Perbedaan Latar Pendidikan Pemilih Anies, Ganjar, dan Prabowo Berdasarkan Survei
Pemilih Anies cenderung berasal dari kalangan menengah ke atas berpendidikan tinggi.
REPUBLIKA.CO.ID, oleh Amri Amrullah, Fauziah Mursid
Perbedaan pendidikan pemilih berpengaruh signifikan dalam pemilihan presiden (pilpres) dan pemilihan legislatif (pileg). Hal itu diketahui dari hasil survei Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) yang memaparkan pemilih Anies Baswedan dan Ganjar Pranowo yang cenderung berlatar pendidikan tinggi, sedangkan pemilih Prabowo Subianto sebaliknya.
Pendiri SMRC, Saiful Mujani menjelaskan pengaruh tingkat pendidikan terhadap perilaku pemilih biasanya dibingkai dalam konteks kelas sosial. Kelas sosial dipercaya berpengaruh terhadap pilihan politik. Ketika membahas kelas sosial dan perilaku memilih, indikator yang dipakai antara lain adalah tingkat pendidikan, jenis pekerjaan, dan pendapatan.
Saiful menerangkan, dalam survei SMRC dua tahun terakhir (2021-2022), dengan total sampel 8.319 responden, secara umum perbedaan pendidikan berpengaruh signifikan dalam perilaku memilih. Tingkat pendidikan dibagi antara SLTP, SD, dan tidak bersekolah dengan SLTA ke atas, proporsinya hampir seimbang. Yang berpendidikan SLTP ke bawah sekitar 53,2 persen, sementara yang SLTA ke atas sekitar 46,8 persen.
"Studi ini menunjukkan, yang memilih Anies Baswedan cenderung berasal dari kalangan menengah ke atas berpendidikan tinggi. Sama dengan Anies, proporsi pemilih Ganjar lebih besar pada yang berpendidikan tinggi dibanding yang rendah," kata Saiful Mujani, dalam program Bedah Politik yang bertajuk ”Kelas Sosial, Pilpers, dan Pileg 2024," Kamis (27/10/2022).
Ia mengatakan, ada 20 persen dari yang berpendidikan SLTP ke bawah yang memilih Anies, sementara yang SLTA ke atas 27 persen. Hal yang sama dengan Ganjar, dari yang berpendidikan SLTA ke atas, Ganjar dipilih sekitar 31 persen, sementara yang berpendidikan SLTP ke bawah sebesar 26 persen.
Saiful menjelaskan, Anies dan Ganjar sejatinya relatif baru muncul dalam perpolitikan Indonesia. Keduanya, adalah gubernur, karena itu, menurut Saiful, pada dasarnya meraka adalah tokoh lokal. Tetapi menjelang pemilihan umum, mereka masuk menjadi tokoh nasional, setidaknya dalam pemberitaan.
"Hal ini berkebalikan dengan profil pendukung Prabowo Subianto. Ada 36 persen yang berpendidikan SLTP ke bawah yang memilih Prabowo, sementara yang berpendidikan SLTA ke atas sebesar 28 persen," jelasnya.
Sehingga, menurut Saiful Mujani, dari hasil survei tersebut, proporsi pemilih Prabowo yang berpendidikan lebih rendah, lebih besar dari yang berpendidikan lebih tinggi. Menurut Saiful, hasil survei ini bisa dipahami mengapa proporsi pemilih yang berpendidikan menengah ke bawah lebih tinggi yang memilih Prabowo.
"Hal itu karena Prabowo sudah sangat lama dikenal dalam kontestasi pemilihan presiden, sudah dua kali menjadi calon presiden," katanya.
Karena itu, menurut dia, wajar banyak kalangan masyarakat di bawah sudah mengenal Prabowo. "Sementara Anies Baswedan dan Ganjar Pranowo belum cukup dikenal pada masyarakat bawah,” jelas Guru Besar Ilmu Politik Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta tersebut.
Saiful melanjutkan, bahwa data ini memiliki implikasi pada sosialisasi. Biasanya orang yang berpendidikan lebih sulit diyakinkan.
Orang dengan tingkat pendidikan yang tinggi akan lebih kritis, bisa berdebat, dan tidak mudah dimobilisasi untuk memilih seorang calon. Sebaliknya, orang yang kurang berpendidikan biasanya menjadi target mobilisasi.
Dalam konteks ini, menurut Saiful, secara praktis, Prabowo lebih rentan karena pemilih cenderung lebih mudah dimobilisasi. Karena faktanya, orang yang kurang berpendidikan lebih mudah dipengaruhi oleh yang berpendidikan lebih baik.
