Memperkuat Preferensi Sosial Industri Halal di Indonesia

Indonesia memiliki potensi besar dalam pengembangan industri halal.

Republika/Mardiah
Ilustrasi Wisata Halal. Indonesia memiliki potensi besar dalam pengembangan industri halal.
Red: Karta Raharja Ucu

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Yopi Nursali, Analis Kebijakan Tingkat I, Direktorat Industri Produk Halal, Komite Nasional Ekonomi Keuangan Syariah (KNEKS)

Pembukaan Piala Dunia Qatar 2022 memberikan panggung fenomenal bagi Korean Pop (K-Pop) dari Negeri Timur Jauh. Lewat penampilan Jeon Jungkook dari Group BTS melalui lantunan lagu Dreamers dengan iringan dance khas boyband Negeri Ginseng itu, seakan memperkuat legitimasi K-Pop sudah menjadi bagian tak terpisahkan dari gaya hidup dunia termasuk dalam peristiwa olahraga di Timur Tengah dengan budaya yang jauh berbeda sekalipun. Tak menunggu lama, tarian energik dan sporty ala Jungkook di panggung tersebut telah dikover banyak penggemar K-Pop di seluruh dunia yang bertebaran di berbagai platform media sosial seperti YouTube, TikTok, Instagram, dan lain-lain.


Menelisik Fenomena Korean Wave
Di awal abad millenium tahun 2000-an, embrio “demam Korea” mulai menyebar ke seluruh dunia yang kemudian semakin menguat dalam satu dasawarsa terakhir, tak terkecuali di Indonesia. Penayangan drama Korea Endless Love (2001) dan Winter Sonata (2002) di televisi Indonesia, boleh disebut sebagai pembuka pintu demam Korea di Indonesia, lalu disusul dengan kedatangan boyband Korea pertama yang mengusung K-Pop yaitu Rain (2009), 2PM (2011), Super Junior (2012),  serta kemunculan lagu "Gangnam Style", menjadi video pertama di youtube yang diputar lebih dari 1 miliar kali.

Setelahnya, arus deras gaya hidup Korea dengan segala produk turunan dan ikutannya mengalir deras tak terbendung. Segala hal yang berbau Korea menjadi gaya hidup yang keren di mata remaja dan anak muda Indonesia, tak ketinggalan juga generasi yang telah lebih dewasa dengan aspek dan kadarnya masing-masing.

Produk budaya berupa merchandise, kuliner, fashion, gaya rambut, kosmetik, musik, film, bahasa, tour wisata, tujuan studi, dan berbagai aspek lain terkait Korea laris manis. Fenomena yang mendunia ini disebut Korean Wave (K-Wave) atau Hallyu, yang tak lagi sekedar fenomena budaya namun dengan dampak ikutannya terus berkembang menjadi fenomena industri dan ekonomi.

Hallyu memang merupakan inisiatif sistematis antara pemerintah dan dunia usaha di Korea Selatan dalam mengembangkan industrinya, dengan industri kreatif sebagai ujung tombak untuk merebut dan mengikat loyalitas para konsumen, sebuah kombinasi antara budaya dan perdagangan. Produk kreatifitas tersebut mampu memunculkan perasaan dan pengalaman yang menyenangkan, memuaskan, menenangkan, dan membuat bahagia. Suatu strategi industri yang dibungkus dengan menyentuh sisi-sisi psikologis konsumen sehingga terjalin ikatan emosional dengan kuat yang menumbuhkan loyalitas.

Profesor Andrew Kim dari International Studies - Korea University dalam diskusi Indonesian Next Generation Journalist Network on Korea yang digelar Foreign Policy Community of Indonesia (FPCI) dan Korea Foundation (KF) beberapa waktu lalu, menyampaikan, kesuksesan ekonomi Korea Selatan erat hubungannya dengan pesatnya Hallyu di masyarakat global. Korsel menjadi negara dengan ekonomi terbesar ke-10 di dunia dengan total Produk Domestik Bruto (PDB) sebesar 1,8 triliun dolar AS lebih (IMF, 2021), itu berkat nama-nama produk ternama seperti Samsung, LG dan Hyundai yang merupakan penyokong nama Korea menjadi dikenal jauh lebih luas di dunia.

Menyadari Posisi dan Memanen Potensi
Sejenak mari kita beralih dari K-Wave untuk menoleh ke cita-cita menjadi pusat industri halal dunia. Seiring dengan pertumbuhan populasi Muslim global, maka kebutuhan yang besar akan produk halal semakin meningkat pula, yang membuat industri ini menjadi bisnis yang prospektif dan bernilai besar di dunia. Sebagai gambaran, menurut PeW Research Center, populasi muslim global diperkirakan mencapai 2,2 miliar jiwa pada 2030 atau 23 persen populasi dunia, dengan sebaran terbanyak berada di Asia-Pasifik, lalu Timur Tengah, Afrika Sub-Sahara, Eropa, hingga Amerika Utara dan Latin, yang mana produk halal otomatis merupakan kebutuhan wajib bagi populasi ini.

