Al-Hikam: Nasihat Hikmah adalah Makanan Bagi Pendengarnya

Kamu tidak akan men­dapatkan apapun dari yang kamu sampaikan, kecuali mengamalkannya.

Pixabay
Al-Hikam: Nasihat Hikmah adalah Makanan Bagi Pendengarnya
Rep: Fuji E Permana Red: Ani Nursalikah

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Syekh Ibnu Athaillah as-Sakandari dalam kitab Al-Hikam menjelaskan bahwa nasihat yang mengandung hikmah adalah makanan bagi para pendengarnya. Tapi hanya makanan yang dimakan yang bermanfaat bagi tubuh. Artinya, hanya nasihat yang dikerjakan yang akan bermanfaat, jika hanya didengarkan tidak akan menjadi manfaat.

Baca Juga


"Nasihat adalah makanan bagi para pendengar, kamu hanya akan mendapatkan sesuatu yang kamu makan." (Syekh Ibnu Athaillah as-Sakandari, Al-Hikam)

Penyusun dan Penerjemah Al-Hikam, D A Pakih Sati dalam buku Kitab Al-Hikam dan Penjelasannya yang diterbitkan penerbit Noktah tahun 2017 menjelaskan maksud Syekh Athaillah mengenai nasihat adalah makanan.

Nasihat dan petuah tentang masalah-masalah hakikat adalah ibarat makanan bagi para pendengarnya. Terutama, bagi orang-orang yang belum mampu mengenal hakikat sesuatu karena keimanan mereka masih lemah dan cahaya Ilahi yang dimiliki tidak begitu terang.

Sedangkan orang-orang yang kaya ilmu hakikat, maka mereka tidak membutuhkan nasihat dan petuah ini lagi. Sebab, mereka sudah mampu memahaminya tanpa harus dijelaskan. Kemam­puan yang mereka miliki hampir sama dengan kemampuan yang di­miliki penasihat, sehingga mereka juga layak memberikan makanan ru­hiyah kepada orang lain.

Akan tetapi, ingatlah, orang yang menyam­paikan dan mendengarkan nasihat. Kamu tidak akan men­dapatkan apapun dari sesuatu yang kamu sampaikan dan dengarkan, kecuali jika kamu mengamalkannya. Jangan sampai kamu sama seperti orang-orang Yahudi, yang me­ngetahui namun tidak mau mengamalkannya.

Contohnya, sepengetahuan kamu, gula itu manis. Kamu mengatakan hal itu kepada setiap orang, namun kamu tidak pernah mencobanya sama sekali. Apakah ilmu kamu bermanfaat dan bisa dirasakan efeknya? Tentu tidak, begitu juga halnya dengan orang yang mendengarkan.

Terjemah kitab Al-Hikam oleh Ustadz Bahreisy menambah penjelasan perkataan Syekh Athaillah mengenai nasihat adalah makanan. Ustadz Bahreisy menjelaskan, betapa banyak aneka warna hidangan, tapi yang berguna bagi seseorang hanyalah hidangan yang dimakannya. Kemudian orang akan memilih makanan yang disukainya dan dimengerti olehnya.

Muhyiddin (Muhammad) bin Al-Araby mengatakan, pada suatu hari mendapatkan undangan dari teman di Zulqaqil-Ganadil di Mesir. Di sana, ia bertemu para guru, dan hidangan dikeluarkan.

Di pertemuan itu, ada suatu wadah yang biasa dipakai tempat kencing tapi sudah tidak dipakai lagi tempat kencing, maka dipakai menjadi tempat makanan. Setelah semua selesai makan, tiba-tiba wadah itu berkata.

"Karena saya sudah menjadi tempat makan bagi para guru ini, maka sejak saat ini saya tidak rela lagi menjadi tempat kotoran," kata wadah tersebut.

Syekh Muhyiddin bertanya kepada para hadirin yang ada di situ, "Apa yang kalian dengar?" Para hadirin menjawab, "Sejak saya dipakai tempat makanan untuk para guru, saya tidak mau menjadi tempat kotoran lagi." Syekh Muhyiddin menjawab, "Tidak seperti itu perkataannya."

Kemudian para hadirin bertanya kepada Syekh Muhyiddin, apa perketaan wadah tersebut. Syekh Muhyiddin mengatakan, "Hati kamu setelah mendapatkan kehormatan dari Allah dijadikan tempat iman, maka jangan rela hati kamu ditempati najis-najis, syirik, maksiat dan cinta dunia."

 

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler