Pengendalian Emisi Gas Rumah Kaca Diterapkan Melalui Nilai Ekonomi Karbon

Indonesia berjanji menurunkan emisi GRK sampai 2030 sebesar 29 persen.

istimewa
Pemasangan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) sejalan dengan target bauran energi serta upaya penurunan emisi gas rumah kaca (ilustrasi)
Rep: Wilda Fizriyani Red: Yusuf Assidiq

REPUBLIKA.CO.ID, MALANG -- Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya (FEB UB) bekerja sama dengan Institute of Certified Sustainability Practicioners (ICSP) dan National Center for Corporate Reporting (NCCR) menggelar Seminar Nasional Keberlanjutan mengusung tema Pengendalian Emisi Gas Rumah Kaca Melalui Mekanisme Nilai Ekonomi Karbon (NEK). Kegiatan tersebut dilaksanakan di Gedung F FEB UB, Malang.

Rektor Universitas Brawijaya (UB) Prof Widodo, menjelaskan, seminar ini dilatarbelakangi berbagai upaya dalam pengendalian Emisi Gas Rumah Kaca (GRK) yang sudah dimulai sejak 1977 melalui Protokol Kyoto. Namun upaya tersebut tidak menunjukkan hasil yang signifikan.

Oleh sebab itu, Kesepakatan Paris 2015 dianggap sebagai momentum untuk mengendalikan emisi
GRK secara lebih terstruktur, terencana, dan penuh komitmen oleh masyarakat global. Menurut dia, masing-masing negara telah menyatakan komitmen penurunan emisi GRK. Bahkan, Indonesia berjanji menurunkan emisi GRK sampai 2030 sebesar 29 persen.

"Dengan upaya sendiri atau hingga 41 persen jika tersedia bantuan internasional," kata Widodo. Sementara itu, keseriusan Pemerintah Indonesia untuk berkontribusi dalam upaya mitigasi dan adaptasi perubahan iklim ditunjukkan dengan dikeluarkannya berbagai regulasi.

Hal ini termasuk melalui instrumen dan menjalankan berbagai langkah strategis. Semua itu bertujuan untuk mengendalikan emisi GRK. Salah satu di antaranya, yang terbaru, adalah yang terkait Tatalaksana Penerapan Nilai Ekonomi Karbon.

Ini diatur melalui Permen LHK No 21/2022, 21 Oktober 2022 sebagai aturan pelaksanaan Peraturan Presiden Nomor 98 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon. Di samping itu, Widodo juga mengatakan sivitas akademika merupakan bagian dari masyarakat  yang harus memikirkan sustainability atau keberlanjutan lingkungan agar tidak terputus.

Hal tersebut penting mengingat saat ini masyarakat terlalu banyak memperhatikan masalah lingkungan yang ada di atas permukaan bumi. Padahal suplai oksigen sebenarnya juga berasal dari lautan sehingga kualitas dari perairan menjadi bagian terpenting.

"Jangan sampai larutan kita mengalami kerusakan sehingga kita harus memikirkan dampak yang lebih serius tidak hanya terlalu over dengan yang ada di atas permukaan," katanya.

Di samping itu, Widodo mengatakan, dunia menjalani sebuah siklus yang harus terus menerus ada survival. Oleh karena itu, sustainability lingkungan dan ekosistem harus dijaga dengan baik.

Untuk diketahui, diskusi panel ini menghadirkan tiga panelis. Pertama, yakni Wahyu Marjaka selaku Direktur Mobilisasi Sumber Daya Sektoral dan Regional KLHK. Ia menyampaikan materi seputar mekanisme nilai ekonomi karbon.

Panelis kedua, yakni Martinus Haryo Sutejo dari PT Surveyor Indonesia yang membahas seputar Climate – Related Disclosure. Selanjutnya, Ali Darwin dari National Center for Corporate Reporting, yang membahas seputar Greenhouse Gas Calculation.


Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Berita Terpopuler