Khawatir dengan Kehidupan Setelah Menikah Nanti? Ini Kata Kepala BKKBN
Kepala BKKBN tanggapi kekhawatiran generasi milenial akan kehidupan pernikahan.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kehidupan setelah menikah membuat Anda khawatir? Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) mengingatkan bahwa pernikahan yang sehat dan baik adalah yang dibangun dengan berlandaskan pengertian dan toleransi.
"Toleransi ini akan menjadi luar biasa karena secara total, misal kalau cuma teman di kampus itu toleransinya hanya saat di kampus saja. Tapi kalau toleransi di rumah, itu 24 jam dan di semua sudut rumah anda bersama pasangan anda," kata Kepala BKKBN Hasto Wardoyo saat dikonfirmasi di Jakarta, Selasa (20/12/2022).
Menanggapi pernyataan generasi milenial yang memiliki rasa takut terhadap sulitnya kehidupan setelah menikah, Hasto menuturkan bahwa pernikahan adalah sebuah cara untuk menyatukan kedua individu yang berbeda dari berbagai aspeknya. Menurut dia, dibutuhkan perjuangan yang luar biasa untuk terus belajar memahami sisi dan sifat pasangan satu sama lainnya, baik dalam mengasuh sesama maupun membangun satu misi yang dituju bersama.
"Menurut saya, kalau seandainya ada orang yang mau menikah belum punya niat yang kuat, untuk bisa memaklumi kehadiran orang lain di tengah kehidupannya itu memang akan terasa berat ke depannya," kata Hasto.
Hasto mengatakan para remaja atau dewasa muda untuk tidak khawatir menjalankan pernikahan di masa depannya. Sebab, pernikahan merupakan salah satu perintah agama yang membawa banyak kebaikan bagi seseorang.
Pernikahan yang dibangun dengan toleransi dan rasa saling mengerti, menurut Hasto, akan menghindarkan keretakan dalam rumah tangga yang disebabkan oleh pertikaian kecil berkelanjutan yang akan berdampak pada kekerasan rumah tangga ataupun perceraian. Meski demikian, calon pengantin harus tetap menyesuaikan dengan usia idealnya, yakni 21 tahun bagi perempuan dan 25 tahun bagi laki-laki.
Hal itu bertujuan untuk membangun keluarga yang matang secara fisik dan batin, terutama perempuan yang harus mengalami kehamilan dan butuh tenaga lebih bagi dirinya dan janin yang dikandungnya.
"Kalau keyakinan itu terjadi mestinya akan diterima dengan bahagia dan senang, karena keluarga bukan hanya ikatan emosional seks tetapi keluarga juga ikatan emosional yang bersifat religius," ucapnya.
Hasto mengatakan, di Indonesia, pernikahan sampai saat ini masih ditujukan untuk menghasilkan keturunan sesuai dengan kaidah agama. Hal itu karena sudah sifat alamiah manusia memiliki emosi seksual.
Sebetulnya, menurut Hasto, kata resesi seks itu adalah istilah yang tidak masuk akal. Sepanjang orang itu masih punya emosional seks, mereka akan melengkapi satu sama lain.
"Seharusnya maksudnya lebih cocok pada resesi kependudukan atau demografi, sehingga bisa kita terjemahkan sebagai zero growth atau minus growth," katanya.
Sebelumnya, warganet banyak membagikan pemikirannya terkait pernikahan. Ada yang berkeinginan untuk menunda pernikahan, ketakutan atas kehidupan berumah tangga, dan sebagian lain mengaku trauma untuk menikah.