Pencemaran Pelarut Obat Cair Jadi Penyebab Gangguan Ginjal Akut Anak

Pelarut obat cair menimbulkan zat kimia berbahaya.

EPA-EFE/BAGUS INDAHONO
Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan RI Prof Dr Muhadjir Effendy (kanan) didampingi Walikota Bogor Bima Arya (2-L) dan Dinas Kesehatan Bogor, Dr Sri Nowo Retno, MARS (L) , memeriksa Rumah Sakit Palang Merah di Bogor, Jawa Barat, Indonesia, 22 Oktober 2022. Kementerian Kesehatan dan Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) mengumumkan larangan semua sirup resep dan obat cair dan penjualan bebas menyusul laporan lebih dari 240 kasus dari 22 provinsi dengan jumlah kematian lebih dari 130 anak akibat cedera ginjal akut tahun ini.
Red: Nora Azizah

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Kesehatan (Menkes) Budi Gunadi Sadikin menjelaskan gangguan ginjal akut progresif atipikal pada anak disebabkan adanya pencemaran dari pelarut dalam obat cair sehingga menimbulkan zat kimia berbahaya. "Jadi memang zat kimia yang berbahaya ini merupakan impurities (pencemaran) dari pelarut pembantunya, pelarut pembantu ini memang sudah lama dipakai, bukan hanya di industri obat," katanya, di Istana Kepresidenan Bogor, Jawa Barat, Senin (24/10/2022).

Baca Juga


Zat pelarut tersebut, katanya, memang sudah jamak dipakai di berbagai industri. Namun, karena tercemar, zat pelarut itu menghasilkan senyawa kimia yang berbahaya.

"Banyak yang bertanya, kok dulu tidak apa-apa, sekarang jadi seperti ini. Penyebabnya impurities atau pencemaran ini. Saya sudah tanya pada ahlinya, paling besar penyebabnya adalah dari bahan baku," katanya.

Dia mengaku sudah berkoordinasi dengan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) untuk melihat perubahan dari jenis, tipe, dan asal setiap bahan baku obat cair. "Kita sudah ada datanya, pergeseran dari negara mana, impor mana bahan baku itu terjadi. Saya akan sampaikan pada kesempatan khusus," ujar dia.

Hingga Senin, Menkes Budi memaparkan sudah ada 245 kasus gangguan ginjal akut progresif atipikal (Acute Kidney Injury/AKI) di 26 provinsi di Indonesia dengan tingkat kematian mencapai 57,6 persen yang terdeteksi pihaknya. Terdapat delapan provinsi yang akumulasi kasusnya mencapai hingga 80 persen dari total temuan nasional, yakni DKI Jakarta, Jawa Barat, Aceh, Jawa Timur, Sumatera Barat, Bali, Banten, dan Sumatera Utara.

 

Tingkat fatalitas hingga menyebabkan meninggal dunia dari jumlah itu mencapai 141 kasus atau 57,6 persen.

sumber : Antara
BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler