Catat Sejarah, Pertama Kalinya Perempuan Dominasi Parlemen Selandia Baru
Untuk pertama kalinya, mayoritas anggota parlemen Selandia Baru diduduki perempuan
REPUBLIKA.CO.ID, WELLINGTON -- Untuk pertama kalinya dalam sejarah Selandia Baru, mayoritas anggota parlemen diduduki oleh perempuan. Soraya Peke-Mason dari Partai Buruh pada Selasa (25/10) dilantik menjadi anggota parlemen menggantikan Trevor Mallard yang diangkat menjadi duta besar Irlandia.
Dengan pengunduran diri Mallard, maka jumlah perempuan di parlemen di Selandia Baru menjadi lebih banyak ketimbang laki-laki. Jumlah perempuan di parlemen tercatat sebanyak 60 orang, sedanhkan laki-laki sebanyak 59 orang.
“Meskipun ini adalah hari yang istimewa bagi saya, saya pikir ini bersejarah bagi Selandia Baru,” kata Peke-Mason kepada wartawan.
Menurut Inter-Parliamentary Union, tonggak tersebut menempatkan Selandia Baru menjadi salah satu negara yang tahun ini mengklaim setidaknya 50 persen perwakilan perempuan menduduki parlemen. Negara-negara yang mengklaim hal serupa termasuk Kuba, Meksiko, Nikaragua, Rwanda dan Uni Emirat Arab. Secara global, sekitar 26 persen anggota parlemen adalah perempuan.
Selandia Baru memiliki sejarah representasi perempuan yang kuat di bidang politik. Pada 1893, Selandia Baru menjadi negara pertama yang mengizinkan perempuan untuk memilih. Perdana Menteri Jacinda Ardern saat ini adalah pemimpin wanita ketiga di negara itu. Saat ini perempuan juga memegang sejumlah peran penting lainnya di Selandia Baru, termasuk ketua hakim Mahkamah Agung Selandia Baru dan gubernur jenderal.
“Saya sangat senang putri saya tumbuh di negara, di mana perempuan terwakili secara setara dalam kehidupan publik adalah hal yang normal,” kata wakil pemimpin Partai Nasional yang konservatif, Nicola Willis.
Ardern memperingatkan, situasi bagi perempuan di banyak negara lain sedang genting. Jajak pendapat menunjukkan, partai-partai konservatif Selandia Baru, yang saat ini memiliki proporsi perempuan lebih rendah daripada pesaing mereka, siap untuk memperoleh keuntungan selama pemilihan umum tahun depan.
“Saat kita melangkah maju, rasanya seolah-olah kita menyaksikan begitu banyak perempuan mengalami kemunduran yang cepat dalam prosesnya,” kata Ardern.