Amnesty: Myanmar Alihkan Bahan Bakar Pesawat Sipil untuk Militer

Sejak Februari 2021, lebih dari 2.300 warga sipil tewas oleh pasukan militer Myanmar.

AP Photo
Puing-puing berserakan di sekitar bangunan kayu yang hancur di dekat Desa Aung Bar Lay, kotapraja Hpakant, negara bagian Kachin di Myanmar Senin, 24 Oktober 2022. Serangan udara oleh militer Myanmar menewaskan puluhan orang, termasuk penyanyi dan musisi, yang menghadiri perayaan ulang tahun Kachin organisasi politik utama etnis minoritas, anggota kelompok dan seorang pekerja penyelamat mengatakan Senin. Amnesty: Myanmar Alihkan Bahan Bakar Pesawat Sipil untuk Militer
Rep: Santi Sopia Red: Ani Nursalikah

REPUBLIKA.CO.ID, NAY PYI DAW -- Amnesty International menyerukan negara-negara maupun perusahaan menghentikan pasokan bahan bakar penerbangan ke penguasa militer Myanmar. Amnesty International meminta pemasok bahan bakar penerbangan menangguhkan pengiriman ke Myanmar.

Baca Juga


Hal itu disebut guna mencegah pemerintah militer menggunakan pasokan untuk melakukan serangan udara terhadap sasaran sipil. Negara-negara dan perusahaan bahan bakar harus menghentikan pasokan bahan bakar penerbangan ke Myanmar karena pengiriman untuk penggunaan pesawat sipil dialihkan ke militer.

Hal itu karena angkatan udaranya telah dikaitkan dengan kejahatan perang, menurut Amnesty International dalam sebuah laporan baru yang dirilis Kamis (3/11/2022). “Tidak ada pembenaran untuk berpartisipasi dalam pasokan bahan bakar penerbangan ke militer yang memiliki penghinaan mencolok terhadap hak asasi manusia dan telah berulang kali dituduh melakukan kejahatan perang,” kata Sekretaris Jenderal Amnesty Agns Callamard, dikutip dari Aljazirah, Jumat (4/11/2022).

Callamard melanjutkan serangan udara ini telah menghancurkan keluarga, meneror warga sipil, korban tewas dan cacat. Tetapi jika pesawat tidak dapat mengisi bahan bakar, mereka tidak dapat terbang dan menimbulkan malapetaka.

“Kami meminta pemasok, agen pengiriman, pemilik kapal, dan perusahaan asuransi maritim untuk menarik diri dari rantai pasokan yang menguntungkan Angkatan Udara Myanmar,” kata dia.

Sejak militer merebut kekuasaan di Myanmar pada Februari 2021, lebih dari 2.300 warga sipil telah tewas oleh pasukan militer, termasuk mereka yang menjadi sasaran serangan udara. Selama penelitiannya, Amnesty mengatakan mereka telah mendokumentasikan 16 serangan udara yang terjadi antara Maret 2021 dan Agustus 2022 di negara bagian Kayah, Kayin dan Chin serta di wilayah Sagaing.

Serangan udara itu menewaskan sedikitnya 15 warga sipil, melukai sedikitnya 36 lainnya, dan menghancurkan rumah, bangunan keagamaan, sekolah, fasilitas kesehatan, serta kamp pengungsi. Dalam dua serangan udara, militer Myanmar menggunakan munisi tandan, yang dilarang secara internasional karena sifat senjata tersebut tidak pandang bulu.

Amnesty juga mengatakan telah menghubungkan empat pangkalan udara militer, yakni Hmawbi, Magway, Tada-U dan Taungoo, dengan serangan yang merupakan kejahatan perang. “Dalam sebagian besar kasus yang terdokumentasi ini, hanya warga sipil yang tampaknya berada di lokasi serangan pada saat serangan,” kata Amnesty.

Mengalihkan pasokan bahan bakar sipil

Dalam laporan tersebut, kelompok hak asasi manusia melacak delapan pengiriman bahan bakar penerbangan yang tiba di terminal pelabuhan Thilawa, yang terletak di luar ibukota komersial negara itu, Yangon, antara Februari 2021 dan September tahun ini.

Mengutip data satelit dan dokumen yang bocor, beberapa pengiriman dikirim ke bandara yang berbagi fasilitas pengisian bahan bakar dengan pangkalan militer terdekat. Setidaknya dua dari delapan pengiriman bahan bakar dari Perusahaan Minyak Singapura milik PetroChina dan Minyak Thailand dikirim langsung ke militer. Hal itu berdasar klaim Amnesty, mengutip data bea cukai dan surat yang merinci pengiriman.

“Afiliasi Myanmar dari raksasa minyak Puma Energy juga membayar perusahaan lokal untuk mengangkut bahan bakar ke fasilitas penyimpanan yang dikendalikan militer untuk bahan bakar jet,” kata Amnesty.

Amnesty menggunakan data pelacakan penerbangan dan wawancara dengan mantan personel militer. Amnesty mengatakan telah mendokumentasikan serangan udara yang diluncurkan dari dua pangkalan udara, di mana biasanya dipasok oleh fasilitas penyimpanan itu selama periode penelitian.

Beberapa serangan udara oleh pesawat yang berasal dari dua pangkalan tersebut merupakan kejahatan perang. Pada Juli, Myanmar Witness, sebuah kelompok yang berbasis di London dan mengumpulkan bukti pelanggaran hak, mengatakan telah memverifikasi penyebaran pesawat Yak-130 buatan Rusia dengan kemampuan serangan darat terhadap warga sipil di Myanmar. Jet buatan Rusia telah menggunakan roket terarah dan meriam 23 milimeter terhadap target di area yang dibangun.

Serangan udara oleh militer Myanmar bulan lalu di negara bagian Kachin utara negara itu menewaskan lebih dari 60 orang dan mungkin mencapai 80 jiwa. Sebagian besar adalah warga sipil yang menghadiri perayaan dan konser musik yang diadakan oleh kelompok pemberontak etnis besar.

Singapore Petroleum Company, Rosneft, Chevron dan Thai Oil, menyediakan bahan bakar selama periode penelitian Amnesty International. Perusahaan menyatakan kepada kelompok hak asasi bahwa mereka percaya telah menyediakan bahan bakar penerbangan untuk tujuan sipil.

Penyelidikan dilakukan dengan kelompok aktivis Justice For Myanmar, Amnesty. Hasilnya menunjukan Thai Oil dan agen pengiriman serta anak perusahaan kelompok maritim Norwegia Wilhelmsen mengumumkan bahwa mereka akan menghentikan semua bisnis yang melibatkan bahan bakar penerbangan di Myanmar.

Amnesty meminta semua perusahaan yang terlibat dalam rantai pasokan Myanmar untuk "segera menangguhkan pasokan, penjualan, dan transfer langsung atau tidak langsung”. Hal itu termasuk transit, trans-pengiriman, dan perantara bahan bakar penerbangan. 

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler