Gagal Ginjal Akut Anak Merebak, Kinerja BPOM Dipertanyakan dan Diminta Ikut Tanggung Jawab

Kinerja pengawasan pre-market dan post-market obat sirup oleh BPOM dipertanyakan.

ANTARA/Asprilla Dwi Adha
Kepala Badan POM Penny K Lukito memberikan keterangan pers hasil pengawasan BPOM terkait obat sirup di Kantor BPOM, Jakarta, Ahad (23/10/2022). Hingga Selasa (25/10/2022), Kemenkes melaporkan total kasus gangguan ginjal akut pada anak 255 kasus tersebar di 26 provinsi, di antaranya 143 anak meninggal. (ilustrasi)
Red: Andri Saubani

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Dian Fath Risalah, Dessy Suciati Saputri

Baca Juga


Komunitas Pasien Cuci Darah Indonesia (KPCDI) menyoroti kinerja dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) di balik merebaknya kasus gagal ginjal akut pada anak. Kasus ini diduga karena adanya zat ethylene glycol (EG), diethylene glycol (DEG), dan ethylene glycol butyl ether (EGBE) di dalam obat sirup cair yang selama ini beredar luas di masyarakat.

Ketua Umum KPCDI, Tony Richard Samosir menyayangkan hingga saat ini 143 anak meninggal akibat gagal ginjal akut. Hal ini menggambarkan bahwa fatality rate kasus ini sangat tinggi atau di atas 50 persen dari jumlah yang dilaporkan sejauh ini yakni 255 kasus di seluruh Indonesia. Kemungkinan data ini akan terus bertambah dalam beberapa hari ke depan.

Jika benar kejadian besar ini terjadi karena kandungan zat yang berada di dalam obat-obatan, menurut Tony, selain industri farmasi ikut bertanggung jawab terhadap keamanan dan mutu obat, BPOM sebagai pemangku kepentingan dalam hal ini pun harus ikut bertanggung jawab juga. Di mana salah satu tugas dan fungsi BPOM adalah mengeluarkan izin edar obat atau makanan hingga dapat dikonsumsi oleh masyarakat secara aman.

“Kita juga tahu bahwa BPOM tugasnya melakukan pengawasan pre-market dan post-market. Mereka juga menjadi pihak yang melakukan uji laboratorium guna mengetahui apakah obat sirup ini telah memenuhi syarat keamanan,” kata Tony di Jakarta, Selasa (25/10/2022).

Atas dasar itu, Tony mempertanyakan bagaimana mekanisme kerja BPOM dalam memeriksa kandungan, komposisi, dan izin edar dari obat dan makanan yang dikonsumsi masyarakat. Bahayanya, bagi Tony jika pemeriksaan ini dilakukan tidak rutin sehingga hal ini dapat terjadi, dan tidak menutup kemungkinan terjadi obat dan makanan jenis lainnya.

“Tentu jangan sampai sudah kecolongan seperti ini kita panik seluruhnya, dievaluasi, dan ditarik kembali setelah jatuhnya korban,” ujarnya.

Sekretaris Jenderal KPCDI Petrus Haryanto menilai kejadian ini adalah fenomena gunung es yang selama ini dialami oleh pasien gagal ginjal akut pada anak di Indonesia. Pemerintah, dalam hal ini Kementerian Kesehatan sebagai penanggung jawab kesehatan masyarakat harus meningkatkan kinerjanya agar kejadian ini tidak banyak memakan korban.

Kejadian ini sekaligus membuka tabir bahwa pemerintah selama ini melupakan sistem kesehatan ginjal tidak hanya bagi orang dewasa namun juga pada anak. Saat ini, fasilitas kesehatan ginjal di Indonesia cenderung sangat minim dan tidak merata.

Mulai dari fasilitas kesehatan, mesin dialisis, hingga tenaga kesehatan, perawat serta dokter ginjal dewasa dan anak hanya terpusat di Jawa dan Bali.

“Kami mendesak pemerintah agar segera membangun fasilitas kesehatan ginjal pada anak. Khususnya menyediakan mesin cuci darah untuk anak, karena memang saat ini terbatas jumlahnya. Makanya setelah terjadi kejadian ini yang membutuhkan cuci darah, kematian pada anak cukup tinggi karena fasilitasnya sangat minim dan sistem antrian yang panjang,” kata Petrus.

Bagi Petrus, jika pemerintah tidak sungguh-sungguh menangani kasus gagal ginjal akut pada anak dan membangun fasilitas kesehatan yang memadai di seluruh wilayah Indonesia bukan tidak mungkin angka mortalitasnya akan terus meningkat. Apalagi, tidak semua orang tua memiliki biaya untuk datang ke Jakarta demi mengobati anaknya. 

“Faskes pertama harus melakukan tindakan preventif dan promotif, bagaimana berhubungan dengan masyarakat, bagaimana bahayanya penggunaan obat secara bebas, bahwa sebisa mungkin sakit diobati di faskes dan bukan diobati secara mandiri,” tutupnya. 

 


Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) juga menyayangkan lemahnya pengawasan BPOM RI dalam mengawasi peredaran obat sirop yang diduga mengandung ethylene glycol (EG) dan diethylene glycol (DEG). YLBHI pun mendesak aparat penegak hukum segera melakukan penyelidikan dugaan pidana dalam produksi dan penyebaran obat-obat sirop yang menyebabkan penyakit ginjal akut pada anak-anak dan berujung pada kematian.

