Muhammadiyah Wajib Menjadi Booster dan Gatekeeper Ancaman Polarisasi
Muktamar Muhammadiyah dan narasi demokrasi berkemajuan.
REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Verdy Firmantoro, Kandidat Doktor Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Indonesia; Dosen FISIP UHAMKA; dan Analisis Komunikasi Politik Indopol
Muktamar ke-48 Muhammadiyah di Solo menarasikan demokrasi yang berkemajuan. Demokrasi yang tak gaduh, konstelasi dan kontestasi berjalan damai dan teduh. Para muktamirin dan penggembira hadir bersama sanak keluarga dan handai tolan merayakan “pesta rakyat” menyambut kepemimpinan baru organisasi berlambang matahari dengan dua belas sinar pencerah.
Tak berlebihan jika saya menyebut situasi ini mengamalkan apa yang disebut Jurgen Habermas sebagai demokrasi deliberatif. Sebuah praktik demokrasi yang tak dibajak oleh narasi tunggal elitis, melainkan kesadaran penuh dari para pelaku dan pesertanya.
Demokrasi deliberatif memang dinilai sebagai gagasan yang sangat ideal, tapi sering kali bersifat utopia dengan standarnya yang cukup tinggi. Tapi, melihat yang terlibat khusyuk mengikuti pemilihan tanwir atau Pimpinan Pusat Muhammadiyah periode 2022-2027 dengan suka cita, segala kelebihan dan kekurangan konsepsi deliberasi telah dikerjakan.
Lantas, apa substansi dan ekses miniatur politik nasional ini? Bagaimana praktik yang demokratis ini direplikasi dalam konstelasi dan kontestasi politik yang lebih besar mendatang? Muhammadiyah sebagai bagian historisitas panjang peradaban Indonesia tak cukup menjadi tontonan, tapi tuntunan. Poinnya, terpenting gerakan berjamaah ini wajib menjadi gatekeeper juga booster yang menangkal ancaman polarisasi dan politisasi agama untuk kepentingan kekuasaan.
Muhammadiyah: Gerakan Jamaah dan Gerakan Intelektual
Persyarikatan Muhammadiyah menjadi gerakan jamaah dan gerakan intelektual sejak kelahirannya. Salah satu organisasi Islam tertua dan terbesar di Indonesia yang telah berusia satu abad lebih (110 tahun) sejak 8 Dzulhijjah 1330 (18 November 1912) telah mewarnai praktik pencerahan pada Republik ini. Inisiasi KH. Ahmad Dahlan tak hanya menjadi khasanah literasi keagamaan, namun sebagai embrio pemikiran dan kepemimpinan nasional sampai saat ini.
Deretan intelektual terpilih sebagai bagian Pimpinan Pusat Muhammdiyah periode 2022-2027, di antaranya: Prof Haedar Nashir; Prof Abdul Mu’ti; Dr Anwar Abbas; Dr Busyro Muqoddas; Prof Hilman Latief; Prof Muhadjir Effendy; Prof Syamsul Anwar; Dr Agung Danarto; Dr M. Saad Ibrahim; Prof Syafiq A. Mughni; Prof Dadang Kahmad; Ahmad Dahlan Rais, M.Hum; dan Prof Irwan Akib. Sementara, di tingkat Pimpinan Pusat Aisyiyah periode 2022-2027 juga menetapkan sejumlah srikandi pemikir berkemajuan seperti Dr Siti Noordjannah Djohantini; Dr Siti Aisyah; Dr Salmah Orbayinah; Dr Rohimi Zam Zam; Dr Tri Hastuti; Prof Masyitoh; Dra Latifah; Dr Atiyatul Ulya; Evi Sofia Inayati S.Psi; Rita Pranawati, MA; Diyah Suminar, SE; Prof Siti Muslimah Widyastuti; dan Diyah Puspitarini, M.Pd.
Konsentrasi Muhammadiyah bergerak berjamaah terutama melalui jalur pendidikan menjadi kata kunci narasi Islam berkemajuan yang menjadi spiritnya. Tak heran jika puluhan perguruan tinggi, ribuan sekolah dan ratusan pesantren berdiri sebagai kontribusi nyata bagi negeri. Muhammadiyah telah menjadi ekosistem, “sumur ilmu” bagi para penimbanya dan “nafas” bagi para penggeraknya. Tak heran jika yang hidup dan menghidupi rumah besar itu bukan sembarang orang. Mereka figur-figur yang dibesarkan dengan ketakziman, kebijaksanaan dan keteladanan.
