Hasil Pemilu Sela 2022 Perlihatkan Politik Populis Mulai Tak Laku di Amerika Serikat
Politik populisme ala Trump mulai tak dilirik dalam Pemilu Sela Amerika Serikat
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA— Seandainya inflasi tak menyerang Amerika Serikat, Partai Demokrat mungkin menjadi pemenang mutlak dalam Pemilihan Umum Sela atau Midterm Election 8 November yang perhitungan suaranya masih belum final.
Dalam Pemilu Sela, rakyat Amerika Serikat memilih seluruh dari 435 anggota DPR dan 35 dari total 100 kursi Senat, 36 dari total 50 gubernur, dan sejumlah pejabat negara lainnya.
Fokus diarahkan kepada pemilihan anggota legislatif atau Kongres yang terbagi dalam Majelis Rendah atau House of Representatives (DPR) dan Majelis Tinggi atau Senat.
Siapa yang menjadi mayoritas dalam kedua majelis bakal mempengaruhi pemerintahan Presiden Joe Biden dua tahun berikutnya, mulai dari ekonomi sampai politik luar negeri.
Jika DPR dikendalikan Partai Republik, maka agenda-agenda pemerintahan Biden bakal mendapatkan ganjalan, bahkan bisa memakzulkan Biden walaupun sulit melakukannya mengingat membutuhkan persetujuan 2/3 suara Senat.
Namun perkembangan terakhir menunjukkan Demokrat kembali berhasil mengendalikan Senat setelah petahana Catherine Cortez Masto akhirnya memenangi kursi Senat dari negara bagian Nevadaseusai menyisihkan Adam Laxalt dari Republik.
Hasil di Nevada ini membuat Demokrat total memiliki 48 kursi. Ditambah dua kursi dari partai lain yang berafiliasi kepada Demokrat, partai penguasa ini sudah mengantongi 50 kursi yang membuatnya kembali mengendalikan Senat lewat Wakil Presiden Kamala Harris yang mengingat statusnya sebagai ketua Senat, menjadi penentu jika kursi Senat imbang 50 lawan 50.
Demokrat bahkan berpeluang mendapatkan satu kursi Senat lagi jika petahana Raphael Warnock mengalahkan Herschel Walker dari Partai Republik dalam Pemilu Sela putaran kedua di negara bagian Georgia pada 6 Desember.
Dengan demikian, Biden yang berusaha mengubah formasi hakim Mahkamah Agung yang saat ini berkomposisi 6 hakim konservatif dan 3 hakim liberal, tak akan mendapatkan ganjalan Senat ketika mengusulkan hakim liberal.
Setelah MA memutuskan melarang aborsi, Biden berusaha keras mengubah formasi hakim MA menjadi lebih berimbang, paling tidak dengan mengajukan seorang hakim liberal untuk menyisihkan seorang hakim konservatif.
Baca juga: Mualaf David Iwanto, Masuk Islam Berkat Ceramah-Ceramah Zakir Naik tentang Agama
Namun di Majelis Rendah, Demokrat kehilangan kendali di DPR yang dikuasai Republik. Demokrat masih berbesar hati karena mereka hanya berselisih tipis di DPR.
Berdasarkan data Google dan AP, Demokrat bisa menghimpun 214 kursi DPR, sedangkan Republik bisa menguasai 221 kursi. Artinya, Republik mengendalikan DPR dengan selisih hanya tujuh kursi.
NBC malah memproyeksikan angka 219 kursi untuk Republik dan 216 kursi untuk Demokrat, atau cuma terpaut lima kursi.
Selisih begitu tipis ini menghapus kecenderungan dalam Pemilu Sela yang biasanya menciptakan longsor suara terhadap partai yang tengah berkuasa.
Pada Pemilu Sela 2018 ketika Trump menjadi presiden Amerika Serikat, Demokrat yang beroposisi memenangkan 41 kursi DPR.
Delapan tahun sebelumnya pada Pemilu Sela 2010 saat Barack Obama menduduki Gedung Putih, Republik yang beroposisi memenangkan 63 kursi. Pun sewaktu Pemilu Sela pada era Bill Clinton, Republik menangguk 54 kursi DPR.
Fakta-fakta ini membuat tokoh-tokoh Demokrat termasuk Joe Biden tak begitu kecewa dengan pencapaian partai mereka dalam Pemilu Sela 2022 karena sekalipun Republik mengendalikan DPR perbedaan kursi di antara mereka sangat kecil.
Ini membuktikan pemilih tidak melulu memperhatikan hantaman inflasi saat memilih wakil rakyat. Padahal berbagai jajak pendapat sebelum pemilu sela menyebut inflasi bakal mendorong pemilih ramai-ramai beralih ke Republik sehingga kursi Demokrat dalam legislatif mengalami erosi besar.
Ternyata itu tak terjadi, dan ini membesarkan hati pembesar-pembesar Demokrat, termasuk Presiden Joe Biden yang berbalik yakin pemerintahannya telah dinilai rakyat sudah berada di jalur yang benar.
Biden menjadi percaya diri dalam menjalani sisa dua tahun kekuasaannya karena kalaupun diganggu DPR maka gangguan itu tak akan separah dialami Trump dulu.
Biden yakin mayoritas tipis dalam legislatif akan mendorong Republik mendahulukan kompromi dari pada konflik yang bisa menutup prakarsa-prakarsa dan eksekusi kebijakan.
