'Indonesia Hampir Buntung dengan Adanya Perjanjian DCA dan FIR dengan Singapura'
Pakar menilai RI tidak diuntungkan oleh kerja sama DCA dan FIR dengan Singapura.
REPUBLIKA.CO.ID, oleh Nawir Arsyad Akbar
Guru besar bidang hukum internasional di Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran (Unpad), Atip Latipulhayat mengatakan bahwa DPR perlu mengkritisi perjanjian antara Indonesia dan Singapura. Pasalnya jika DPR setuju untuk meratifikasinya, hanya sedikit manfaat yang diterima Indonesia.
Salah satu perjanjiannya adalah kerja sama pertahanan atau Defence Cooperation Agreement (DCA). Salah satu poinnya adalah Singapura boleh melakukan latihan militer di wilayah Indonesia dan mengundang negara lain, yang dinilainya berpotensi terjadinya pelanggaran kedaulatan.
"Kalau diterima bagaimana konsekuensinya, kalau ditolak kembali pada yang semula. Dalam hal ini Singapura menerapkan semacam kesepakatan timbal-balik, namun Singapura nyaris untung semuanya, Indonesia hampir buntung," ujar Atip dalam rapat dengar pendapat umum (RDPU) dengan Komisi I DPR, Senin (21/11/2022).
Kedua adalah perjanjian terkait Flight Information Region (FIR). Dalam perjanjian tersebut, Indonesia hanya mengendalikan ruang udara mulai 37 ribu kaki ke atas di kawasan Kepulauan Riau. Sedangkan di ketinggian 0 sampai 37 ribu kaki merupakan otoritas penerbangan Singapura.
Kesepakatan tersebut akan berlangsung selama 25 tahun, yang dievaluasi setiap lima tahun. Padahal, sebagian besar penerbangan komersial beroperasi di ketinggian 31 ribu hingga 38 ribu kaki.
"Singapura memaketkan FIR dengan DCA dan ekstradisi. Singapura sudah mendapatkan DCA dan ini keberhasilan menerapkan tafsiran Pasal 51 UNCLOS, khususnya pada frase legitimate activities," ujar Atip.
"Sementara Indonesia hampir tidak mendapatkan apa-apa dari perjanjian FIR, menunggu 25 tahun kita," sambungnya menegaskan.
Rektor Universitas Pertahanan Laksamana Madya TNI Amarulla Octavian menjelaskan, perjanjian antara Indonesia dan Singapura terkait DCA harus diratifikasi dalam pembahasan rancangan undang-undang (RUU). Jika ratifikasi disetujui oleh Komisi I DPR, perjanjian tersebut akan menjadi undang-undang yang dapat dilaksanakan.
Ia memaparkan, RUU tentang DCA tersebut haruslah memuat 10 poin. Empat poin pertama adalah ruang lingkup kerja sama, pembatasan dan otoritas kewenangan, rincian wilayah, dan kewajiban peraturan pelaksanaan atau implementing arrangement.
"(Poin selanjutnya) Perlindungan terhadap informasi rahasia, alokasi anggaran, penyelesaian perselisihan, pemberlakuan, amandemen, pengakhiran (kerja sama pertahanan)," ujar Amarulla dalam forum yang sama.
Selanjutnya dalam naskah akademik yang diterima pihaknya, harus ada kewajiban untuk dibentuknya Komite Kerja Sama Pertahanan yang termaktub dalam Pasal 5 RUU tersebut. Kemudian, yang tidak kalah penting adalah Pasal 6.
"Pasal 6, yaitu implementing arrangement. Ini harusnya ditandatangani oleh Panglima TNI, KSAL, KSAD, dan KSAU dan juga Panglima angkatan bersenjata Singapura, darat, udara, lautnya," ujar Amarulla.
Ia pun merekomendasikan dua hal dalam RUU tersebut, pertama adalah perlu ditandatanganinya terlebih dahulu pengaturan pelaksanaan atau implementing arrangement. Pengaturan pelaksana tersebut harus ditandatangani oleh Panglima TNI dan Panglima Angkatan Bersenjata Singapura.
"Kedua, terlebih dahulu perjanjian FIR (flight information region) dan perjanjian ekstradisi disahkan oleh Parlemen Singapura," ujar Amarulla.
Diketahui, pemerintah Indonesia segera memproses ratifikasi tiga perjanjian dengan Singapura. Indonesia dan Singapura telah melakukan perjanjian kerja sama dalam tiga hal, yakni Penyesuaian Area Layanan Navigasi Penerbangan atau Flight Information Region (FIR), Defence Cooperation Agreement atau kerja sama pertahanan (DCA), dan ekstradisi.
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam) Mahfud MD sebelumnya menjelaskan, dalam tata hukum di Indonesia, perjanjian internasional harus diratifikasi agar memiliki daya laku. Namun, tidak semua harus diratifikasi dengan undang-undang.
“Ada yang cukup dengan Perpres, Permen atau MoU biasa. Yang harus diratifikasi dengan UU, antara lain, perjanjian yang terkait dengan pertahanan dan hukum," ujar Mahfud.
DPR bingung
Anggota Komisi I DPR TB Hasanuddin mengaku bingung dengan pemerintah soal perjanjian antara Indonesia-Singapura terkait kerja sama pertahanan atau DCA dan FIR. Pasalnya, DCA akan diratifikasi oleh DPR untuk menjadi undang-undang.
Sedangkan, FIR diratifikasi oleh pihaknya lewat peraturan presiden (Perpres). Ditambah pemerintah hingga saat ini belum menjelaskan lebih detail terkait dua perjanjian tersebut dengan Komisi I.
"Kita belum jelas apakah misalnya DCA ini ada hubungan misalnya dengan FIR, FIR ada hubungan dengan ekstradisi, ekstradisi ada hubungan dengan pinjaman duit dan sebagainya, kita belum tahu nih," ujar Hasanuddin, Senin (21/11/2022).
Secara khusus ia mengkritisi DCA atau kerja sama pertahanan antara Indonesia dan Singapura. Pasalnya, ada alasan terkait kedaulatan negara sehingga Komisi I menolak untuk meratifikasinya pada 2007.
Di samping itu, draf RUU tentang DCA saat ini juga masih sama dengan yang ada pada 2007. Ditambah, pemerintah juga belum menjelaskan lebih detail terkait poin-poin yang akan diatur di dalamnya.
"Dipaparkan dulu seperti ini, seperti ini, apakah ini melanggar aturan ketentuan-ketentuan yang kita miliki. Dalam artian kita harus tetap mempertahankan eksistensi kita, menjaga kedaulatan kita atau kita serahkan sebagian karena hanya dapat duit dan sebagainya," ujar Hasanuddin.
Anggota Komisi I Christina Aryani juga menyampaikan bahwa DCA dan FIR ini merupakan sesuatu yang diperdebatkan. Pasalnya, DCA dan FIR bersama perjanjian ekstradisi merupakan paket kerja sama antara Indonesia-Singapura.
Hal inilah yang menimbulkan kebingungan, karena DCA dan ekstradisi akan diratifikasi DPR untuk menjadi undang-undang. Sedangkan FIR yang notabenenya satu paket perjanjian justru diratifikasi lewat Perpres.
"Kita tidak pernah tahu kenapa dipaketkan atau tidak, dan kita tidak bisa berasumsi pemerintah punya strategi, tapi kita tidak tahu strateginya, kan ini susah juga. Kita tidak bisa menebak jalan pikiran pemerintah kan," ujar Christina.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional, seharusnya tiga perjanjian tersebut diratifikasi lewat undang-undang. Sehingga sebelum mendengarkan penjelasan pemerintah, Komisi I belum dapat memastikan untuk meratifikasi DCA dan FIR.
"Nah gimana strateginya, apa kita hold DCA untuk tunggu sampai ada penjelasan detail dari pemerintah. Sehingga yang sesuatu yang bisa terima alasannya sahih bagi kita atau kita dengar dulu masukan dari ahli-ahli untuk kemudian jadi pengayaan, tapi kita hold dulu jangan kita beri persetujuan untuk ratifikasinya," ujar Christina.