Pada 2025 diperkirakan pembelanjaan muslim mencapai USD 2,8 triliun dengan tingkat CAGR dalam empat tahun sebesar 7,5 persen. Dan tampaknya, di samping negara-negara berpenduduk mayoritas Muslim, negara-negara dengan penduduk mayoritas non-muslim pun sangat aware dengan situasi ini, sehingga perlombaan untuk menjadikan isu halal competitive advantage dan mendapatkan porsi “kue ekonomi” yang lebih besar dari pasar ini tak terhindarkan. Sudah sama-sama kita ketahui, negara-negara seperti Jepang, Thailand, Selandia Baru, Korea Selatan, China, Australia, Prancis, Amerika Serikat, dan Eropa turut dalam persaingan untuk menjadi yang terdepan berbekal keunggulan finansial, struktur industri, produksi, teknologi, lobby, dan akses pasar yang mereka miliki.

Namun, di balik persaingan yang sedang berlangsung, Indonesia punya sebuah kelebihan tersendiri yaitu populasi muslimnya yang besar. Berdasarkan data Kementerian Dalam Negeri, tercatat jumlah penduduk Muslim di Indonesia sebanyak 237,53 juta jiwa per Desember 2021, dimana jumlah tersebut setara dengan 89 persen dari total populasi tanah air, dan semua itu membutuhkan produk halal.

Kondisi demografi ini adalah sebuah market yang besar, di mana pemenuhan kebutuhan produk halal dalam negeri secara baik saja dapat memberikan nilai ekonomi yang tinggi, dan ini diperkuat oleh masyarakat Indonesia yang saat ini berada pada kategori middle class income yang tentunya menjadi ceruk pasar besar di dalam negeri. Berdasarkan Indonesia Halal Market Report (IHMR) 2021/2022 yang diluncurkan oleh Dinar Standard, Indonesia berpeluang menambah 5,1 miliar dolar AS atau Rp 72,9 triliun terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) dari sektor yang termasuk pada industri halal. Namun populasi Muslim Indonesia yang besar ini juga dapat menjadi pedang bermata dua; jika peluang ini tak dapat diolah dengan baik, justru kita hanya menjadi target pasar yang menggiurkan bagi negara lainnya.

Indonesia memiliki potensi besar dalam pengembangan industri halal meliputi makanan dan minuman, farmasi dan kosmetik, modest fashion, produk dan layanan pariwisata, produk kreatif dan hiburan. Indonesia juga memiliki posisi penting dalam perdagangan produk halal global, sebagaimana terlihat dari data Bank Indonesia tahun 2019, yang menunjukkan total pangsa pasar industri halal Indonesia terhadap pangsa pasar global itu mencapai 11 persen. Selain itu, berdasarkan GIEI Report 2022, tercatat saat ini terdapat peningkatan kepedulian masyarakat terhadap kehalalan, yang ditunjukkan adanya kenaikan pendapatan dari pasar halal sebesar lebih dari 75 persen.

Memahami “DNA” Selera Anak Bangsa
Pertumbuhan pasar dan produk halal dunia ini telah mendorong tumbuhnya gaya hidup halal (halal lifestyle) di banyak belahan dunia. Pada level individu, tren halal lifestyle ditandai makin membaiknya kesadaran halal (halal awareness) masyarakat yang tak terbatas hanya pada kalangan muslim saja. Apalagi dari besarnya populasi muslim dunia, porsi terbesar berumur dikitaran 30 tahun kebawah yang notabene adalah generasi muda, dengan tingkat pertumbuhan 1,5 persen.

Mungkin ini adalah manifestasi dari prediksi tren sosial dunia yang pernah disampaikan oleh futuris visioner John Naisbitt dan Patricia Aburdene pada tahun 1982 dalam bukunya Megatrends 2000 yang menyebutkan masyarakat dunia pada medio 2000-an dan seterusnya semakin mengalami peningkatan dalam kecenderungan gaya hidup sehat, semangat spiritualisme, dan gaya hidup seimbang antara kerja dan keluarga (work life balance). Tren sosial ini berdampak signifikan terhadap perkembangan pasar dan industri yang cenderung menguatkan peran ‘etika’ dalam investasi, konsumsi, bisnis dan tata kelola usaha.

Di Indonesia, fenomena konsumen memilih makanan dan minuman halal, belanja produk yang halal, trend hijab dan modest fashion yang makin berkelas, rekreasi ke destinasi wisata yang menyediakan kebutuhan dasarnya sebagai Muslim (muslim friendly), atau bertransaksi menggunakan produk-produk keuangan syariah bukan hal yang asing. Semua itu bisa disebut halal lifestyle sebab dilandasi kesadaran bahwa halal tidak lagi sekedar karena perintah agama, tetapi memang baik, berguna bagi kehidupan, dan lebih memenangkan.

