Malaysia Bisa Setop Ekspor Minyak Sawit ke UE
Malaysia bisa hanya fokus pada negara-negara yang mau menerima minyak sawitnya.
REPUBLIKA.CO.ID, KUALA LUMPUR -- Malaysia mengatakan pada Kamis (12/1/2023), dapat menghentikan ekspor minyak sawit ke Uni Eropa (UE) sebagai tanggapan atas undang-undang baru Uni Eropa (UE), yang bertujuan melindungi hutan dengan mengatur penjualan produk secara ketat.
Menteri Komoditas Malaysia Fadillah Yusof mengatakan, Malaysia dan Indonesia akan membahas undang-undang yang melarang penjualan minyak sawit dan komoditas lain yang terkait dengan deforestasi. Kecuali importir dapat menunjukkan produksi barang spesifik mereka tidak merusak hutan.
UE adalah importir utama minyak sawit dan undang-undang yang disepakati UE pada Desember 2022 tersebut, telah menimbulkan protes dari Indonesia dan Malaysia, produsen utama.
"Jika kita perlu melibatkan para ahli dari luar negeri untuk melawan langkah apa pun yang dilakukan UE, kita harus melakukannya," kata Fadillah kepada wartawan seperti dilaporkan Antara, Jumat (13/1/2023).
"Atau pilihannya adalah kita hanya menghentikan ekspor ke Eropa, hanya fokus pada negara lain jika mereka (UE) mempersulit kita untuk mengekspor ke mereka."
Aktivis lingkungan menyalahkan industri sawit atas maraknya pembukaan hutan hujan Asia Tenggara, meskipun Indonesia dan Malaysia telah membuat standar sertifikasi keberlanjutan wajib untuk semua perkebunan.
Fadillah, yang juga wakil perdana menteri, mendesak anggota Dewan Negara-negara Penghasil Minyak Sawit (CPOPC) untuk bekerja sama menentang undang-undang baru tersebut dan memerangi "tuduhan tak berdasar" yang dibuat oleh UE dan Amerika Serikat tentang keberlanjutan minyak sawit. CPOPC, yang dipimpin oleh Indonesia dan Malaysia, sebelumnya menuduh UE secara tidak adil menargetkan minyak sawit.
Menanggapi Fadillah, duta besar Uni Eropa untuk Malaysia mengatakan, tidak melarang impor minyak sawit dari negara tersebut dan membantah bahwa undang-undang deforestasi menciptakan hambatan ekspor Malaysia. "(Hukum) berlaku sama untuk komoditas yang diproduksi di negara mana pun, termasuk negara anggota UE, dan bertujuan untuk memastikan bahwa produksi komoditas tidak mendorong deforestasi dan degradasi hutan lebih lanjut," Duta Besar Uni Eropa Michalis Rokas mengatakan kepada Reuters.
Rokas menambahkan, dia berharap dapat bertemu dengan Fadillah untuk meredakan kekhawatiran Malaysia.
Permintaan UE untuk minyak sawit diperkirakan akan menurun secara signifikan selama 10 tahun ke depan, bahkan sebelum undang-undang baru disetujui. Pada 2018, arahan energi terbarukan UE mengharuskan penghapusan bahan bakar transportasi berbasis sawit secara bertahap pada 2030 karena dianggap terkait dengan deforestasi.
Indonesia dan Malaysia telah meluncurkan kasus terpisah dengan WTO, mengatakan langkah bahan bakar diskriminatif dan merupakan hambatan perdagangan.
Presiden Indonesia Joko Widodo dan Perdana Menteri Malaysia Anwar Ibrahim pekan ini sepakat untuk "memerangi diskriminasi terhadap kelapa sawit" dan memperkuat kerja sama melalui CPOPC.
Uni Eropa adalah konsumen minyak sawit terbesar ketiga di dunia, menurut data Dewan Minyak Sawit Malaysia. UE menyumbang 9,4 persen dari ekspor minyak sawit dari Malaysia, mengambil 1,47 juta ton pada 2022, turun 10,5 persen dari tahun sebelumnya.