Peran Perempuan dalam Politik China Menurun di Bawah Xi Jinping

Kesenjangan gender dalam angkatan kerja semakin melebar dan suara feminis diberangus.

AP/Ju Peng/Xinhua
Dalam foto yang dirilis oleh Kantor Berita Xinhua, Presiden China Xi Jinping menyampaikan pidato pada upacara pembukaan Kongres Nasional ke-20 Partai Komunis China yang berkuasa di Beijing, China, Ahad, 16 Oktober 2022. China pada hari Minggu membuka dua kali- konferensi partai satu dekade di mana pemimpin Xi Jinping diperkirakan akan menerima masa jabatan lima tahun ketiga yang melanggar preseden baru-baru ini dan menetapkan dirinya sebagai politisi China paling kuat sejak Mao Zedong.
Rep: Rizky Jaramaya Red: Esthi Maharani

REPUBLIKA.CO.ID, BEIJING -- Peran perempuan dalam politik di China selama pemerintahan Presiden Xi Jinping menurun. Selain itu, kesenjangan gender dalam angkatan kerja semakin melebar dan suara feminis juga telah diberangus.

Para analis mengatakan, pemerintahan Xi semakin menekankan nilai peran tradisional bagi perempuan sebagai ibu dan pengasuh. Berbeda dengan bapak pendiri Republik Rakyat China,
Mao Zedong, yang mengatakan "wanita memegang separuh langit" dan kesetaraan gender diabadikan dalam konstitusi negara.

Seorang pengamat politik China di Brookings Institution, Cheng Li, mengatakan, di bawah pemerintahan Xi, kekuasaan telah menjadi jauh lebih terkonsentrasi. Berbeda dengan 10 hingga 15 tahun lalu ketika koalisi yang bersaing dalam politik China berusaha untuk mendapatkan dukungan dari perempuan.

"Ketika itu lebih banyak perwakilan perempuan (dalam politik). Trennya (sekarang) biasanya perempuan menjabat sebagai deputi atau lebih simbolis,” ujar Cheng.

Partai Komunis China menggelar kongres ke-20 yang dibuka pada Ahad (16/10/2022). Kongres yang diadakan setiap lima tahun ini akan memilih anggota Komite Tetap Politbiro atau komite elite partai. Hampir semua anggota komite diisi oleh laki-laki. Satu-satunya kandidat perempuan yang akan masuk dalam anggota Komite Politbiro adalah Shen Yiqin. Dia merupakan seorang ketua Partai Komunis China di sebuah provinsi.  

Saat ini, satu-satunya anggota perempuan di Komite Politbiro adalah Sun Chunlan (72 tahun) yang diperkirakan akan pensiun. Sun telah memelopori kebijakan nol-Covid-19 di China. Dalam hierarki partai, jumlah perempuan di komite pusat mencapai 8 persen atau sekitar 30 posisi dari total 371 anggota penuh. Jumlah tersebut turun dari 10 persen pada 2007. Sementara itu, dari 31 gubernur tingkat provinsi China, hanya dua perempuan yang menjabat sebagai gubernur.  

Kurangnya politisi perempuan senior tampaknya bertentangan dengan dorongan luas oleh Partai Komunis untuk meningkatkan keterwakilan Perempuan, yang melihat proporsi anggota partai perempuan naik menjadi 29 persen pada 2021, naik dari 24 persen pada 2012.

Perempuan mempunyai peran signifikan dalam bidang lain di China, terutama bisnis. Menurut laporan oleh penyedia indeks global MSCI, sebanyak 13,8 persen perempuan menduduki dewan direksi di perusahaan China tahun lalu. Jumlah tersebut naik dari 8,5 persen pada 2016. Sementara itu, sekitar 55 persen perusahaan rintisan teknologi China didirikan oleh perempuan. Namun, para ahli mengatakan, kurangnya kepemimpin perempuan di pemerintahan merupakan kemunduran nyata bagi perempuan.

"Ini benar-benar menyaring hal-hal yang kita lihat di masyarakat, hak-hak perempuan, tingkat kelahiran, kesenjangan upah gender dan hal-hal seperti kekerasan dalam rumah tangga," kata seorang analis di Mercator Institute for China Studies, Valaria Tan.

Badan pemerintah China yang bertanggung jawab atas hak-hak perempuan, Federasi Perempuan, tidak menanggapi permintaan komentar Reuters. Menurut pernyataan Federasi Perempuan di situs websitenya pada 27 September, China telah membuat kemajuan yang stabil dalam perjuangan perempuan selama dekade terakhir. Federasi itu mengatakan, perempuan di China menikmati hak yang sama.

China sekarang berada di peringkat 102 dalam peringkat kesenjangan gender Forum Ekonomi Dunia dari 146 negara. Peringkat itu merosot dari posisi ke-69 pada 2012.

"Lingkungan pasti semakin buruk, tidak berarti bahwa itu baik sebelumnya, itu selalu buruk. Sikap saya saat ini terhadap karier saya adalah menghasilkan cukup uang untuk bertahan hidup," ujar seorang karyawan perempuan, Grace Wang (28 tahun).

Desember lalu, China merombak undang-undang untuk memberikan lebih banyak perlindunganng bagi perempuan terhadap diskriminasi dan pelecehan seksual di tempat kerja. Kendati demikian, para ahli dan aktivis prihatin dengan peningkatan retorika pemerintah tentang nilai peran tradisional perempuan saat berupaya mengatasi krisis demografis di China. China adalah salah satu negara dengan tingkat kelahiran terendah di dunia. Sebagian besar warga China di usia produktif enggan memiliki anak, sementara populasi yang menua bertambah.


Baca Juga


Dalam pidato pada Juli 2021,  Xi berbicara tentang pentingnya kesetaraan gender. Tetapi di sisi lain, Xi juga mengatakan, perempuan China harus menjadi "istri yang baik, dan ibu yang baik". Menurut Xi, mereka harus memikul "misi pada zaman mereka, menghubungkan masa depan dan takdir mereka dengan masa depan dan takdir ibu pertiwi".  

Para ahli juga menunjukkan kemunduran yang lebih nyata bagi hak-hak perempuan. Otoritas Keaehatan Nasional pada Agustus mengatakan, China akan melarang aborsi yang tidak diperlukan secara medis. Larangan ini memicu kecaman di media sosial.  Demikian pula, undang-undang baru yang memberlakukan periode pendinginan 30 hari setelah mengajukan perceraian. Aturan ini memicu kemarahan yang meluas, termasuk oleh kelompok-kelompok yang peduli terhadap korban kekerasan dalam rumah tangga.

Aktivis feminis mendapatkan daya tarik di China pada tahun 2018. Mereka menggencarkan kampanye dengan tagae #MeToo. Namun gerakan ini dengan cepat dibatalkan oleh pemerintah. Berbagai macam acara maupun diskusi yang berkaitan dengan gerakan feminisme telah dibubarkan. Bahkan sejumlah aktivis ditangkap.

"Gerakan feminis saat ini sangat lemah dan tidak memiliki kebebasan untuk berkembang. Banyak gerakan sosial telah dibungkam dan perempuan tidak memiliki kehendak bebas," kata Lu Pin, seorang aktivis dan pendiri saluran media online China, Feminist Voices yang sekarang berbasis di New York.





sumber : Reuters
BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Berita Terpopuler