Generasi muda Muslim Indonesia terus bergerak menjadi ‘muslim futurist’ yang secara ekonomi terus membaik tetapi juga makin relijius, dan memiliki semangat spritual dalam menjalankan kehidupan sehari-harinya. Mereka berperan mendorong perubahan dan kemajuan sosial masyarakat dengan berbagai inovasi dan entrepreneurship, serta terbuka terhadap perubahan. Ya, mereka makin modern, trendi, digital, dan tech savvy.

Kemudian jika kita melihat dari supply side, produk dan jasa halal memang semakin bersifat universal dan menarik bagi semua tipologi konsumen, terutama bagi yang memiliki kepedulian dengan kesehatan, etika konsumsi, serta sosial kemasyarakatan, dan lingkungan. Adanya digital connectivity yang semakin canggih dan terintegrasi juga memberikan energi gerak yang cepat untuk pertumbuhan e-commerce dalam memasarkan produk halal, juga digital banking, yang melintasi batas-batas negara. Kombinasi faktor-faktor tersebut semakin mendorong tumbuhnya permintaan produk maupun jasa halal secara domestik dan global.

Belajar dari K-Wave: Meramu Strategi
Demi cita-cita Indonesia untuk jadi pusat industri halal dunia, maka selain penataan ekosistem industri nasional sebagai back-end, kita juga perlu menjadi trend setter yang mampu mendesain dan “mengekspor” trend halal lifestyle ke berbagai negara sehingga “demam” halal itu melanda dunia seperti halnya “demam” K-Wave yang fenomenal. Ekspor lifestyle ini, kita sebut saja misalnya “Halal Wave (H-Wave)”, diharapkan akan memberikan dampak ikutan yang kuat terhadap ekspansi pasar produk halal nasional di seluruh dunia.

Begitu disebut tentang halal, maka Indonesialah yang menjadi top of mind dari warga dunia yang melekat dalam alam bawah sadarnya. Tentu ini adalah kepantasan peran yang melekat bagi sebuah negara yang punya visi untuk jadi aktor global yang leading di pasar dunia. Kurang elok sepertinya jika kita akan menjadi pusat industri halal dunia, namun sebagai aktor global kita bukanlah episentrum dari culture dan trend halal lifestyle tersebut.

Jika kita belajar dari fenomena K-Wave atau hallyu, semua itu terjadi karena adanya loyalitas antara fans dan idolanya, yang mampu membangun pendekatan emosional yang kuat, sehingga lebih jauh lagi akan mendorong untuk memakai, menggunakan, dan mengkonsumsi apapun yang terkait dengan idolanya tersebut. Dan di titik inilah, fenomena budaya mulai meluas dan bertransformasi menjadi fenomena bisnis dan ekonomi.

Hal yang sama juga dapat diterapkan dalam produk halal dengan membangun loyalitas antara produk halal dan konsumen. Walau mungkin bukan yang utama, namun juga dapat dilakukan dengan misalnya, pertama, menjadikan para selebriti, tokoh terkenal, maupun influencer menjadi brand ambassador dari berbagai merk produk halal yang digunakan sehari-hari dengan pesan sadar halal yang baik dan tepat.

Kedua, menyiarkan di media massa berbagai keunggulan universal yang didapatkan dengan menggunakan produk halal yang dapat memberikan daya tarik dan rasa menenangkan, misalnya produk yang bersertifikat halal berarti terjamin kualitas, proses, dan kebersihannya. Ketiga, dengan installing pesan-pesan halal langsung ataupun tak langsung dalam berbagai konten video hiburan, drama, film, lagu, ataupun iklan-iklan yang ada.

Tentunya langkah-langkah ini harus terorkestrasi dalam suatu desain strategi bersama yang baik, sehingga pesan-pesan yang tersampaikan tersebut mampu memberikan ketenangan, kebahagiaan, dan hiburan yang lebih jauh lagi mampu membangun ikatan emosi yang kuat. Dalam penyampaian pesan-pesan halal melalui berbagai sarana tersebut, setidaknya faktor-faktor berikut perlu menjadi perhatian dan terimplementasi dalam strategi komunikasinya, yang diharapkan lebih jauh dapat memulai dan memperkuat trend setter halal lifestyle dalam suatu arus“Halal Wave” (H-Wave), yaitu:

(1) Social engineering
Social engineering sering dikaitkan dengan hal yang bersifat negatif yaitu dianggap sebagai motivasi politik yang berdampak pada perilaku individu. Padahal sebaliknya, social engineering juga adalah sesuatu yang positif, dimana salah satu aspek yang disepakati adalah social engineering merupakan metode yang diterapkan untuk mengelola perubahan dan dampak sosial. Maka dari itu, contoh dari social engineering antara lain pemasaran, public relations, periklanan, dan lain lain.

Dengan social engineering, produk halal dapat dipasarkan secara lebih mudah dan dengan penyampaian yang bersifat soft selling melalui berbagai macam jenis pemasaran, seperti melalui endorse atau iklan layanan sehingga masyarakat dapat lebih aware dan lebih banyak mengkonsumsi produk halal.

(2) Marketing psychology
Pada proses pengambilan keputusan, terdapat banyak aspek yang harus diperhatikan yaitu dari sisi rasional dan dari sisi emosional atau psikologis. Psikologis memiliki peran besar dalam memengaruhi bagaimana pembeli bertindak dan bereaksi. Maka dari itu, terdapat teknik pemasaran psikologi yang bertujuan untuk menanamkan hubungan pribadi antara pembeli dan penjual (Tillman, 2016).

Akar dari hubungan antara penjual dan pembeli itu sendiri adalah kepercayaan yang dirasakan. Apabila pembeli telah menjalin hubungan dengan merk tertentu dan percaya apa pun produk yang ditawarkan telah sesuai dengan pembeli, maka pembeli dapat mengambil keputusan lebih cepat (Tillman, 2016).

(3) Subliminal messages
Subliminal message atau pesan bawah sadar adalah kata-kata atau gambar yang disajikan di bawah kesadaran manusia. Bentuk dari subliminal message biasanya adalah video di mana terdapat subliminal message sekilas atau begitu cepat, sehingga pikiran kita tidak mencatat kemunculannya. Di sisi lain, supraliminal messages menyajikan informasi atau pesan pada waktu yang lebih panjang, sehingga kita bisa menyadari ada pesan yang disampaikan (Debes, 2021).

Penelitian sebelumnya telah meneliti terkait subliminal message antara lain penelitian yang dilakukan Cooper & Cooper (2002) di mana para peneliti memasukkan selusin bingkai kaleng Coca-Cola dan selusin kata “haus” dalam sebuah episode “The Simpsons”. Hasil eksperimen tersebut menunjukkan bahwa 27 persen peserta merasa lebih haus dibandingkan sebelum menonton acara tersebut.

(4) Nudge theory
Teori Nudge (Thaler & Susntein, 2008) pada behavioural economics membuktikan manusia sebenarnya begitu mudah dipengaruhi. Nudge sendiri berarti dorongan, yang dapat dijelaskan sebagai segala sesuatu yang berhubungan dengan arsitektur pilihan yang dapat mengubah perilaku seseorang dengan terukur dengan tidak membatasi pilihan (freedom of choice) atau secara signifikan mengubah keuntungan ekonomisnya dan memberikan perasaan memiliki kontrol (feel in control) atas keputusan yang dibuatnya (Imperial College London, n.d.).

Nudge juga didefinisikan sebagai manipulasi lingkungan dengan tujuan memberikan alternatif dan opsi yang lebih baik dibandingkan lainnya. Pada nudge theory lebih efektif untuk mendorong pilihan yang positif daripada membatasi perilaku yang tidak diinginkan dengan sanksi (Lin et al., 2017).

Teori nudge dapat diterapkan dalam meningkatkan awareness masyarakat Indonesia terkait produk halal. Dengan memposisikan makanan halal adalah makanan yang baik diantara makanan non-halal, tetapi tidak melarang adanya produk non-halal di Indonesia.

Ujung Diskusi
Kita telah memiliki salah satu modal besar yaitu populasi generasi muda yang besar dan menjanjikan untuk menjadi pusat industri halal dunia. Kuatnya preferensi terhadap halal pada generasi ini akan menjadi faktor penting bagi Indonesia untuk leader dalam industri halal global. Tentunya untuk dapat mengelola ini dengan baik diperlukan sebuah pendekatan yang tepat dan kreatif.

Bertemunya bonus demografi usia muda yang kita miliki dengan pendekatan populer halal lifestyle, serta pelajaran dari fenomena K-Wave (hallyu), harusnya membuat performa kita tampil lebih kuat. Selain menjadi pusat produksi dan ekspor produk halal, juga menjadi episentrum dari budaya halal yang mampu menjadi pusat tren halal lifestyle dan mengekspornya menjadi trend dunia.

Hal ini tentunya harus terjabarkan dalam sebuah strategi dan narasi besar dengan sebuah desain yang terintegrasi, yang mampu mengorkestrasi seluruh potensi dan inisiatif kreatif komponen anak bangsa dalam satu tarikan nafas, yang terkoneksi dengan ekosistem industri halal nasional, menjadi sebuah alunan “irama gerak” yang indah, kuat, dan enak untuk dinikmati.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler