Pertimbangan Hakim Memvonis Bebas Terdakwa Kasus HAM Berat Paniai
Majelis hakim berbeda pendapat soal pertanggung jawaban komando terdakwa.
REPUBLIKA.CO.ID, oleh Rizky Suryarandika
Majelis Hakim Pengadilan Negeri (PN) Makassar pada Kamis (8/12/2022) menjatuhkan vonis bebas terhadap Mayor Infantri Purnawirawan Isak Sattu dalam kasus pelanggaran HAM berat Paniai. Majelis hakim mendasarkan putusan pada unsur pertanggungjawaban komando yang tak terpenuhi.
Dalam pembacaan putusan, hakim anggota sekaligus hakim adhoc HAM Siti Noor Laila menjelaskan, Isak tidak memimpin Koramil Enarotali dan tidak mempunyai kewenangan mengeluarkan perintah langsung kepada anggota Koramil. Sehingga, Isak diyakini tidak dapat dikatakan mempunyai kewenangan de facto untuk mengendalikan pasukan TNI di Koramil Enarotali.
"Terdakwa tidak punya kualitas sebagai pemimpin militer Koramil Enarotali. Jadi tidak terpenuhi (unsur pertanggungjawaban komando). Maka terdakwa harus dinyatakan tidak terbukti. Terdakwa harus dibebaskan dari dakwaan," kata Siti dalam sidang di Pengadilan Negeri Makassar, Kamis.
Majelis hakim menjelaskan, pada peristiwa 7 dan 8 Desember 2014 di Paniai, Danramil Enarotali Junaid tidak berada di Paniai karena sedang cuti. Majelis hakim memandang Dandim Paniai seharusnya mengeluarkan surat perintah resmi kepada Isak untuk memimpin sementara Koramil Enarotali. Tujuannya menghindari kevakuman komando di sana.
"Tetapi Dandim Paniai tidak keluarkan surat resmi. Sehingga Junaid tetap Danramil Enarotali walau tidak ada di tempat," ujar Siti.
Atas dasar ini, Majelis Hakim PN Makassar menyatakan tak sependapat dengan Jaksa Penuntut Umum (JPU) soal pemenuhan unsur pertanggungjawaban komando. Sebab, majelis hakim meyakini Isak Sattu tak lantas menjadi Danramil Enarotali walau memiliki pangkat tertinggi ketika Junaid absen.
"Terdakwa tidak serta merta jadi komandan semata-mata karena terdakwa hanya punya pangkat tertinggi. Harusnya dibuktikan punya kekuasaan de facto bisa kendalikan pasukan," ucap Siti.
Di sisi lain, Majelis Hakim PN Makassar menyinggung pihak lain yang patut bertanggungjawab atas kasus Paniai. Hanya saja, majelis hakim tak menyebut nama-nama tertentu secara spesifik. Sebab, majelis hakim meyakini kasus Paniai tetap berupa kejahatan kemanusian berbentuk pembunuhan.
"Menimbang bahwa berdasarkan fakta persidangan terhadap pelaku tindak pidana kejahatan kemanusiaan berupa pembunuhan terdapat pihak-pihak yang layak dimintai pertanggungjawaban berdasarkan rantai komando secara berjenjang berdasarkan komando teritori maupun pasukan khusus atau BKO baik dari TNI maupun Polri," ucap hakim anggota Robert Pasaribu, yang juga hakim adhoc HAM.
Dissenting opinion
Ihwal pertanggung jawaban komando yang menjadi pertimbangan putusan, majelis hakim tak satu suara. Hakim anggota yang merupakan hakim karier, Abdul Rahman Karim menyatakan, sikap dissenting opinion atau pendapat berbeda dalam memutuskan perkara.
Abdul meyakini ada unsur pertanggung jawaban komando dalam kasus Paniai yang menjerat eks Perwira Penghubung (Pabung) Mayor Infantri Purnawirawan Isak Sattu. Abdul merujuk pada konsep relasi "atasan-bawahan" dalam dunia militer.
Menurutnya, Isak selaku perwira dengan pangkat tertinggi saat peristiwa Paniai memenuhi unsur sebagai 'atasan' bagi anggota Koramil Enarotali selaku 'bawahan'.
"Ada unsur atasan bawahan. Atasan tahu ada tindak kejahatan dari bawahannya tapi atasan gagal menindak atau menyerahkan yang bersangkutan ke aparat yang berwenang," kata Abdul dalam persidangan tersebut.
Abdul menilai unsur komando tak cuma secara formal yang tertulis dalam struktur militer. Sehingga menurutnya, seorang komandan tak harus atasan langsung.
"Pabung dalam susunan organisasi merupakan pimpinan, pembentukkan sesuai kebutuhan dapat persetujuan KASAD. Koramil bawahan Kodim, terdakwa adalah Pabung Kodim Paniai. Pada saat peristiwa terdakwa sedang laksanakan tugas wakili Dandim, terdakwa sehari-hari berkantor di Koramil," ujar Abdul.
Abdul juga menyebut, jika di lapangan anggota Koramil patuh dan taat pada Isak maka ada hubungan atasan-bawahan secara efektif. Menurutnya, Isak menjadi komandan de facto Koramil Enarotali karena Danramil Enarotali selaku komandan de jure sedang tak ada di tempat.
"Pabung yang paling senior ambil alih tugas pengendalian pasukan di lapangan. Maka terdakwa dapat dikualifikasikan jadi komandan de facto. Sehingga Pabung punya kontrol efektif terhadap anggota Koramil," ucap Abdul.