Begitu juga dalam pemilihan legislatif. Menurut Saiful, secara umum tingkat pendidikan juga berpengaruh. Orang yang memiliki pendidikan SLTP, SD, atau tidak bersekolah cenderung lebih tinggi pada pemilih PDIP.
"Ada 27 persen yang berpendidikan SLTP ke bawah yang memilih PDIP, sementara yang SLTA ke atas 23 persen," ungkapnya.
Hal yang sama terjadi pada Golkar, pemilih dari SLTP ke bawah 12 persen, sementara SLTA ke atas 9 persen. Pemilih SLTP ke bawah PKB 9 persen, SLTA ke atas 7 persen. PPP yang SLTP ke bawah 3 persen, SLTA ke atas 2 persen.
Kebalikan dari partai-partai ini, ialah pemilih PKS justru lebih dominan dari yang berpendidikan SLTA ke atas, sebesar 7 persen, sementara yang SLTP ke bawah 3 persen. Pemilih Gerindra dari SLTP ke bawah 10 persen, SLTA ke atas 11 persen.
Begitu juga pemilih Demokrat, berdasarkan hasil survei SMRC, partai ini dipilih oleh 6 persen dari yang berpendidikan menengah ke bawah, sedang kalangan menengah ke atas 7 persen. Sementara PAN justru lebih seimbang, yang memperoleh suara dari dua kelompok pendidikan masing-masing 2 persen.
Dan untuk partai-partai baru, survei SMRC memperlihatkan, pemilih mereka kecenderungan dari dukungan lebih kuat dari kalangan berpendidikan menengah ke atas 5 persen, dibanding menengah ke bawah 4 persen. Secara umum, lanjut Saiful, PDIP dan Golkar memiliki basis pemilih yang lebih kuat dari kalangan berpendidikan menengah ke bawah.
“Kelas sosial, diukur dari pendidikan, berpengaruh dalam perilaku memilih di Indonesia,” kata Saiful.
Elektabilitas parpol
Untuk angka elektabilitas terakhir parpol, survei nasional terakhir Populi Center menempatkan PDIP di peringkat teratas dengan 15,7 persen. Setelah itu ada Gerindra dengan 12,6 persen, Golkar dengan 10,3 persen, PKB dengan 7,8 persen, Nasdem dengan 7,3 persen, PKS dengan 6,4 persen, dan Partai Demokrat dengan 6,3 persen.
Meski PDIP menempati urutan pertama, elektabilitas partai besutan Megawati Soekarnoputri ini mengalami penurunan dibandingkan pada Juli 2022 lalu yakni 21,2 persen. Penurunan juga terjadi pada Partai Gerindra, Golkar, dan PKB dibandingkan Juli lalu masing masing 13 persen, 12,2 persen dan 8,3 persen.
Di sisi yang lain, Partai Nasdem yang baru saja mengumumkan dukungannya kepada Anies Baswedan, mengalami sedikit peningkatan elektabilitas yakni satu persen dibandingkan pada Juli lalu 6,3 persen. Sedangkan Partai Demokrat stagnan di angka 6,3 persen dan PKS naik dibandingkan Juli lalu empat persen.
"Dalam konteks partai itu, di beberapa partai walaupun tidak terlalu mencolok, Nasdem alami kenaikan kalau dilihat walaupun hanya 1-2 persen kalau dibandingkan Juli dan Maret," ujar Peneliti Senior Populi Center Usep S. Ahyar dalam rilis, Rabu (26/10/2022).
Usep menduga kenaikan elektabilitas Nasdem ada hubungan positif dengan pencalonan terhadap Anies Baswedan yang juga mempunyai elektabilitas tinggi di Pilpres 2024. Dalam survei Populi, Anies Baswedan memiliki elektabilitas 29,2 persen atau posisi kedua setelah Ganjar Pranowo dengan 29,7 persen, disusul Prabowo Subianto 27,6 persen.
Dia menyebut, kenaikan ini dipengaruhi efek ekor jas atau coattail effect. "Kalau dilihat pengalaman-pengalaman pilpres lalu, memang tokoh ini mempunyai coattail effect atau efek ekor jas yang dapat membawa partai yang mendukung itu memiliki potensi untuk menaikkan elektabilitas," ujarnya.
Karena itu, Usep menilai kenaikan elektabilitas ini bisa mendorong partai lain untuk segera menentukan calon presiden (capres). "Saya kira mungkin dengan fenomena seperti ini saya kira partai-partai lain itu sangat bagus jika misalnya segera menentukan calonnya agar lebih banyak calon yang diusung 2024," ujarnya.