Dari Kanjuruhan, Itaewon dan India, Tragedi Kerumunan Tewaskan 400 Orang dalam Sebulan

Lebih dari 400 orang tewas pada Oktober dalam serangkaian bencana terkait kerumunan

EPA-EFE/JEON HEON-KYUN
Korban meninggal insiden perayaan Halloween di distrik Itaewon, Seoul, 30 Oktober 2022. Menurut Choi Seong-beom selaku kepala pemadam kebakaran Yongsan Seoul, sedikitnya 151 orang tewas dan 82 lainnya luka-luka setelah berdesakan di daerah Itaewon, Seoul saat kerumunan besar masyarakat datang untuk merayakan Halloween.
Rep: Dwina Agustin Red: Esthi Maharani

REPUBLIKA.CO.ID, SEOUL -- Lebih dari 400 orang meninggal dunia pada Oktober dalam serangkaian bencana terkait kerumunan di Asia. Mulai dari kepanikan penonton di stadion sepak bola Kanjuruhan di Indonesia, pesta Halloween di Korea Selatan, hingga ambruknya jembatan yang dipenuhi orang-orang berwisata di India.

Meski dalam dinamika dalam tiga situasi berbeda, para ahli mengatakan, perencanaan yang buruk dan manajemen kerumunan berkontribusi pada bencana di Indonesia dan Korea Selatan sedangkan di India, pihak berwenang masih menyelidiki.

Profesor ilmu sosial komputasi di universitas ETH Zurich yang mempelajari dinamika kerumunan Dirk Helbing menyatakan, ketiga bencana Oktober berfungsi sebagai pengingat dari berbagai cara pihak berwenang bertanggung jawab. Pemerintah seharusnya memastikan keselamatan publik.

"Dalam beberapa dekade terakhir, sains telah memberikan banyak wawasan dan alat baru untuk berkontribusi pada keselamatan dan manajemen kerumunan,” kata Helbing.

“Saya berharap pengetahuan ini akan menyebar dengan cepat dan dengan demikian membantu untuk menghindari bencana di masa depan," ujarnya.

Sebanyak 156 orang meninggal ketika lebih dari 100 ribu orang berbondong-bondong ke distrik Itaewon pada 29 Oktober untuk perayaan Halloween. Acara yang pertama sejak pembatasan ketat Covid-19 di negara itu dicabut.

Gang-gang sempit dan miring di distrik itu menjadi padat dengan orang-orang, yang menyebabkan yang oleh para ahli disebut "turbulensi kerumunan." Saat itulah orang-orang berhimpitan sehingga tidak memiliki kendali penuh atas gerakannya sendiri dan kerumunan bergerak sebagai tubuh yang berkesinambungan.

“Itu tidak mengharuskan siapa pun untuk berperilaku buruk, tidak mengharuskan siapa pun untuk secara agresif atau sengaja mendorong,” kata Peneliti di University of New South Wales, Sydney, Australia, Milad Haghani.

Haghani menyatakan, telah didokumentasikan dengan baik bahwa ketika kepadatan kerumunan mencapai tingkat yang diperkirakan pada perayaan Itaewon, orang-orang akan jatuh, memicu efek domino. Dia telah mempelajari lebih dari 275 tragedi terkait kerumunan seperti itu sejak tahun 1902.

Tapi, Haghani menegaskan, peristiwa itu juga bisa dicegah. Dia menilai, dengan melihat perayaan di masa lalu dan mempertimbangkan berakhirnya pembatasan Covid-19, pihak berwenang dapat dengan mudah mengantisipasi kerumunan besar. Pihak berwenang Korea Selatan juga dapat mempekerjakan ahli pengendalian massa untuk memantau arus orang dan mencegah daerah itu menjadi padat seperti sebelumnya.

Saat peristiwa itu hanya ada 137 petugas untuk menangani kerumunan yang begitu besar. Komisaris Jenderal Badan Kepolisian Nasional Korea Selatan Yoon Hee Keun mengatakan pada Selasa (1/11/2022), dia merasakan tanggung jawab berat atas hilangnya nyawa.

"Sungguh mengecewakan melihat bahwa terlepas dari semua pengalaman ahli, semua studi, semua kesimpulan dan semua yang dilakukan, itu terjadi lagi di negara lain, di lokasi lain, dan itu benar-benar mengakibatkan lebih banyak orang meninggal,” kata Haghani.



Sedangkan di Indonesia, pemerintah masih menyelidiki tragedi 1 Oktober di Kanjuruhan  yang menewaskan 135 orang, termasuk puluhan anak-anak. Polisi menembakkan gas air mata ke stadion, dengan beberapa gerbang terkunci, setelah beberapa kerumunan dari 42 ribu orang yang datang tumpah ke lapangan, membuat mereka bergegas menuju pintu keluar, dan menyebabkan tabrakan.

Ketua Organisasi Keamanan Dunia Indonesia Soehatman Ramli mengatakan Associated Press, kasus tersebut dapat terjadi tanpa rencana manajemen risiko yang tepat dan tindakan dalam keadaan darurat. “Rencana ini harus mencakup jalur evakuasi dan manajemen kerumunan untuk mengendalikan situasi panik,” katanya.

Polisi mengatakan, stadion Kanjuruhan di kota Malang tidak memiliki sertifikat operasi yang layak. Sebanyak enam orang akan dikenakan tuntutan pidana karena kelalaian, termasuk tiga petugas polisi yang mengizinkan atau memerintahkan petugas untuk menggunakan gas air mata.

"Pengalaman telah menunjukkan bahwa gas air mata di stadion olahraga adalah resep bencana, dalam hal itu mengagitasi orang banyak, itu menciptakan kecenderungan untuk melawan di antara orang banyak, dan perilaku yang lebih agresif,” kata Ramli.

Kejadian terbaru ambruknya jembatan gantung yang baru diperbaiki di negara bagian Gujarat India pada akhir pekan. Peristiwa ini menewaskan 134 orang dan pihak berwenang telah mengumumkan penangkapan sembilan orang, termasuk manajer operator jembatan.

Jembatan berusia 143 tahun itu dibuka kembali empat hari sebelum keruntuhan pada 30 Oktober. Investigasi masih berlangsung, tetapi seorang pejabat setempat mengatakan kepada surat kabar Indian Express, bahwa perusahaan membuka kembali jembatan tanpa terlebih dahulu memperoleh sertifikat kelaikan.

sumber : AP
Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Berita Terpopuler