Atas dasar itu, Abdul meyakini Isak secara pidana bertanggung jawab atas pelanggaran hukum anak buahnya yang dipimpin di Koramil Enarotali. Ia menyebut Isak turut bisa dimintai pertanggungjawaban karena tidak melakukan supervisi kepada atasannya.
"Terdakwa sebagai Pabung punya kewenangan cegah penembakan dan kirim laporan ke atasannya untuk ambil langkah-langkah yang seharusnya dilakukan," kata Abdul.
Dalam pertimbangan putusannya, Majelis Hakim PN Makassar juga mengungkit kegagalan tim pencari fakta kasus Paniai bentukan Menko Polhukam zaman Luhut Binsar Pandjaitan. Majelis hakim menyebut tim itu gagal menemukan pelaku penembakan langsung terhadap masyarakat Paniai.
"Tim terpadu penembakan Paniai yang dibentuk Kemenko Polhukam gagal temukan pelaku penembakan dan perusakan (kantor Koramil)," ujar hakim anggota sekaligus hakim adhoc HAM Siti Noor Laila.
Majelis hakim juga menyoroti tim bentukan Menko Polhukam yang tak bisa mendapatkan peluru yang cocok dengan yang digunakan aparat saat peristiwa Paniai.
"Temuan tidak ada yang identik dengan yang ditemukan di lapangan dan tubuh korban," ucap Siti.
Majelis hakim juga menyinggung penyampaian keterangan oleh sejumlah saksi sepanjang persidangan kasus pelanggaran HAM berat Paniai yang menjerat Mayor Infantri Purnawirawan Isak Sattu. Majelis hakim memandang sebagian saksi justru menutupi fakta.
JPU memang sempat mendatangkan saksi dari unsur Polri dan TNI dalam sidang kasus Paniai. Namun, majelis hakim menyayangkan kesaksian mereka yang tak maksimal.
"Saksi dari Polsek (Paniai Timur) dan Koramil (Enarotali) yang ada di lokasi dan berhadapan dengan massa harusnya dapat mengungkap siapa pelaku penembakan yang sebabkan korban jiwa dan luka-luka, namun fakta persidangan saksi-saksi menerangkan tidak dapat mengetahui atau tidak melakukan penembakan di luar prosedur," kata Siti.
Majelis hakim menduga tindakan para saksi itu sengaja dilakukan demi kepentingan tertentu. Salah satunya melindungi diri sendiri dari persepsi buruk di masyarakat.
"Majelis hakim memahami saksi-saksi tersebut berusaha menutupi fakta yang sebenarnya karena ingin melindungi diri, rekan dan juga kesatuan masing-masing dari ancaman pidana dan opini negatif masyarakat," ujar Siti.
Terdakwa bersyukur
Sebelunya, terdakwa Isak Sattu dituntut pidana penjara 10 tahun dalam kasus pelanggaran HAM berat Paniai Berdarah. Namun Isak divonis bebas karena dakwaan pertama Pasal 42 ayat (1) huruf a dan huruf b Juncto Pasal 7 huruf b, Pasal 9 huruf a, Pasal 37 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia (HAM) dinilai tak terbukti.
Kemudian dakwaan kedua Pasal 42 ayat (1) huruf a dan huruf b juncto Pasal 7 huruf b, Pasal 9 huruf h, Pasal 40 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM juga tak terbukti.
Peristiwa Paniai Berdarah terjadi pada 8 Desember 2014 di Lapangan Karel Gobai, Enarotali, Kabupaten Paniai. Peristiwa itu terkait dengan aksi personel militer dan kepolisian saat pembubaran paksa aksi unjuk rasa dan protes masyarakat Paniai di Polsek dan Koramil Paniai pada 7-8 Desember 2014.
Aksi unjuk rasa tersebut berujung pembubaran paksa dengan menggunakan peluru tajam. Empat orang tewas dalam pembubaran paksa itu adalah Alpius Youw, Alpius Gobay, Yulian Yeimo, dan Simon Degei.
Isak menegaskan, dirinya bersyukur dengan putusan bebas yang diketok oleh Majelis Hakim PN Makassar. Ia merasa vonis itu bisa diperolehnya berkat pertolongan Tuhan.
"Saya mau bersyukur kepasa Tuhan Yang Maha Esa karena hanya Tuhan satu-satunya penolong bagi saya," kata Isak kepada para pengunjung sidang, termasuk awak media setelah vonis diketok palu, Kamis.
Sesaat sebelum melontarkan kata-kata itu, Isak sempat sekilas menyeka air matanya. Kalimat tersebut pun dilontarkan Isak dengan nada bergetar.
Isak menegaskan, dirinya merupakan warga negara yang baik sehingga taat pada aturan hukum yang berlaku. Ia menyatakan tak pernah mangkir dalam sidang, meski Isak tak pernah ditahan dalam kasus ini.
"Saya patuh hukum, saya jadi warga negara yang baik, saya tetap ikuti (sidang) dari awal sampai akhir," ujar pria berusia 68 tahun tersebut.
Isak juga menyampaikan rasa terima kasih kepada tim kuasa hukumnya. Ia berharap tak ada lagi tuntutan yang salah alamat, seperti kepadanya.
"Saya sangat berterima kasih kepada penasihat hukum saya dan hakim yang sudah diberkati Tuhan sehingga saya bisa dibebaskan dari tuduhan dan tuntutan dalam kasus ini. Kiranya tidak erjadi lagi (jaksa) menuntut yang tidak sepantasnya," ucap pria yang kini tinggal di Nabire itu.