"Rakyat Amerika sudah memberikan pesan yang jelas bahwa mereka tak ingin hari-hari mendatang terus-terusan diliputi pertarungan politik," kata Biden.
Yang juga membuat Biden berbesar hati adalah populisme Trump tak begitu laku didagangkan kepada bagian terbesar rakyat Amerika Serikat.
Politik populis Trump memang disantap pemilih-pemilih pasti Republik, tetapi pemilih yang belum menentukan pilihan atau "swing voter", menolaknya.
Bahkan sebagian tokoh Republik mulai menjaga jarak dari Trump dan menyebut dia biang keladi di balik tidak terjadinya longsor suara Partai Demokrat dalam badan legislatif.
Fakta lain yang tersingkap dari Pemilu Sela 2022 adalah penegasan bahwa gagasan Trump sudah tidak cocok dengan aspirasi kebanyakan rakyat. Bahkan ada keyakinan, jika Trump ngotot mencalonkan diri, maka Republik bakal kalah lagi dalam Pemilu 2024.
Keyakinan ini didasari fakta kegagalan beberapa calon anggota legislatif dan calon gubernur yang dijagokan Trump dalam Pemilu Sela kali kini, selain kegagalan dalam mengendalikan Senat.
Baca juga: Dulu Anggap Islam Agama Alien, Ini yang Yakinkan Mualaf Chris Skellorn Malah Bersyahadat
Republik kini justru mendapatkan jagoan baru pada diri Ron DeSantis yang terpilih lagi sebagai Gubernur Florida dalam Pemilu Sela 2022 dengan marjin lebar 19,4 persen dari calon Demokrat, Charlie Crist.
DeSantis dianggap orang yang bisa menandingi Trump dan dinilai sebagai calon presiden paling potensial dari Partai Republik untuk Pemilu 2024. Dia diyakini akan dengan mudah mengalahkan Joe Biden pada Pemilu 2024 jika Demokrat mencalonkan lagi Biden.
Namun Biden memiliki peluang menang yang besar jika Republik kembali mengusung Trump. Hal ini didasari dari hasil Pemilu Sela yang menunjukkan mayoritas "swing voter" yang selalu menjadi penentu kemenangan pemilu, menolak Trump.
Hasil pemilu sela di Amerika Serikat juga bisa mempengaruhi sejumlah negara, di antaranya Ukraina dan Rusia.
Ukraina khawatir perubahan besar dalam legislatif Amerika Serikat akan merusak komitmen Amerika Serikat kepada mereka, mengingat sejumlah tokoh Republik sudah menyuarakan keinginan menarik Amerika Serikat dari Perang Ukraina dan beranggapan dukungan kepada Ukraina haruslah bukan bantuan tanpa syarat.
Sementara bagi Presiden Rusia Vladimir Putin, kemenangan Republik bisa membuat perubahan besar dalam kebijakan Amerika Serikat di Ukraina yang menguntungkan posisi Rusia yang tengah terdesak di Ukraina dan beberapa jam lalu kehilangan lagi daerah pendudukan terpenting di Kota Kherson.
Perubahan besar dalam peta kekuatan legislatif Amerika Serikat dengan motor utama Donald Trump, diyakini Putin bakal membuat tangan Amerika Serikat terbelenggu sehingga Ukraina kehilangan suporter terbesarnya.
Ternyata hasil Pemilu Sela tidak sesuai harapan Putin. Trump gagal menggiring rakyat Amerika Serikat dalam mengerdilkan suara Demokrat.
Putin juga melihat sinyal memudarnya Trump dan garis politik populisnya yang ramah kepada posisi politik Putin. Ini jelas tak menguntungkan posisi Presiden Rusia itu, khususnya dalam kaitan dengan Ukraina.
Biden mungkin akan terus bertarung dengan DPR dalam komitmennya membantu Ukraina, namun pertarungan itu tak akan banyak mengubah kebijakan Amerika Serikat untuk Ukraina.
Sebaliknya, jika Republik mendorong Amerika Serikat keluar dari konflik Ukraina, maka itu sama artinya dengan bunuh diri politik, mengingat 70 persen rakyat Amerika Serikat menginginkan negaranya membantu Ukraina. Jika fakta ini diabaikan, Republik harus siap-siap melupakan kemenangan dalam Pemilu 2024.
Dalam matra-matra kebijakan lain, termasuk ekonomi, selisih suara yang tipis dalam Pemilu sela 2022 membuat ruang untuk kompromi dan saling memberikan konsesi menjadi semakin besar. Apalagi presiden Amerika Serikat memilik hak veto terhadap prakarsa-prakarsa legislatif dan juga putusan yudikatif.
Biden memiliki hak veto untuk fatwa larangan aborsi yang dibuat MA, walaupun pemimpin Amerika Serikat biasanya memegang etika kekuasaan dengan tak sembarangan menggunakan hak veto, kecuali atas mandat mayoritas rakyat.
Intinya, memang tengah terjadi pembalikan kekuasaan dalam DPR, tetapi itu tak akan terlalu mengganggu kerja pemerintahan Biden, termasuk kebijakan luar negerinya.
Kabar menarik lainnya adalah populisme yang kerap meninggikan politik identitas, ternyata tak begitu laku di Amerika Serikat.