidak peduli seberapa besar tekanan eksternal yang kita hadapi," katanya.
Untuk membuat Taiwan lebih tangguh di segala bidang di era pasca-Covid-19, Tsai mengatakan Taiwan harus memperdalam kerja sama internasional dan hubungan dengan para sekutu demokratis.