Protes Pembatasan Covid-19 Meletus di Xinjiang

Kerumunan orang meneriaki penjaga yang mengenakan pakaian hazmat.

AP/Andy Wong
Lockdown Covid-19 di sejumlah wilayah Beijing.
Rep: Dwina Agustin Red: Teguh Firmansyah

REPUBLIKA.CO.ID, URUMQI -- Protes yang jarang terjadi meletus di wilayah Xinjiang barat Cina. Kerumunan orang meneriaki penjaga yang mengenakan pakaian hazmat setelah kebakaran mematikan memicu kemarahan atas penguncian Covid-19 yang berkepanjangan karena infeksi nasional mencatat rekor baru.

Menurut video yang beredar di media sosial Cina pada Jumat (25/11) malam, kerumunan meneriakkan "Akhiri penguncian!" dan mengacungkan tinju ke udara saat turun di jalan. Reuters memverifikasi rekaman itu diterbitkan dari ibukota Xinjiang, Urumqi.

Video memperlihatkan orang-orang di alun-alun menyanyikan lagu kebangsaan China dengan liriknya "Bangkitlah, mereka yang menolak menjadi budak!" sementara yang lain berteriak ingin dibebaskan dari penguncian. China telah menempatkan wilayah Xinjiang yang luas di bawah penguncian terlama di negara itu.

Banyak dari empat juta penduduk Urumqi dilarang meninggalkan rumah selama 100 hari. Kota itu melaporkan sekitar 100 kasus baru masing-masing dalam dua hari terakhir.

Xinjiang adalah rumah bagi 10 juta etnis Uighur. Kelompok hak asasi dan pemerintah Barat telah lama menuduh Beijing melakukan pelanggaran terhadap etnis minoritas yang sebagian besar Muslim, termasuk kerja paksa di kamp-kamp interniran. China dengan keras menolak klaim semacam itu.

Protes Urumqi menyusul kebakaran di gedung bertingkat tinggi di sana yang menewaskan 10 orang pada Kamis (24/11) malam. Pihak berwenang mengatakan, penghuni gedung itu bisa turun, tetapi video dari kru darurat yang dibagikan di media sosial China menunjukan kondisi lain. Video ini membuat banyak pengguna internet menduga bahwa penghuni tidak dapat melarikan diri tepat waktu karena sebagian bangunan itu dikunci.

Pejabat Urumqi tiba-tiba mengadakan konferensi pers pada dini hari Sabtu (26/11). Mereka menyangkal bahwa tindakan Covid-19 telah menghambat evakuasi dan penyelamatan. Namun tim akan menyelidiki lebih lanjut. Seseorang mengatakan, warga bisa melarikan diri lebih cepat jika mereka lebih memahami keselamatan kebakaran.

Ilmuwan politik di University of Chicago Dali Yang mengatakan, sikap menyalahkan korban seperti itu akan membuat orang semakin marah. "Kepercayaan publik hanya akan merosot lebih rendah," katanya.

Pengguna di platform Weibo menggambarkan insiden itu sebagai tragedi yang muncul dari desakan China untuk tetap berpegang pada kebijakan Zero-Covid dan sesuatu yang bisa terjadi pada siapa saja. Beberapa orang menyesali kemiripannya dengan kecelakaan mematikan dari bus karantina Covid-19 pada September lalu.

"Apakah tidak ada sesuatu yang dapat kita renungkan untuk membuat beberapa perubahan," kata sebuah esai yang menjadi viral di WeChat mempertanyakan narasi resmi tentang kebakaran apartemen Urumqi.

Pemerintah baru-baru ini mengubah langkah-langkahnya, mempersingkat karantina, dan mengambil langkah-langkah lain yang ditargetkan. Namun meningkatnya kasus telah menyebabkan kebingungan dan ketidakpastian yang meluas di kota-kota besar, termasuk Beijing. China mencatat 34.909 kasus lokal setiap hari dengan infeksi menyebar ke banyak kota, mendorong penguncian yang meluas dan pembatasan lain pada pergerakan dan bisnis.

Baca Juga


sumber : Reuters
BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler