Brasil Tangkap Pria yang Rencanakan Serangan Bom Saat Pelantikan Presiden
Penangkapan dilakukan setelah seorang sopir truk melaporkan penemuan alat peledak.
REPUBLIKA.CO.ID, BRASILIA -- Kepolisian Brasil telah menangkap seorang pria yang diduga menempatkan bahan peledak di sebuah truk bahan bakar di dekat bandara di ibu kota negara tersebut. Pria itu diyakini hendak mengacaukan upacara pelantikan presiden baru Brasil, Luiz Inacio Lula da Silva.
Menurut laporan media-media lokal pada Ahad (25/12/2022), pria tersebut diidentifikasi sebagai George Washington de Oliveira Sousa. Dia ditangkap kepolisian Brasilia pada Sabtu (24/12/2022) atas tuduhan terorisme. Sousa dikenal sebagai pendukung mantan presiden sayap kanan Brasil, Jair Bolsonaro.
Penangkapan terhadap Sousa dilakukan setelah seorang sopir truk bahan bakar melaporkan penemuan alat peledak pada Sabtu pagi. Delegasi umum polisi sipil Brasilia, Robson Candido, seperti dilaporkan media G1 mengungkapkan, meskipun ada upaya mengaktifkan perangkat tersebut, ia tak meledak.
Sousa mengaku kepada kepolisian bahwa bom itu adalah bagian dari rencana untuk mengacaukan upacara pelantikan Lula da Silva sebagai presiden baru Brasil. Sousa mengklaim bahwa rencana serangannya adalah upaya untuk mencegah pembentukan komunisme di negara tersebut.
Menurut Sousa, rencana serangan bom itu dicetuskan oleh para pendukung Jair Bolsonaro. Simpatisan Bolsonaro diketahui telah menggelar aksi unjuk rasa di luar markas militer di Brasilia. Mereka menyerukan militer melakukan intervensi agar Lula da Silva tak naik ke tampuk kekuasaan.
Menurut surat kabar Folha de Sao Paulo, Sousa mengungkapkan, dia dan para pendukung Bolsonaro lainnya berencana menempatkan dua bahan peledak di lokasi strategis. Tujuannya memprakarsai “deklarasi keadaan pengepungan di Brasil”. Setelah itu mereka akan “memprovokasi intervensi oleh angkatan bersenjata”.
Sejak Lula da Silva diumumkan memenangkan pemilihan presiden Brasil pada 30 Oktober lalu, pendukung Jair Bolsonaro menggelar demonstrasi di berbagai daerah di negara tersebut. Mereka memblokir jalan raya dan melangsungkan unjuk rasa di depan markas tentara. Hampir dua bulan berselang, masih ada kamp pengunjuk rasa di beberapa pangkalan militer.
Oliveira Sousa mengaku berencana mendistribusikan senjata api kepada para pendukung Bolsonaro yang masih berkemah di depan sejumlah markas militer. Da Silva dan Bolsonaro memiliki visi yang bertentangan untuk Brasil. Sebagai petahana dalam pemilihan presiden lalu, Bolsonaro berjanji melanjutkan kebijakan saya kanan pemerintahannya. Sementara da Silva, yang pernah menjabat sebagai presiden Brasil selama dua periode antara 2003 dan 2010, berjanji mengembalikan Brasil ke kebijakan sosialis yang diterapkan pada masa sebelumnya.
Dalam pilpres putaran pertama 2 Oktober lalu, da Silva memperoleh 48 persen suara, sedangkan Bolsonaro 43 persen. Karena tak memenuhi ambang batas 50 persen, maka digelar putaran kedua. Dalam putaran kedua, da Silva menang tipis dari Bolsonaro dengan meraih 50,9 persen suara. Sementara Bolsonaro, menghimpun 49,1 persen suara.
Pada 2017, da Silva pernah tersandung kasus korupsi dan pencucian uang. Pada 2018, dia tetap mencalonkan diri dalam pilpres Brasil. Lawannya adalah Bolsonaro. Pada April 2018, pengadilan memutus da Silva bersalah dalam kasus korupsi yang menyeretnya.
Da Silva akhirnya dipenjara dan Bolsonaro memenangkan pilpres 2018. Setahun kemudian, da Silva dibebaskan setelah Mahkamah Agung Brasil membatalkan putusan hukuman terhadapnya. Hak politiknya pun dipulihkan sehingga dia dapat maju dalam pilpres.