Sejumlah Keluarga Afghanistan Minta Pangeran Harry Diadili

Pernyataan Pangeran Harry dinilai menyakiti masyarakat Afghanistan.

EPA-EFE/ANDY RAIN
Buku baru Pangeran Harry berjudul Spare, Salah satu isi buku mengisahkan mengenai saat Pangeran Harry bertugas di Afghanistan.
Red: Indira Rezkisari

REPUBLIKA.CO.ID, KABUL -- Beberapa keluarga Afghanistan menyerukan agar Pangeran Harry diadili. Seruan tersebut muncul setelah dia mengaku membunuh 25 orang selama masa tugasnya di peperangan Afghanistan untuk militer Inggris.

Dalam buku memoarnya yang berjudul "Spare", pangeran bergelar Duke of Sussex itu mengungkapkan bahwa dia membunuh 25 orang ketika bertugas sebagai pilot helikopter Apache di Afghanistan. Dia berkata bahwa dia tidak menganggap mereka sebagai "orang", melainkan sebagai "bidak catur" yang telah diambil dari papan.

Komentar sang pangeran menuai kritik tajam dari orang-orang di Afghanistan. Harry bertugas di Afghanistan pertama kali sebagai pengontrol dalam serangan udara pada 2007-2008, kemudian menerbangkan helikopter serang antara 2012-2013.

Dia menjalankan tugas militernya di pangkalan Inggris Bastion Camp di Provinsi Helmand, Afghanistan. Sejumlah keluarga yang kehilangan orang-orang tercinta mereka dalam serangan udara di distrik Sangin di Provinsi Helmand mengatakan bahwa orang-orang itu bukanlah pemberontak atau teroris, mereka adalah warga Afghanistan biasa.

Hamdullah Alizai (45 tahun), warga distrik Sangin, mengatakan bahwa pada Agustus 2008, Angkatan Udara Inggris melakukan serangan ke permukiman mereka dan menewaskan 27 orang, termasuk ayahnya dan adik laki-lakinya yang berusia 15 tahun. "Kami sangat terpukul saat itu dan kami mengalami hari-hari yang sulit. Kami mengutuk keras pernyataan Pangeran Harry. Kami menuntut agar dia diadili dan dihukum," kata Alizay.

Sementara warga lainnya, Mohammed Alizai (38), mengatakan bahwa dalam serangan itu dia kehilangan saudara lelakinya yang berusia 23 tahun dan baru saja bertunangan. Dia ingat bahwa mereka harus menguburkan beberapa mayat di desa yang berbeda karena takut dibombardir.

Tuntutan serupa juga disampaikan Habibul Rahman Noorzai (38), yang kehilangan ayah, paman, dan saudara laki-lakinya berusia 20 tahun akibat serangan itu. "Tentara Inggris dan asing melakukan banyak kekejaman di sini. Kami ingin mereka diadili," kata Noorzai, dilansir dari Anadolu, Selasa (17/1/2023).


Baca Juga


sumber : Antara
BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Berita Terpopuler