Sekali lagi, Muhammadiyah menjadi habitat bagi para intelektual, aktivis, pengusaha juga politisi berkemajuan. Tak heran jika setiap momen muktamar selalu dinanti hasil dan pengaruhnya. Bahkan Wakil Ketua Umum PBNU KH Zulfa Mustofa menegaskan bahwa Muhammadiyah sebagai saudara tua bagi Nahdlatul Ulama. Artinya, saat Republik ini mengalami krisis multidimensional, Muhammadiyah dan NU hadir terdepan sebagai pilar peradaban.
Muhammadiyah: Menanti “Punch Line” dan Arah Koalisi Keumatan 2024
Seusai muktamar digelar, publik menanti ke mana arah Muhammadiyah. Jika dijawab secara normatif, tentu gampang saja. Arah Muhammdiyah pasti tetap menghadap ke kiblat. Namun, tentu publik menginginkan jawaban lebih dari itu. Kiblat yang dimaksud bukan sekedar kiblat sholat, tapi kiblat politik.
Muhammadiyah telah berhasil menggelar pesta demokrasi melalui e-voting. Sebuah praktik demokrasi digital yang tentu tengah berkembang menyesuaikan zaman. Catatan penting terkait esensi demokrasi lebih dari sekedar konversi teknologi, tapi mengawal suara tak dikooptasi. Dalam konteks ini, Muhammadiyah bukan hanya ormas, ia kendaraan aspirasi umat Islam.
Organisasi sedemikian besar ini tentu perlu mengarusutamakan wacana atau diskursus yang lebih produktif. Jangan sampai isu utama yang seharusnya menjadi fokus justru luput dari perhatian. Akhirnya, energi kemajuan yang seharusnya menjadi simpul perubahan justru tersedot ke isu-isu yang tak diperlukan. Akibatnya menjadi tertatih-tatih mengurusi persoalan kebangsaan.
Menjawab tantangan tesis Samuel Huntington atau Francis Fukuyama yang menyebut demokrasi cenderung tak kompatibel dengan warga Islam perlu dibuktikan dalam kerja-kerja permusyawaratan. Muhammadiyah sebagai entitas yang tak condong ke kanan atau ke kiri, dapat mendamaikan gejolak peradaban dengan konsepsi wasathiyah yang inklusif untuk beradaptasi dengan perkembangan.
Kembali ke penantian publik seperti yang tengah didiskusikan. Ke mana suara Muhammadiyah di konstelasi dan kontestasi politik 2024 mendatang. Mau dilabuhkan ke mana aspirasi jutaan jamaah itu? Muhammadiyah memang bukan organ politik, tapi tentu tak bisa lepas dari kepentingan politik. Pasca muktamar, setidaknya Muhammadiyah mempunyai tiga pekerjaan rumah (PR).
Pertama, Muhammdiyah perlu mentransfer kedamaian situasi muktamar yang sejuk dan tak gaduh itu untuk diterapkan di perhelatan politik 2024 nanti. Kedua, sebagai entitas yang menempatkan Islam dalam narasi fungsional berkemajuan (din al-hadlarah) dapat menjadi kendaraan umat yang mencerahkan. Artinya, Muhammadiyah perlu terlibat dalam literasi dan edukasi politik kewargaan. Berkemajuan itu perlu diturunkan dalam praktik konkret dalam rangka membersamai masyarakat agar tak melepas suaranya cuma-cuma.
Ketiga, Muhammadiyah harus bisa menciptakan “punch line” yang menggembirakan di tengah sengitnya persaingan memperebutkan kekuasaan. Belajar dari para komika, momen kelucuan dalam konteks ini dikaitkan dengan esensi untuk memenuhi harapan atau ekspektasi publik. Menertawakan sebuah jokes itu perlu kejujuran. Artinya, tawa itu tak bisa dimanipulasi. Memang ada penonton bayaran dalam sebuah industri siaran, tapi demokrasi tak perlu membeli suara hanya untuk menghasilkan “kebahagian palsu”, “suara semu”. Jangan sampai publik menjadi korban dan tumbal sirkulasi elite kepemimpinan. Muhammadiyah perlu hadir dalam demokrasi kita, bukan untuk tunduk pada barter politik praktis, tapi memimpin arah koalisi keumatan yang humanis.