Fatwa MUI Terkait Hukum Syar'i Donor Air Susu Ibu
Proses ini harus mengikuti aturan saat memberi dan menerima ASI.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Bagi bayi yang baru lahir, air susu ibu (ASI) merupakan sumber makanan yang paling baik. Kandungan yang ada di dalam ASI sangat bagus dan bermanfaat, terlebih di usia-usia awal kehidupan.
Pemberian ASI juga menjadi bentuk pemenuhan hak bagi ibu dan anak. Di tengah maraknya edukasi tentang pentingnya pemenuhan ASI, muncul inisiatif dari masyarakat untuk melakukan gerakan donor ASI atau berbagi ASI.
Terkait hal ini, bagaimanakah ketentuan hukumnya dalam Islam? Majelis Ulama Indonesia (MUI) melalui Komisi Fatwa telah menberikan pedoman bagi umat Islam, melalui Fatwa Nomor 28 Tahun 2013 Tentang Seputar Masalah Donor Air Susu Ibu (Istirdla’).
Dalam fatwa tersebut dikatakan, seorang ibu dapat menyusui anak yang bukan anak kandungnya. Di sisi lain, seorang anak dapat menerima ASI dari ibu yang bukan ibu kandungnya jika memenuhi syarat syari.
Selanjutnya, proses ini harus mengikuti aturan saat memberi dan menerima ASI. Ibu yang menyusui dan mendonorkan ASInya harus sehat jasmani dan rohani, serta tidak boleh diberikan kepada ibu hamil.
Ketiga, sang pendonor dapat memberikan dan menerima kompensasi untuk layanan manajemen donor ASI. Dengan catatan tidak untuk didistribusikan atau dijual, serta upah yang diperoleh melalui jasa pengasuhan anak dan bukan melalui jual beli ASI.
Fatwa ini merujuk sejumlah dalil baik Alquran dan hadits Nabi Muhammad SAW. Salah satu yang menjadi acuan adalah QS Al-Baqarah ayat 233.
وَالْوَالِدٰتُ يُرْضِعْنَ اَوْلَادَهُنَّ حَوْلَيْنِ كَامِلَيْنِ لِمَنْ اَرَادَ اَنْ يُّتِمَّ الرَّضَاعَةَ ۗ وَعَلَى الْمَوْلُوْدِ لَهٗ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوْفِۗ لَا تُكَلَّفُ نَفْسٌ اِلَّا وُسْعَهَا ۚ لَا تُضَاۤرَّ وَالِدَةٌ ۢبِوَلَدِهَا وَلَا مَوْلُوْدٌ لَّهٗ بِوَلَدِهٖ وَعَلَى الْوَارِثِ مِثْلُ ذٰلِكَ ۚ فَاِنْ اَرَادَا فِصَالًا عَنْ تَرَاضٍ مِّنْهُمَا وَتَشَاوُرٍ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا ۗوَاِنْ اَرَدْتُّمْ اَنْ تَسْتَرْضِعُوْٓا اَوْلَادَكُمْ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ اِذَا سَلَّمْتُمْ مَّآ اٰتَيْتُمْ بِالْمَعْرُوْفِۗ وَاتَّقُوا اللّٰهَ وَاعْلَمُوْٓا اَنَّ اللّٰهَ بِمَا تَعْمَلُوْنَ بَصِيْرٌ
Artinya: Dan ibu-ibu hendaklah menyusui anak-anaknya selama dua tahun penuh, bagi yang ingin menyusui secara sempurna. Dan kewajiban ayah menanggung nafkah dan pakaian mereka dengan cara yang patut.
Seseorang tidak dibebani lebih dari kesanggupannya. Janganlah seorang ibu menderita karena anaknya dan jangan pula seorang ayah (menderita) karena anaknya.
Ahli waris pun (berkewajiban) seperti itu pula. Apabila keduanya ingin menyapih dengan persetujuan dan permusyawaratan antara keduanya, maka tidak ada dosa atas keduanya. Dan jika kamu ingin menyusukan anakmu kepada orang lain, maka tidak ada dosa bagimu memberikan pembayaran dengan cara yang patut. Bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.
Selain itu, fatwa tersebut juga merujuk pada surat Ali Iman ayat 23:
وأمهـاتـكم التي أرضـعـنكم وأخـواتـكـم من الرضـاعـة
Artinya: Dan ibu-ibumu yang menyusui kamu dan saudara-saudara sepersusuanmu.
Hal lain yang menjadi rujukan fatwa ini adalah hadits Nabi Muhammad SAW: لارضاع إلا ما أنـشز العـظـم وأنـبـت اللـحـم
Tidak dianggap sebagai persusuan kecuali persusuan yang dilakukan pada masa pembentukan tulang dan pertumbuhan daging. (HR Abu Dawud, Kitab Nikah, Bab Radhaa’atu Al-Kabiir).
“Diharamkan (untuk dinikahi) akibat persusuan apa-apa yang diharamkan (untuk dinikahi) dari nasab/hubungan keluarga.” (HR Bukhari, Kitab Al-Syahadaat Bab Al-Syahadatu Ala Al-Ansaab Muslim, Kitab Al-Radhaa’ Bab Yakhrumu Min AlRadhaa’ Maa Yakhrumu Min Al-Wilaadah)
Merujuk pada artikel yang dikeluarkan oleh MUI, fatwa tersebut dapat menjadikan pedoman bagi masyarakat (terutama umat agama Islam), agar pola kehidupannya sesuai dengan tuntunan syariah Islam.