Hira Anak Guru Honorer

Cerita tentang Hira yang cerdas. Ayahnya seorang guru honorer di sebuah sekolah. Ibunya wafat beberapa bulan yang lalu. Hira menjadi inspirasi bagi sang Ayah untuk menulis sebuah puisi yang berisi nasihat tentang cita-citadan konsistensi dalam kebaik

retizen /Syamsul Rizal Ikhwan
.
Rep: Syamsul Rizal Ikhwan Red: Retizen
HIRA ANAK GURU HONORER

Beberapa orang yang usianya mungkin sepantaran denganku, berbaju batik tak seragam, turun dan keluar dari lift, tak jauh dari tempat kami duduk menunggu panggilan untuk mengambil obat.


Di depan kami persis, apotik rumah sakit, masih ramai dengan orang-orang yang mengantri. Semuanya duduk manis di kursi berbahan logam yang kelihatan tak lagi baru.

Tak jauh di sebelah kanan ada tulisan 'Pasien Askes'. Sejak Bunda - istriku tercinta - wafat beberapa bulan silam, anak semata-wayangku yang masih kelas enam SD ini memang kadang-kadang harus kubawa ikut serta, apalagi kalau sedang tak ada saudara yang bisa menemaninya di rumah.

Dulu Bunda selalu bersamanya sambil berjualan nasi di warung merangkap rumah kami. “Ayah, lihat, ada Bapak-Bapak dan Ibu-Ibu !” anakku berseru sambil menunjuk ke arah pintu lift yang masih terbuka. Buku di sebelah-tangannya sekarang.

"Sepertinya mereka guru honorer, Yah.." lanjutnya. Kali ini santai, datar, dan polos.

Kuletakkan di pahaku buku yang sedang kubaca. Aku memang sengaja membiasakan membawa buku ke mana pun pergi. Tidak saja untuk berusaha menambah ilmu pengetahuan dan informasi, atau kadang bisa juga sekedar mengisi waktu luang, tapi juga untuk memberi contoh kepada anakku dan murid-muridku, bahwa buku adalah sahabat setia yang harus senantiasa mendampingi sehidup-semati.

Sambil tersenyum di dalam hati dan mencoba mengingat-ingat kapan aku pernah ngobrol dengan anakku ini terkait istilah 'honorer', kuperhatikan Bapak-Bapak dan Ibu-Ibu itu berjalan keluar dari lift menuju ke arah depan. Biasa saja. Tak ada ciri tertentu.

Mungkin aku kurang jeli ? “Dari mana Hira tahu ?” tanyaku. “Badannya kurus-kurus kayak Ayah !” lanjutnya dengan tetap santai, tapi tegas.

“Hahahahaha ” aku tak dapat menahan tawa mendengarnya. Tiba-tiba saja aku bisa tak peduli orang-orang di sekitar kami akan terganggu. Terasa begitu lucu, cerdas, dan akrab. Kalau tak lucu, mana mungkin aku bisa tertawa lepas. Kalau tak cerdas, mungkin aku akan marah mendengarnya. Kalau tak akrab, tak mungkin lah kami berdua bersama bergurau di sana pada hari itu.

Betapa bahagia aku punya anak Hira. Analisisnya jujur, cerdas, tajam, dan berani. Rada mirip dengan slogan surat kabar terkenal itu. Lebih keren malah. Kocak pula. Pokoknya lengkap deh.. Alhamdulillah, semoga ini berarti aku cukup berhasil menanamkan beberapa karakter positif - yang sekarang populer dengan sebutan profil pelajar Pancasila itu - ke dalam jiwa anakku yang masih sangat belia ini.

Dalam hati aku berdo'a semoga dia tetap konsisten hingga kelak suatu saat menjadi salah seorang pemimpin di negeri ini. Selepas itu, tiba di rumah, mengalir kutulis berderet kalimat :

Hira anakku.. Saat-saat begini teringat Ayah ketika dulu kita boncengan bersepeda melintasi alun-alun desa berpapasan dengan pak Umar Bakri

Ramah beliau menyapamu cerah sumringah wajahnya meski hanya baju lusuh dan kusam membalut tubuhnya yang kurus

Gurumu itu sudah almarhum sekarang tapi anak-anaknya semua sudah jadi orang

Entah dari mana saja dia mencari tambahan untuk biaya hidup keluarganya Hira..

Sebetulnya Ayah salut dengan gurumu itu Tapi.. Ayah berharap.. kalau bisa, kamu jangan jadi guru ya.. Ayah khawatir tentang kecukupan hidupmu nanti sekeluarga

Boleh sih jadi guru.. tapi kau harus pintar cari tambahan

Gaji saja tak kan cukup untuk kuliah anak-anakmu kelak

Apalagi untuk juga beli mobil dan rumah Anakku.. kalau boleh Ayah usul, mending kau jadi dokter saja

Orang kaya sekarang banyak takut mati

Mungkin merasa banyak dosa batuk pilek sedikit mereka datang ke dokter

Tarifnya mahal kau bisa cepat kaya Pendapatan sebulan mungkin sama dengan beberapa tahun gaji Pak Umar Bakri

Atau.. boleh juga kau jadi anggota DPR setahu Ayah gajinya jauh lebih gede gizimu sekeluarga tujuh turunan akan terjamin badanmu akan cepat gemuk dan sehat

Kau tak perlu pikirkan biaya listrik dan pulsa internet bahkan gorden jendelamu ada yang mengurus Hira anakku.. Kalau mau jadi polisi atau tentara, boleh juga nanti kau akan punya plat nomor khusus untuk mobilmu

Eh, tapi jangan ding.. Ayah khawatir nanti kau jadi sombong dan bergaya di jalanan

Orang-orang akan takut kepadamu

Begini saja deh.. Lebih baik kau jadi pengambil kebijakan agar kau bisa buatkan plat nomor khusus untuk sepeda motor para guru se-Indonesia agar bila mereka lewat, meski tanpa sirene semua orang akan dengan senang hati memberi jalan dan menyanyikan lagu Himne Guru

Eh, tapi jangan ding.. Anakku.. Silahkan kau jadi apa saja sesuai minat dan bakatmu Yang penting.. kau tetap konsisten dalam kebaikan untuk bangsa dan negaramu

(25 November 2022) Syamsul Rizal Ikhwan Guru SMAN 1 Citeureup, Bogor

sumber : https://retizen.id/posts/189855/hira-anak-guru-honorer
BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Disclaimer: Retizen bermakna Republika Netizen. Retizen adalah wadah bagi pembaca Republika.co.id untuk berkumpul dan berbagi informasi mengenai beragam hal. Republika melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda baik dalam dalam bentuk video, tulisan, maupun foto. Video, tulisan, dan foto yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim. Silakan kirimkan video, tulisan dan foto ke retizen@rol.republika.co.id.
Berita Terpopuler