AS Jatuhkan Sanksi Baru kepada Taliban

Sanksi dari AS berkaitan dengan perlakuan Taliban terhadap perempuan di Afghanistan.

AP/Felipe Dana
Anak-anak perempuan bersiap untuk kelas di sebuah sekolah di Kabul, Afghanistan. Amerika Serikat (AS) kembali menjatuhkan sanksi kepada Taliban. Sanksi tersebut berkaitan dengan perlakuan Taliban terhadap kaum perempuan di Afghanistan.
Rep: Kamran Dikarma Red: Esthi Maharani

REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON – Amerika Serikat (AS) kembali menjatuhkan sanksi kepada Taliban. Sanksi tersebut berkaitan dengan perlakuan Taliban terhadap kaum perempuan di Afghanistan.

Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken mengungkapkan, sanksi terbaru bagi Taliban adalah pembatasan visa bagi para anggota dan mantan anggota kelompok tersebut yang terlibat dalam penindasan kaum perempuan Afghanistan lewat kebijakan pembatasan serta kekerasan.

“Sebagai contoh suram, selama lebih dari satu tahun, Afghanistan tetap menjadi satu-satunya negara di dunia di mana anak perempuan secara sistematis dilarang bersekolah di luar kelas enam, tanpa tahu sampai kapan,” kata Blinken saat berpidato dalam rangka memperingati Hari Internasional Anak Perempuan PBB, Selasa (11/10/2022), dilaporan Al Arabiya.

Akhir bulan lalu, Wakil perwakilan PBB di Afghanistan, Markus Potzel, mengungkapkan, dunia bisa kehilangan kesabaran dalam menghadapi pemerintahan Taliban di Afghanistan. Hal itu karena hingga kini Taliban belum menunjukkan tanda-tanda akan memberikan akses pendidikan bagi kaum perempuan di sana plus adanya dugaan tentang masih terjalinnya hubungan antara kelompok tersebut dan al-Qaeda.

“Saya khawatir kesabaran banyak orang di komunitas internasional akan habis untuk strategi keterlibatan dengan Taliban Afghanistan,” kata Potzel saat berbicara di Dewan Keamanan PBB, 27 September lalu.

Sebelumnya Potzel juga sempat menyerukan Taliban agar membentuk pemerintahan inklusif agar bisa memperoleh pengakuan dari dunia internasional.

“Pertama-tama, ini perlu bahwa pemerintahan memperoleh pengakuan domestik. Itu artinya berdasarkan pemilu, berdasarkan referendum atau berdasarkan Loya-Jirga,” kata Potzel, dikutip laman Asian News International, 4 September lalu.

Loya jirga merupakan pertemuan tradisional tetua suku Afghanistan dan pemangku kepentingan lainnya yang terkadang diadakan untuk memutuskan masalah kontroversial. Selain soal politik, Potzel turut menyoroti kondisi ekonomi dan sosial yang memburuk di Afghanistan. Dia menekankan, pemerintahan saat ini yang dijalankan Taliban harus memperhatikan hal tersebut. “Situasi ekonomi dan sosial Afghanistan sangat lemah,” ucapnya.

Potzel juga menyampaikan keprihatinannya karena kurangnya konstitusi di Afghanistan. "Kita lihat bahwa tidak ada rencana dan tidak ada konstitusi serta tidak ada hukum yang lain,” ujarnya.


Baca Juga


Pada Agustus lalu Taliban menyerukan masyarakat internasional untuk mengakui mereka sebagai representasi pemerintahan yang sah di Afghanistan. Seruan itu disampaikan saat Taliban memperingati satu tahun penarikan total pasukan AS dari negara tersebut.

“Pengalaman selama 20 tahun terakhir dapat menjadi panduan yang baik. Segala jenis tekanan serta ancaman terhadap rakyat Afghanistan dalam 20 tahun terakhir telah gagal dan hanya meningkatkan krisis,” kata Taliban dalam sebuah pernyataan, 31 Agustus lalu.

Taliban pun menegaskan bahwa Imarah Islam adalah pemerintahan yang sah dan perwakilan dari rakyat Afghanistan. Imarah Islam adalah nama yang diberikan Taliban untuk pemerintahan mereka setelah berhasil merebut kembali Afghanistan pada 15 Agustus tahun lalu.

AS menarik seluruh pasukannya dari Afghanistan pada 30 Agustus 2021. Pasukan Negeri Paman Sam sudah beroperasi selama 20 tahun di Afghanistan, tepatnya pasca serangan teror terhadap gedung World Trade Center di New York pada 11 September 2001. Sebelum Taliban kembali berkuasa, AS merupakan sekutu utama pemerintahan Afghanistan dalam memerangi Taliban.

Hingga kini, belum ada satu pun negara yang mengakui pemerintahan Taliban. Belum diperlihatkannya komitmen untuk memenuhi hak dasar warga Afghanistan, khususnya kaum perempuan, dinilai menjadi salah satu alasan mengapa masyarakat internasional belum memberi pengakuan kepada Taliban.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler