Dituduh Menghasut, Profesor Hukum Terkemuka di Saudi Dihukum Mati

Awad al-Qarni dituduh menyebarkan berita anti-pemerintah di berbagai media sosial

Reuters/VOA
Profesor hukum terkemuka di Arab Saudi, Awad al-Qarni (65 tahun), telah dijatuhi hukuman mati.
Rep: Kamran Dikarma Red: Esthi Maharani

REPUBLIKA.CO.ID, RIYADH -- Profesor hukum terkemuka di Arab Saudi, Awad al-Qarni (65 tahun), telah dijatuhi hukuman mati. Vonis tersebut dijatuhkan setelah dia dituduh menyebarkan berita anti-pemerintah di berbagai platform media sosial (medsos) seperti Facebook, Twitter, dan Telegram.

Berdasarkan dokumen pengadilan yang berhasil diperoleh the Guardian dan dipublikasikan Ahad (15/1/2023), al-Qarni “mengakui” menggunakan akun Twitter atas namanya “di setiap kesempatan untuk mengutarakan pendapatnya”. Tuduhan terhadapnya juga termasuk pembuatan akun Telegram dan berbagi berita yang dianggap "bermusuhan" dengan Kerajaan Arab Saudi dalam aplikasi perpesanan instan WhatsApp.

Selain itu, al-Qarni dituduh memuji gerakan Ikhwanul Muslimin dalam sebuah video. Hukuman mati terhadapnya adalah karena hal tersebut. Terdapat dugaan bahwa al-Qarni memberikan pengakuan tersebut di bawah penyiksaan dan penganiayaan. Al-Qarni ditangkap pada September 2017. Penangkapannya terjadi tak lama setelah Mohammed bin Salman (MBS) ditunjuk sebagai putra mahkota Kerajaan Arab Saudi.

Putra al-Qarni, Nasser al-Qarni, pernah menceritakan tentang penangkapan ayahnya kepada the Guardian. Nasser telah kabur dari Saudi tahun lalu dan kini tinggal di Inggris. Menurut Nasser, proses penangkapan ayahnya berlangsung sangat menegangkan. "Lebih dari 100 orang bersenjata senapan mesin dan pistol. Mereka mengepung rumah. Kami dicegah masuk ke rumah secara paksa. Itu seperti medan perang," ungkapnya kepada the Guardian pada Oktober tahun lalu.

Nasser mengaku sempat berusaha membebaskan ayahnya dan menghentikan penindasan terhadapnya, tapi gagal. “Negara saya gagal, tidak hanya dalam hal hak asasi manusia tetapi di semua bidang, sosial, ekonomi, dan politik," ujarnya.

Setahun setelah ditangkap, jaksa penuntut umum meminta al-Qarni menghadapi hukuman mati bersama Salman Odah dan Ali al-Omari. Ketiganya dikenal sebagai tokoh agama serta media independen dengan banyak pengikut di kalangan pemuda Arab Saudi dan Arab.

Sejumlah kelompok hak asasi manusia (HAM) telah menuduh Saudi memberangus perbedaan pendapat dan kebebasan berekspresi. Tren demikian dipandang meningkat sejak MBS menduduki kursi putra mahkota. Jeed Basyouni, kepala advokasi Timur Tengah dan Afrika Utara di kelompok HAM, Reprieve, mengatakan, kasus al-Qarni adalah bagian dari tren di mana para cendekiawan dan akademisi menghadapi hukuman mati karena men-tweet serta mengekspresikan pandangan mereka.

Menurut European Saudi Organization for Human Rights, sepanjang tahun lalu Saudi mengeksekusi 147 orang. Terdapat satu momen di mana Saudi mengeksekusi massal 81 orang dalam satu hari. Meski sudah berjanji mengurangi hukuman mati, jumlah warga yang dieksekusi oleh Saudi tetap tinggi. Hal itu pun dicemaskan oleh berbagai kelompok HAM.

European Saudi Organization for Human Rights mengungkapkan, pada Desember 2022, setidaknya terdapat 61 orang di Saudi yang menghadapi hukuman mati. Mereka menduga jumlah sebenarnya masih lebih tinggi.


BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler