Demo Langka dan Penyensoran Informasi di China
Pemerintah China berusaha menyensor informasi demo langka soal kebijakan nol Covid
REPUBLIKA.CO.ID, BEIJING -- Aksi unjuk rasa memprotes penerapan karantina wilayah (lockdown) terjadi di sejumlah wilayah di China pada Ahad (27/11/2022). Massa telah frustrasi dengan kebijakan nol-Covid pemerintah pusat. Mereka bahkan tak segan menyerukan Presiden China Xi Jinping untuk mundur dari jabatannya.
Aksi unjuk rasa menyebar di berbagai kota di China. Sekitar 400 warga China menggelar unjuk rasa di tepi Sungai Liangma. Di Shanghai, para pengunjuk rasa menggelar aksinya di jalan Wulumuqi. Wulumuqi merupakan nama Mandarin untuk Urumqi. Unjuk rasa serupa dilaporkan turut terjadi di Wuhan, Guangzhou, Chengdu, dan Hong Kong.
Momen protes yang meluas semacam itu jarang terjadi di China. Hal itu karena otoritas Negeri Tirai Bambu selalu berhasil menekan setiap pihak yang mencoba beroposisi atau berseberangan dengan pemerintah.
Unjuk rasa kali ini pun pemerintah China diduga sudah berusaha menerapkan penyensoran informasi di media sosial (medsos). Di platform Weibo, yakni medsos mirip Twitter milik China, setiap berita tentang aksi unjuk rasa dengan kata pencarian “Sungai Liangma” dan “Jalan Urumqi” telah dihapus. Referensi apa pun yang merujuk ke aksi unjuk rasa dilenyapkan.
Pencarian tagar #A4, misalnya, tidak muncul di Weibo. Tagar tersebut merupakan referensi untuk aksi protes senyap yang dilakukan warga Shanghai sambil membawa kertas kosong ukuran A4.
Video, termasuk yang menunjukkan sekelompok mahasiswa tengah bernyanyi dalam aksi unjuk rasa, juga telah menghilang dari aplikasi perpesanan WeChat. Muncul pemberitahuan bahwa konten-konten tersebut telah dilaporkan sebagai konten “yang tidak patuh atau sensitif”.
Kontrol informasi yang ketat dan pembatasan perjalanan berkelanjutan terkait kebijakan nol-Covid telah membuat proses verifikasi jumlah pengunjuk rasa di sejumlah wilayah di China terkendala. Yang jelas, warga di sana telah frustrasi dengan kebijakan nol-Covid pemerintah pusat. Lewat kebijakan itu, penemuan beberapa kasus Covid-19 segera direspons dengan pemberlakuan lockdown, masa karantina yang lama, dan pengujian massal.
Pakar politik China dari National University of Singapore, Alfred Wu Muluan, dapat memahami kejenuhan dan rasa frustrasi warga China atas kebijakan nol-Covid.
“Orang-orang sekarang telah mencapai titik didih karena belum ada arah yang jelas untuk mengakhiri kebijakan nol-Covid. Partai (Komunis China) telah meremehkan kemarahan rakyat,” katanya mengomentari unjuk rasa yang pecah di sejumlah wilayah di China pada Ahad lalu.