'Bantuan Dana dari Negara Bisa Gusur Kepentingan Donatur di Partai Politik'
Bantuan dana parpol dari pemerintah lewat APBN saat ini dinilai masih sangat kecil.
REPUBLIKA.CO.ID, oleh Febryan A
Transparency International Indonesia (TII) mendukung upaya pemerintah menambah jumlah bantuan dana kepada partai politik (parpol). Hanya saja, upaya itu disebut akan mendapatkan perlawanan dari partai politik itu sendiri.
Sekretaris Jenderal TII Danang Widoyoko menjelaskan, saat ini proporsi bantuan dari negara terhadap pendanaan partai politik masih kecil. Untuk diketahui, dana bantuan partai politik saat ini adalah Rp 1.000 untuk setiap suara sah dalam pemilu terakhir.
Pemerintah pun berencana menambah besarannya jadi Rp 3.000 per suara mulai tahun 2023. Namun, kata Danang, di sisi lain parpol juga mendapatkan pendanaan yang besar dari para donatur dan elite partai.
"Dalam partai politik itu ada donor masing-masing yang sudah seperti pemegang saham perusahaan," kata Danang dalam diskusi daring TII, Rabu (26/10/2022).
Dengan besarnya dana dari donatur, kata dia, tentu partai akan memberikan imbal balik ketika kadernya berhasil menduduki jabatan publik. Imbal balik itu biasanya dalam bentuk pemberian konsesi pertambangan atau kontrak proyek konstruksi.
Karena itu, ujar dia, TII mendukung upaya menambah bantuan negara kepada partai agar partai tidak lagi milik donatur, tapi milik publik. Dengan begitu, keputusan-keputusan politik yang dibuat partai akan berpihak kepada publik, bukan kepada donatur.
"Ketika negara hadir memberikan bantuan, itu ternyata juga tidak mudah. Tentu masuknya negara, maka akan menggusur kepemilikan mereka (para donatur) atas partai politik," kata Danang.
"Ketika negara akan memberikan sumbangan (lebih besar), ternyata tidak mudah juga karena partai justru yang memberikan syarat. Terakhir mereka menyesatkan sumbangan negara 50 persen saja. Itu kemungkinan refleksi keresahan pemegang saham utama partai ketika ada donor baru masuk, terutama dari negara," imbuhnya.
Ahli hukum tata negara dari Fakultas Hukum Universitas Andalas, Feri Amsari menilai, permasalahan sumber pendanaan parpol dan transparansi keuangannya berakar dari sistem parpol itu sendiri. Terutama sistem yang memungkinkan satu sosok atau satu kelompok mengendalikan partai.
"Indonesia ini tidak punya partai politik, yang ada adalah perusahaan keluarga yang diberi nama partai. Makanya Ibu Mega (Ketua Umum PDIP) bisa dibilang CEO, seperti itu juga Pak Prabowo (Ketua Umum Gerindra)," kata Feri.
Feri mengatakan, setelah Reformasi 1998, hampir semua sistem bernegara diperbaiki regulasinya. Tetapi tidak dengan sistem partai politik. Karena itu, menurutnya partai masih bergantung pada figur sentral ketua umum ataupun kelompok dominan dalam partai.
"Karena dana partai cuma sedikit karena tidak ada sumbangan dari kader, (akhirnya pendanaan) lebih banyak berbasis kepemilikan ketua atau figur-figur kaya dari parpol itu," kata Direktur Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas itu.
Menurut Kasubdit Fasilitasi Kelembagaan Partai Politik pada Kemendagri Dedi Taryadi, UU Partai Politik mengatur tiga sumber keuangan parpol, tapi saat ini belum ada satu pun yang berjalan optimal. Hal ini membuat parpol tidak optimal pula dalam menjalankan peran, tugas, dan fungsinya.
Sumber pendanaan parpol pertama adalah iuran dari kader. Kenyataanya, partai hanya mampu memungut iuran secara terbatas.
Menurut Dedi, parpol bisa dikatakan gagal mengoptimalkan sumber pendanaan dari kadernya ini. Karena itu, partai membebankan iuran dengan nominal besar kepada kader yang sudah duduk di parlemen maupun jabatan eksekutif.
"Iuran dibebankan kepada anggota partai politik di legislatif maupun eksekutif dengan jumlah 10 sampai 40 persen dari gaji. Hal ini dapat memicu korupsi politik," kata Dedi.
Sumber pendanaan partai yang kedua adalah sumbangan sah menurut hukum berupa uang, barang, atau jasa. Sumber dana yang kedua ini juga tak kalah problematik.
Dedi mengatakan, sumbangan perseorangan atau badan jasa kepada partai selama ini sangat terbatas. Selain itu, partai sangat tertutup soal dana sumbangan ini.
"Termasuk dana kampanye yang sangat tertutup untuk Pemilihan Presiden juga jadi perhatian kami," ujarnya.
Adapun sumber pendanaan ketiga adalah bantuan dana dari APBN atau APBD. Dedi mengatakan, negara memberikan bantuan dana dari APBN kepada partai sebesar Rp 1.000 per suara sah saat pemilu terakhir.
Sebagai ilustrasi, PDIP yang mendulang 27 juta suara dalam Pemilu 2019 berhak menerima dana bantuan dari APBN sebesar Rp 27 miliar setiap tahunnya. Menurut Dedi, nilai bantuan Rp 1.000 per suara itu masih terlalu kecil. Jika dipersentasekan, bantuan sebesar itu baru 1,5 persen dari total dana yang dibutuhkan partai untuk beraktivitas setiap tahunnya.
Dedi berpendapat, dengan lemahnya pendanaan parpol itu membuat parpol tidak profesional dalam perekrutan kader. Parpol cenderung merekrut kader yang punya banyak uang.
Selain soal perekrutan kader, lemahnya pendanaan ini juga membuat parpol tidak optimal dalam menjalankan peran, tugas dan fungsinya yang lain. Karena itu, kata dia, negara harus hadir dengan memperbesar dukungan dana kepada parpol.
"Tentu alokasi yang diberikan negara tidak serta merta 100 persen. (Tapi) bagaimana negara itu bisa membiayai 50 persen anggaran partai," kata Dedi, Rabu.
Menurut Dedi, dengan menaikkan dana bantuan parpol sebesar itu, maka partai bisa lebih independen. Selain itu, partai juga bisa mengurangi penerimaan "dana yang berisiko".