Sebut KDRT Masalah Kompleks, Ini Saran Psikolog

Korban KDRT tak bisa langsung meninggalkan pelaku, dibutuhkan berbagai persiapan.

abc news
Kasus KDRT (ilustrasi). Psikolog menyebut KDRT adalah masalah kompleks.
Rep: Rr Laeny Sulistyawati Red: Friska Yolandha

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Staf Pengajar Fakultas Psikologi Universitas Indonesia (UI)sekaligus psikolog klinis Adriana Soekandar Ginanjar menilai kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) adalah masalah kompleks. Korban KDRT tak bisa langsung meninggalkan pelaku, dibutuhkan berbagai persiapan.

Baca Juga


"Mungkin bagi orang awam yang melihat ketika ada pasangan kemudian suaminya semena-mena melakukan kekerasan fisik, kekerasan verbal, kekerasan ekonomi yaitu diporotin memang logikanya ditinggal saja daripada hidup dengan orang seperti itu. Tetapi tak sederhana begitu melepaskan pelaku kemudian (masalah) selesai, tidak begitu juga pada kenyataannya," ujarnya saat dihubungi Republika.co.id, Sabtu (15/10/2022).

Masalah ini kompleks karena harus ada persiapan korban. Misalnya menguatkan diri atau menyiapkan pekerjaan atau ekonomi. Sebab, dia melanjutkan, secara psikologis ini menyangkut faktor pelaku KDRT kebanyakan punya kekuatan lebih tinggi. Artinya ketika ada KDRT juga ada ancaman misalnya kalau meninggalkan akan tak jadi apa-apa. Atau bisa juga pelaku merendahkan kemampuan pasangannya misalnya bisa apa tanpa dirinya. 

Kemudian, muncul kata-kata kekerasan verbal katanya kasar dan merendahkan seperti bodoh, atau tak bisa apa-apa. Ini akhirnya pihak korban menjadi semakin tidak percaya diri dan merasa bahwa apa yang dikatakan pelaku kemungkinan besar betul. 

"Sehingga, dengan kecemasan seperti itu, dia (korban) tidak tahu caranya hidup tanpa pasangan (pelaku)," ujarnya.

Tak hanya itu, Adriana mengakui seringkali korban juga punya keyakinan bahwa kalau diberikan kasih sayang, kesabaran maka kondisi pelaku akan membaik. Apalagi kalau ada pesan dari lingkungan keluarga korban, misalnya ibunya jadi korban KDRT dan meminta korban bersabar saja karena pelaku tetap kembali ke rumah dan istri. Adriana mengakui, nasehat semacam ini mencerminkan peran gender kuat dimana perempuan harus mengalah dan mengasihi. 

"Ini yang membuat korban mementingkan pasangan dibandingkan yang dia alami," katanya.

 

Kendati demikian, ia mengakui bisa saja pelaku melakukan KDRT pada anak, anak menjadi trauma melihat kekerasan atau bahkan meniru tindakan pelaku dan meniĺai KDRT untuk menyelesaikan masalah.

"Jadi, yang perlu dilakukan bukan hanya menyarankan ditinggalkan atau (dimasukkan) dalam penjara. Tetapi sebelum itu terjadi harus ada penguatan dulu pada korban," katanya.

Artinya, dia melanjutkan, korban perlu diberitahu bagaimana hidup tanpa pasangan, misalnya dari faktor ekonomi. Dia menambahkan, kalau kebetulan korban bekerja maka tak masalah dan bisa ditinggal, apalagi punya rumah.

Tetapi kalau kondisi sebaliknya tidak bekerja dan penghasilannya sedikit maka bingung karena memikirkan bagaimana anaknya, tinggal di mana padahal perjalanan anak masih panjang. Tentu korban yang kebanyakan perempuan yang tidak bekerja akan berpikir, apalagi kalau suaminya terpandang atau penghasilannya besar maka takut jika lepas. 

Atau bisa juga memikirkan anaknya disayang, hanya korban yang dipukul. Kemudian, korban berpikir nanti kondisi anaknya bagaimana jika ia berpisah dengan pelaku. Selain itu, ia mengingatkan tak jarang pelaku yang tak bisa menahan amarah dan setelah memukul kemudian mengiba minta maaf dan berlaku sangat manis dan mengasihi karena seringkali pelaku KDRT menjadi korban di masa kecil.

Jadi, banyak juga korban yang merasa kasihan karena pelaku dinilai khilaf atau bukan kesalahannya 100 persen atau tak melakukannya dengan sengaja. Adriana juga meminta dilihat secara psikologis juga harus dilihat apa yang menyebabkan korban tertarik dan selama ini mengapa tidak minta bantuan.

Bisa juga rasa malu kalau sampai keluarga korban atau teman-temannya tahu. Walaupun pelakunya bukan dia tetapi seringkali tindakan KDRT membuat korban juga malu.

"Jadi, korban KDRT perlu pendampingan pihak keluarga atau sahabat untuk mendukung korban, bahkan kalau diperlukan dukungan profesional seperti psikolog," katanya.

Kemudian, bagaimana korban juga membawa anak-anaknya untuk menghadapi trauma. Bahkan, tak menutup kemungkinan butuh pendampingan profesional seperti psikolog atau bantuan guru untuk menghadapi anak pelaku KDRT.

"Apapun yang diputuskan adalah yang terbaik," katanya. 

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Berita Terpopuler