"Kami menyayangkan lemahnya fungsi pengawasan dari pemerintah dalam hal ini Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM). Pemerintah berdasarkan kewenangannya perlu segera melakukan penyelidikan terhadap perusahaan-perusahaan farmasi produsen dan penyedia jenis obat cair/sirup yang diduga mengandung ethylene glycol dan diethylene glycol," kata Ketua YLBHI Muhammad Isnur dalam keterangan tertulis, Selasa (25/10/2022).

Jika ditemukan adanya pelanggaran hukum, menurut Isnur, pemerintah harus mengambil tindakan tegas berupa tindakan administratif pencabutan izin sementara atau izin tetap sesuai ketentuan Pasal 188 Ayat (3) UU Kesehatan dan diteruskan ke tahap penegakan hukuma berdasarkan ketentuan Pasal 196 UU Kesehatan.

Dalam pasal tersebut menyatakan bahwa: “Setiap orang yang dengan sengaja memproduksi atau mengedarkan sediaan farmasi dan/atau alat kesehatan yang tidak memenuhi standar dan/atau persyaratan keamanan, khasiat atau kemanfaatan, dan mutu dapat dipidana dengan penjara paling lama 10 tahun dan denda paling banyak Rp 1 miliar."

”Selain itu, keluarga korban juga dapat menuntut ganti rugi materiil maupun non-materiil terhadap perusahaan produsen dan penyedia obat cair/sirup dan kepada pemerintah karena kelalaiannya melakukan pengawasan sehingga menyebabkan hilangnya nyawa warga negara," tegasnya.

Kepala BPOM Penny Lukito mengatakan, BPOM tidak pernah melakukan pengujian terhadap kadar ethylene glycol (EG) dan diethylene glycol (DEG) dalam obat-obatan. Sebab, hingga saat ini di dunia internasional belum ada standar untuk pengujian kedua bahan tersebut.

“Khusus untuk cemaran EG dan DEG sampai saat ini di dunia internasional belum ada standar yang untuk mengatakan untuk diuji. Itulah kenapa kita tidak pernah menguji karena memang belum dilakukan di dunia internasional pun,” ujar Penny di Istana Kepresidenan Bogor, Jawa Barat, dikutip pada Selasa.

Karena itu, standar pengujian terhadap kedua kandungan tersebut akan dikembangkan, sehingga menjadi bagian dari sampling rutin BPOM. Penny menjelaskan, BPOM juga melakukan sampling rutin terhadap produk obat-obatan sebelum diedarkan.

Dalam perencanaan pre-market tersebut, maka bahan baku dan kandungan obat-obatan yang akan didaftarkan untuk mendapatkan izin edar harus dilaporkan kepada BPOM.

“Dalam pre-market itu kan ada bahan baku, nah bahan baku itu juga yang kemudian harus dilaporkan pada saat registrasi di mana itu ada kandungan, atau analisis yang harus disampaikan ke BPOM,” jelasnya.

Selain itu, juga ada kewajiban dari para pelaku usaha untuk melakukan pengujian sendiri. BPOM pun akan melakukan evaluasi pada saat pre-market. Namun, BPOM juga melakukan pengawasan dengan sampling dan pengujian terhadap produk yang sudah dipasarkan.

Terkait kasus gagal ginjal akut pada anak yang kini tengah merebak, BPOM mengambil langkah memidanakan dua industri farmasi. Kendati demikian, Penny tidak berkenan menyebutkan secara spesifik dua industri farmasi tersebut.

"Kami sudah mendapatkan dua industri farmasi yang akan kami tindak lanjuti menjadi pidana," kata Penny.

Penny menjelaskan, bahwa pemidanaan tersebut didasari pada temuan bahwa kandungan EG dan DEG dari produk-produk obat sirop kedua industri farmasi itu bukan hanya bersifat sebagai kontaminan. Tetapi, kandungannya sangat-sangat tinggi.

"Ada indikasi bahwa kandungan EG dan DEG di produknya itu tidak hanya dalam konsentrasi sebagai kontaminan, tetapi sangat-sangat tinggi dan tentu saja sangat toxic dan tepat diduga bisa mengakibatkan gagal ginjal akut dalam hal ini," ungkapnya.

Mengenai kebenaran kedua industri farmasi tersebut merupakan produsen lima obat sirop yang sebelumnya diumumkan penarikannya oleh BPOM pada Kamis (20/10/2022) pekan lalu, Penny juga tetap menolak menjawab. Pada 20 Oktober 2022, BPOM mengumumkan lima produk obat sirop di Indonesia yang mengandung cemaran EG melampaui ambang batas aman.

  1. Obat demam Termorex Sirup kemasan dus botol plastik ukuran 60 mililiter (ml) produksi PT Konimex dengan nomor izin edar DBL781300353A7A1.
  2. Obat batuk dan flu Flurin DMP Sirup kemasan dus botol plastik ukuran 60 ml keluaran PT Yarindo Farmatama dengan nomor izin edar DTL0332708637A1.
  3. Obat sirop produksi Universal Pharmaceutical Industries, yakni obat batuk dan flu Unibebi Cough Sirup ukuran 60 ml bernomor izin edar DTL7226303037A1.
  4. Obat demam produksi Universal Pharmaceutical Industries, Unibebi Demam Sirup ukuran 60 ml bernomor izin edar DBL8726301237A1.
  5. Obat demam produksi Universal Pharmaceutical Industries, Unibebi Demam Drops ukuran 15 ml bernomor izin edar DBL1926303336A1.

 

 

Ilustrasi Gagal Ginjal Akut - (republika/mgrol100)

 

 

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Berita Terpopuler