Anjuran Bertabayun dalam Menerima Informasi
Dalam Islam, penekanan itu bahkan disinggung dalam Alquran.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Imam Besar di Islamic Center of New York Imam Shamsi Ali menekankan pentingnya bertabayun dalam menerima informasi. Dalam Islam, penekanan itu bahkan disinggung dalam Alquran.
Allah berfirman dalam Alquran Surah Al Hujurat ayat 6, "Wahai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu,".
Pada ayat ini, kata Imam Shamsi, Allah menggariskan satu hal penting dalam hubungan antar manusia. Hal itu adalah upaya menjaga kemungkinan terjadi kesalahpahaman, atau mungkin manipulasi informasi di antara sesama manusia.
"Salah satunya adalah urgensi klarifikasi (tabayun) terhadap setiap informasi yang sampai kepada kita. Hal ini menjadi sangat penting, selain karena kita hidup dalam dunia informasi yang penuh misinformasi. Juga karena salah satu kecenderungan manusia adalah “gesit sharing” informasi yang diterimanya, bahkan sebelum dia sendiri paham secara baik," kata Imam Shamsi dalam rilis yang diterima Republika.co.id, (6/1/2023).
Akibatnya informasi kecil boleh jadi menjadi besar. Informasi biasa boleh jadi menjadi luar biasa. Satu kesalahan informasi melebar dan menyebar menjadi seribu mis-informasi. Di sinilah kemudian Alquran mengingatkan umat manusia untuk bertabayun, khususnya jika hal itu terkait dengan kesalahan atau dosa (kefasikan).
Imam Shamsi menjelaskan bahwa kata 'Inaa jaa-akum faasiq/Jika datang padamu orang fasik) maka itu bisa dimaknai: jika ada orang fasik yang anda kenal datang dengan berita. Atau boleh juga bermakna jika berita yang dibawa itu memang mengandung kefasikan (dosa-dosa). Atau boleh jadi berita yang disampaikan itu dapat menimbulkan kefasikan dan dosa.
Seringkali informasi yang disampaikan tentang seseorang/sesuatu dianggap biasa saja. Bahkan mungkin dinilai baik-baik saja. Namun boleh saja informasi itu tidak disukai oleh baik mengenai seseorang itu atau tidak disukai oleh orang yang menerimanya. Pada akhirnya yang timbul adalah “ketidak enakan” akibat dari misinformasi yang bisa saja menimbulkan kesalah pahaman.
Kefasikan di sini juga bisa berarti setting atau bentuk (keadaan) terjadinya pembicaraan yang kemudian menjadi obyek informasi. Ada sebuah pepatah yang mengatakan, 'bahwa setiap pembicaraan itu ada tempatnya (posisi/keadaan). Dan setiap keadaan ada cara ekspresi yang sesuai,'.
Ketika pembicaraan itu dalam setting/keadaan (maqaam) publik maka semua punya hak untuk mendengar dan menyampaikan dengan penuh amanah. Tapi ketika pembicaraan itu privat maka kerahasiaan pembicaraan itu adalah amanah masing-masing pihak.
"Jika pembicaraan itu ternyata disebarkan padahal jelas settingnya private maka itu bentuk pengkhianatan kepada kesepakatan dua pihak," ujarnya.
Apalagi, dia melanjutkan, jika pembicaraan dalam setting private itu direkam “secara diam-diam” alias tanpa persetujuan pihak yang direkam. Kalaupun perekaman ini substansinya baik-baik saja, tapi itu akan menjadi misteri dan tanda tanya. Biasanya yang terbiasa melakukan hal seperti ini adalah mata-mata atau jasuus. Atau orang yang memang punya i’tikad yang dipertanyakan.
"Saya seringkali diwawancarai oleh media, baik media Indonesia maupun Amerika dan lainnya. Biasanya sebelum direkam secara audio saya akan dimintai persetujuan. Bahkan Ketika wawancara itu akan disebarkan, maka harus ada pernyataan persetujuan (statement of consent) yang saya tandatangani," ujarnya.
Merekam seseorang secara diam-diam dalam percakapan pribadi tidak saja dipertanyakan. Tapi realitanya bahwa ketika seseorang berbicara akan ada kesalahan-kesalahan yang boleh jadi tidak disengaja. Kesalahan ini boleh jadi bumerang baginya ketika ada momen-momen yang tidak diinginkan di masa depan.
Karenanya wajar jika informasi-informasi yang mengandung kefasikan, disampaikan oleh orang fasik, bahkan didapatkan dengan cara tidak etis, dapat menimbulkan kefasikan. Dan semua itu telah diingatkan oleh Alquran.
Kebodohan dalam menyikapi informasi, kebodohan dalam memahami informasi, dan mengantar kepada asumsi-asumsi bodoh yang membodohkan. Akibatnya, kata dia, ketika kebodohan-kebodohan itu menjadi kegelisahan bahkan mengantar kepada perselisihan pastinya berujung pada penyesalan.
"Jahatnya lagi ketika yang melakukan itu tidak merasa bersalah dan tidak ada rasa menyesal. Kebal! Naudzubillah," ujarnya.