Saksi Ungkap Sambo Kenakan Sarung Tangan Hitam, Namun Dibantah Terdakwa
Sambo mengaku pistol yang sempat terjatuh bukan jenis HS, melainkan Wilson Combat.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Para saksi mengungkapkan terdakwa Ferdy Sambo mengenakan seragam kepolisian dan menggunakan sarung tangan hitam saat penembakan Brigadir Nofriansyah Joshua Hutabarat (J). Pistol HS yang disebut digunakan Ferdy Sambo menembak mati Brigadir J, juga diceritakan sempat terjatuh di depan rumah Duren Tiga 46. Hal itu terungkap dari kesaksian Adzan Romer dan Prayogi Iktara Wikaton.
Romer dan Prayogi adalah dua ajudan dan sopir Ferdy Sambo. Keduanya, dihadirkan kembali ke persidangan lanjutan kasus pembunuhan berencana Brigadir J di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel), Selasa (8/11/2022). Jaksa Penuntut Umum (JPU) menghadirkan Romer dan Proyogi, serta saksi-saksi lainnya dalam sidang atas terdakwa Ferdy Sambo dan isterinya Putri Candrawathi
Di persidangan, Romer dan Prayogi bersaksi yang mengantarkan mantan Kadiv Propam Polri tersebut dari Saguling III 29 ke rumah pembunuhan di Duren Tiga 46 di Jakarta Selatan (Jaksel), pada Jumat (8/7/2022). Prayogi yang menyopiri Ferdy Sambo dengan mobil Lexus LX 570. Sementara Romer menyertai.
Dan Farfan Sabilillah, anggota patwal motor di depan mobil tersebut. Namun dikatakan Romer, tujuan awal pada saat itu, adalah menuju ke Lapangan Badminton di Depok.
“Setahu kami (mengantarkan) ke lapangan badminton,” kata Romer di hadapan majelis hakim, Selasa (8/11/2022). Akan tetapi, saat mobil melintas di depan rumah Duren Tiga 46, Ferdy Sambo memerintahkan Romer turun dari mobil.
“Lalu saya turun di depan garasi samping rumah 46 (Duren Tiga),” kata Romer. Sementara mobil yang membawa Ferdy Sambo tetap melaju, lalu berhenti sebentar di sisi tikungan, persis di depan rumah jalan yang mengarah utara keluar Komplek Polri itu.
“Lalu saya melihat Bapak FS buka pintu mobil. Saya hampiri untuk bantu buka pintu,” tutur Romer. Namun Ferdy Sambo, sudah beranjak turun keluar dari mobil. “Setelah turun saya melihat senjatanya jatuh,” ujarnya.
Ketua Majelis Hakim Wahyu Iman Santosa menanyakan kepada Romer senjata jenis apa yang jatuh tersebut. “Ada senjata jatuh. Itu senjata apa?,” tanya hakim. Romer menjawab, jenis senjata pistol. “Senjata HS, yang mulia,” kata Romer.
Romer mengaku sempat berusaha membantu Ferdy Sambo memungut senjata HS tersebut. Akan tetapi dikatakan Romer usahanya itu kalah cepat dari Ferdy Sambo yang sudah mengambil pistol di aspal tersebut. “Bapak sudah ambil duluan,” kata Romer.
Selanjutnya kata Romer, ia cuma membantu menutup pintu mobil. “Saya lihat Bapak berjalan masuk ke arah garasi rumah (Duren Tiga 46),” kata Romer.
Sementara mobil yang dikendarai Yogi, kembali berjalan sebentar untuk parkir.
Hakim ‘menahan’ penjelasan dari Romer tersebut dengan menanyakan apakah Ferdy Sambo memungut senjata api yang terjatuh itu menggunakan pelindung tangan atau tidak. Kata Romer menceritakan saat Ferdy Sambo mengambil HS tersebut, tangannya menggunakan pelindung hitam.
“Saya pas lihat Bapak mengambil senjata itu, yang mulia, sudah menggunakan sarung tangan karet warna hitam,” kata Romer. Menurutnya, sarung tangan hitam tersebut mirip seperti pelindung tangan medis.
Romer mengaku dirinya tak melihat kapan Ferdy Sambo mengenakan sarung tangan hitam itu. Sebab, kata dia, pada saat dari rumah Saguling III 29, komandannya itu tak ada tampak mengenakan sarung tangan. Pun dikatakan Romer, baru kali itu, ia melihat Ferdy Sambo mengenakan sarung tangan hitam saat mau bepergian.
Romer juga mengaku melihat Ferdy Sambo tampak canggung membawa senjata api sampai terjatuh. “Dan itu tidak seperti biasanya yang mulia,” kata Romer.
Ia melanjutkan, tak lama setelah Ferdy Sambo masuk ke dalam rumah itu, terdengar suara tembakan. Posisi Romer pada saat itu, tetap berada di luar rumah. “Saya mendengar suara tembakan lebih dari lima kali,” ujarnya.
Sebagai ajudan, Romer mengaku mahfum benar membedakan mana suara tembakan dari senjata api, dan bagaimana bunyi petasan. Karena itu, Romer, pun mengaku sempat mengecek suara arah tembakan. “Saya berpikir waktu itu suara tembakan dari arah depan rumah. Jadi saya sempat cek ke depan rumah,” kata dia.
Romer mengaku berlari ke depan rumah mengecek suara tembakan tersebut bersama Kodir. Kodir adalah pembantu Ferdy Sambo yang menjaga rumah Duren Tiga 46. “Tetapi setelah saya cek ke depan, ternyata tidak ada (tanda-tanda penembakan),” kata Romer.
Lalu, kata Romer, ia kembali ke bagian belakang rumah. Romer masih dalam posisi di luar rumah. “Pada saat saya cek ke belakang (rumah), saya mendengar suara tembakan lagi,” ujar Romer. Saat pengecekan suara tembakan di belakang rumah, kata Romer, dia baru masuk pagar mencoba mengendap ke garasi.
Ketika Romer sampai di dalam garasi, dan berusaha semakin masuk ke dalam, ia tiba-tiba ‘disergap’ oleh Ferdy Sambo yang sudah mau kembali ke luar. “Saya bertemu Bapak di dekat pintu dapur,” ujar Romer. Saat itu, kata Romer, ia sempat reflek mengangkat senjata pegangannya ke arah Ferdy Sambo. Tetapi setelah melihat di hadapannya adalah komandannya, pelatuk picu tak tertarik dari jari-jarinya. “Lalu Bapak bilang, itu Ibu, Ibu di dalam,” kata Romer menirukan ucapan Ferdy Sambo.
Romer lalu masuk ke dalam rumah tersebut. Di dalam, kata Romer sudah ada Ricky Rizal (RR), Kuat Maruf (KM), dan Richard Eliezer (RE). “Saya sempat tanya Richard, ada apa Cad?,” tanya Romer kepada Richard. Lalu Richard spontan menjawab. “Saya refleks bang,” kata Ricahrd dalam cerita Romer.
Lepas itu, kata Romer, Ferdy Sambo yang semula ia temui akan keluar dari rumah tersebut, kembali masuk kembali. Dalam pengakuannya, Romer mengatakan, saat Ferdy Sambo menyikutnya menyampaikan para ajudan yang tak menjaga Putri Candrawathi.
“Kalian nggak bisa jaga Ibu,” kata Romer menirukan Ferdy Sambo. Romer tak paham ucapan Ferdy Sambo itu. Tetapi, Romer mengaku di dalam ruangan itu, ia sudah melihat jenazah Brigadir J. “Saya lihat jenazah sudah tertelungkup di dekat tangga di ruang tengah lantai satu,” kata Romer.
Kata Romer melanjutkan, saat itu di dalam ruangan sudah tampak gelap karena sore. Lampu, tak ada yang menyala. Sumber cahaya, cuma dari matahari sore yang masuk ke dalam ruangan. Itu sebabnya, kata Romer, ia tak melihat detail jenazah yang sudah tertelungkup itu.
Pun kata Romer, saat itu, ia juga tak memperhatikan keberadaan pistol pegangan Richard, maupun HS yang semula ada dibawa Ferdy Sambo. Kata Romer, pada saat dirinya sudah berada di dalam tempat jenazah tertelungkup itu, ia melihat Ferdy Sambo sudah tak lagi mengenakan sarung tangan hitam pelindung yang sebelumnya dikenakan.
“Saya tidak tahu apakah sudah lepas. Di dalam sudah tidak menggunakan sarung tangan,” terang Romer.
Dalam pengakuannya, Romer juga tak melihat wujud adanya Putri Candrawathi di dalam ruangan tersebut. Tetapi Romer mengaku mendengar suara Putri Candrawathi yang menangis. “Saya tidak melihat ibu. Tetapi saya duga di dalam kamar. Karena saya mendengar Ibu menangis,” kata Romer.
Romer menerangkan, suara tangisan Putri Candrawathi dari arah dalam kamar yang berada di lantai satu. Kamar tersebut dekat dari posisi jenazah. “Menurut saya itu ibu menangis seperti biasa. Tetapi saya kedengaran,” ujar Romer. Kata Romer, pintu kamar sumber tangisan Putri Candrawathi, pun tak tertutup. “Pintu kamar itu terbuka lurus dengan tangga. Lurus kaki almarhum. Kalau pintunya terbuka, bisa melihat jenazah,” ujar Romer.
Romer mengaku melihat Ferdy Sambo yang masuk ke kamar tempat Putri Candrawathi menangis. Ferdy Sambo kata Romer, lalu membawa Putri Candrawathi keluar kamar menuju pintu garasi keluar rumah. “Melihat Bapak dan Ibu keluar, saya juga duluan keluar rumah,” ujar Romer.
Sampai di luar, kata Romer, Ferdy Sambo memerintahkan Ricky Rizal, mengantarkan Putri Candrawathi ke rumah Saguling III 29. Selepas itu, dikatakan Romer, ia melihat Ferdy Sambo tampak menelefon.
Usai itu, Ferdy Sambo kembali mengumpulkan semua orang-orang yang berada di Duren Tiga 46 saat itu. Termasuk Romer, Richard Eliezer, Kodir, Kuat Maruf, juga Prayogi yang semula cuma menunggu di mobil luar rumah. Saat itu, kata Romer, Ferdy Sambo tampak emosional menyampaikan pembelaan kepada Richard.
“Bagaimana kalau ini terjadi kepada anak atau keluarga kalian. Dan Richard kamu akan saya bela, walaupun pangkat dan jabatan saya sebagai taruhannya,” kata Romer menirukan Ferdy Sambo.
Saat mengucapkan itu, kata Romer, Ferdy Sambo sambil merangkul Richard. Romer, pun mendengar respons untuk Ferdy Sambo itu dengan hanya mengatakan, 'siap'. Selepas itu, kata Romer, ia melihat Ferdy Sambo yang hanya berdiri di garasi. Tak lama setelah itu, Romer melihat Kasat Reskrim Polres Jaksel Ridwan Rhekynellson Soplanit datang.
Lalu disusul kedatangan para anggota Provos Mabes Polri. “Setelah itu saya diperintah Bapak kembali ke Saguling,” ujar Romer. Dengan motor Romer kembali ke Saguling III 29. Sementara Prayogi masih menunggu di mobil di Duren Tiga 46.
Kesaksian Prayogi
Prayogi di persidangan bersaksi dirinya selama peristiwa penembakan terjadi di dalam rumah Duren Tiga 46, tetap berada di luar. Ia mengaku juga mendengar suara tembakan. Tetapi, tak mengambil respons cepat seperti Romer yang melakukan pengecekan sampai ke depan, dan belakang rumah.
“Saya berada di belakang mobil di luar rumah. Saya juga sempat mengambil senjata. Tetapi saya tidak masuk ke dalam rumah. Tetap di luar di belakang mobil,” kata Prayogi di persidangan.
Prayogi membenarkan kesaksian Romer saat Ferdy Sambo mengumpulkan semua yang ada di Duren Tiga 46 dan menyampaikan pembelaan tentang Richard. Tetapi kata Prayogi, dirinya saat itu belum mengetahui dengan jelas apa yang sudah terjadi. Dia mengatakan, hanya ada penjelasan dari Richard yang menyampaikan saat itu, terjadi tembak-menembak dirinya dengan Brigadir J. Prayogi, pun mengaku tak sempat melihat jenazah Brigadir J yang disebut saat itu sudah tewas tertelungkup.
Akan tetapi, Prayogi tetap bertahan di luar rumah menunggu di dekat mobil, menanti perintah dari Ferdy Sambo. Selama berada di luar itu, kata Prayogi, ia pun melihat Kasat Reskrim Jaksel yang datang dan masuk ke dalam rumah Duren Tiga 46. “Saya lihat Kasat Reskrim datang sendirian,” kata Prayogi.
Selanjutnya, kata Prayogi, ada dua mobil Provos Mabes Polri datang. “Lebih dari 10 anggota provos datang,” ujar Prayogi. Hakim meminta Prayogi mengidentifikasi para anggota provos yang datang ke Duren Tiga 46 pada saat itu. Namun Prayogi tak mengenal semua.
“Yang saya kenal, saya melihat Karo Provos, Pak Brigjen Benny Ali, sama Pak Kombes Susanto,” ujar dia. Lepas itu, sekitar jam setengah sembilan malam, kata Prayogi, datang Karo Paminal Brigjen Hendra Kurniawan. Sekitar pukul setengah 10 malam, kata Prayogi, Ferdy Sambo sudah keluar rumah Duren Tiga 46.
“Bapak minta pulang,” ujar dia. Saat hakim menanyakan kepada Prayogi baju apa yang dikenakan Ferdy Sambo pada saat itu, ia mengatakan komandannya itu yang masih mengenakan seragam kepolisian.
“Seingat saya masih pakai seragam dinas, yang mulia,” ujar Prayogi. Seragam yang sama, kata Prayogi juga dikenakan Ferdy Sambo saat berangkat dari Saguling III. Namun berbeda dengan kesaksian Romer, Prayogi mengaku tak melihat saat Ferdy Sambo mengenakan sarung tangan hitam. Pun Prayogi tak melihat pada saat senjata pistol HS jatuh, dan dipungut Ferdy Sambo sebelum masuk ke rumah Duren Tiga 46.
Bantahan Ferdy Sambo
Di persidangan, kepada majelis hakim Ferdy Sambo membantah sejumlah kesaksian Adzan Romer. Bantahan Ferdy Sambo terutama soal pengenaan sarung tangan hitam karet yang disebut ia kenakan saat turun dari mobil di depan rumah Duren Tiga 46.
“Saya tegaskan, yang mulia hakim, bahwa saya tidak pernah mengenakan sarung tangan saat turun dari kendaraan,” ujar Ferdy Sambo di persidangan tersebut, Selasa (8/11/2022). Pun Ferdy Sambo meluruskan tentang senjata pistol yang jatuh saat ia turun dari mobil.
Kata Ferdy Sambo, senjata api yang jatuh tersebut bukan berjenis HS seperti penjelasan Romer. Melainkan dikatakan dia, pistol yang jatuh itu adalah pistol Wilson Combat. Pistol dengan peluru kaliber 45 milimeter (mm) itu yang selama ini menjadi senjata yang ia pakai dalam kedinasan harian.
“Senjata yang jatuh, bukan senjata HS, yang mulia. Tetapi senjata pribadi saya, Combat Wilson,” kata Ferdy Sambo.