Legislator Sebut Peluang RKUHP tak Disahkan Periode Ini

Ada kemungkinan bahwa payung hukum pidana itu tak disahkan pada periode ini.

istimewa
Anggota Komisi III DPR Habiburokhman mengungkapkan ada kemungkinan bahwa payung hukum pidana itu tak disahkan pada periode ini. (ilustrasi).
Red: Gita Amanda

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggota Komisi III DPR Habiburokhman mengungkapkan perkembangan terakhir terkait rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP). Ia melihat, ada kemungkinan bahwa payung hukum pidana itu tak disahkan pada periode ini.

"Jika melihat perkembangan terakhir di rekan-rekan DPR, menurut saya RKUHP tidak bakal disahkan di periode ini. Ini karena sebaik apapun draft yang disepakati DPR akan dibully oleh media dan LSM," ujar Habiburokhman lewat keterangannya, Rabu (16/11/2022).

Namun di sisi lain, ia melihat bahwa sembilan fraksi yang ada di DPR menghindari agar hal tersebut tak terjadi. Pasalnya, saat ini sudah memasuki tahapan-tahapan penting dalam pemilihan umum (Pemilu) 2024.

"Sekarang kita nikmati saja KUHP buatan kolonial Belanda yg tegas mengatur hukuman mati sebagai pidana pokok, yang tidak mengenal restorative justice, yang sudah banyak sekali mengantarkan kaum aktivis kritis ke penjara," ujar Habiburokhman.

Wakil Menteri Hukum dan HAM (Wamenkumham) Edward Omar Sharif Hiariej atau Eddy resmi menyerahkan draf terbaru rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) kepada Komisi III DPR. Draf terbaru tersebut berisi 627 pasal, yang sebelumnya terdiri dari 632 pasal.

Lima pasal yang dihapus merupakan hasil sosialisasi dan diskusi Kemenkumham di 11 kota. Pasal-pasal yang dihapus berkaitan dengan penggelandangan, unggas dan ternak yang melewati kebun, dan dua pasal tindak pidana lingkungan hidup.

"Lima pasal yang dihapus itu adalah satu soal advokat curang. Dua, praktek dokter dan dokter gigi. Tiga, penggelandangan. Empat, unggas dan ternak. Lima adalah tindak pidana kehutanan dan lingkungan hidup," ujar Eddy di Gedung Nusantara II, Kompleks Parlemen, Jakarta, Rabu (9/11/2022).

Pemerintah juga melakukan reformulasi. Dalam reformulasi tersebut terdapat tiga poin yang dijelaskannya, yakni menambahkan kata "kepercayaan" dalam pasal-pasal yang mengatur mengenai agama, mengubah frasa "pemerintah yang sah" menjadi pemerintah, dan mengubah penjelasan Pasal 218 mengenai penyerangan harkat dan martabat presiden dan wakil presiden.

"Jadi kami memberikan penjelasan supaya tidak terjadi multi interpretasi, ini betul-betul berdasarkan masukan dialog publik," ujar Eddy.

Baca Juga


BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler