Obat Jadi Racun: Mempertanyakan Kinerja BPOM
BPOM mengklaim telah bekerja sesuai panduan standar obat Farmakope.
Oleh : Christianingsih, Jurnalis Republika.co.id
REPUBLIKA.CO.ID, Kasus gagal ginjal akut progresif atipikal (GGAPA) atau gagal ginjal akut yang merenggut nyawa ratusan anak di Indonesia telah memasuki babak baru. Gagal ginjal akut itu diduga disebabkan oleh dua senyawa berbahaya yakni etilen glikol (EG) dan dietilen glikol (DEG). Pada Senin (31/10/2022) Bareskrim Polri mengumumkan dua korporasi yang diduga melakukan tindak pidana terkait kasus tersebut.
Dua perusahaan yang dimaksud yaitu PT Yarindo Farmatama dan PT Universal Pharmaceutical Industries. Kedua perusahaan farmasi tersebut diduga menggunakan EG dan DEG melebihi ambang batas dalam produksi obat sirop.
Kepala BPOM Penny K Lukito dalam konferensi pers bersama Bareskrim menyatakan kedua perusahaan itu memperdagangkan barang yang tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar peraturan perundangan sebagaimana pasal 62 ayat 1 dan UU RI no. 8 tentang Perlindungan Konsumen. Cemaran EG dan DEG dalam obat sirop yang mereka buat melebihi ambang batas yang ditentukan BPOM yaitu 48 mg/ml atau 100 kali lipatnya.
Pertanyaan terbesarnya, mengapa kita bisa kecolongan hingga banyak nyawa melayang? Bagaimana mungkin obat yang seharusnya menyembuhkan justru menjadi racun yang mematikan?
Sejauh ini publik tak menemukan jawabannya karena yang kita saksikan adalah aksi saling lempar tanggung jawab. BPOM mengklaim telah bekerja sesuai panduan standar obat Farmakope yang dikeluarkan oleh Kementerian Kesehatan.
Karena itu, BPOM tidak memiliki kewajiban mengawasi produk jadi obat-obatan. Maka agar pengawasan lebih baik, BPOM meminta Kementerian Kesehatan merevisi Farmakope. Selain itu menurut Penny, industri farmasi punya tanggung jawab memastikan keamanan produk-produknya.
Sebaliknya, Manajer Yarindo Farmatama Vitalis Jebarus menyatakan seluruh produknya telah lulus izin edar yang dikeluarkan BPOM. Perusahaan justru mempertanyakan mengapa BPOM memberi izin edar seandainya benar ada cemaran berbahaya.
Berdasarkan pasal 2 pada Peraturan Presiden Nomor 80 Tahun 2017 tentang Badan Pengawas Obat dan Makanan, BPOM mempunyai tugas menyelenggarakan tugas pemerintahan di bidang pengawasan Obat dan Makanan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Obat dan Makanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas obat, bahan obat, narkotika, psikotropika, prekursor, zat adiktif, obat tradisional, suplemen kesehatan, kosmetik, dan pangan olahan.
Fokus menyelamatkan nyawa itu penting. Namun menelusuri biang kerok cemaran EG dan DEG juga tak kalah penting. Dengan mengetahui akar permasalahannya, maka diharapkan tercipta sistem pengawasan dan peredaran obat yang lebih baik. Diperlukan evaluasi menyeluruh agar ke depan tak lagi muncul peristiwa keracunan obat seperti yang kini terjadi.
Sebagai masyarakat awam, kita tentu tak familiar dengan nama-nama senyawa kimia apalagi sampai mengidentifikasi mana yang berbahaya dan tidak. Jangan lupa pula saat ini masih banyak obat, kosmetik, dan pangan ilegal dengan mudah dapat kita temukan di pasaran. Kondisi ini berpotensi memunculkan tragedi serupa gagal ginjal akut apabila tak segera diberantas.
Maka di situlah tugas mereka yang ditunjuk menjadi pengawas: memastikan obat yang beredar dan diperjualbelikan aman. Dalam hal ini, kita tak bisa menyalahkan satu pihak. Namun juga tak elok membuang badan dan mencuci tangan di kala korban-korban terus berjatuhan.
Baca juga : Penggunaan Bahan Baku Obat Lampaui Batas Bawa Hal Baru pada Pengawasan Farmasi