Kenapa Biaya Haji (Bipih) Naik? Berikut Penjelasan Kemenag
Kemenag mengusulkan kenaikan biaya haji agar masyarakat atau calon haji mendapatkan nilai manfaat lebih besar.
JAKARTA—Kementerian Agama (Kemenag) mengusulkan Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH) tahun 2023 ini naik dibanding 2022. Kenaikannya sebesar Rp 514.888,02. Sebab, rata-rata BPIH yang diusulkan tahun ini adalah Rp 98.893.909,11. Sementara rerata BPIH 2022 sebesar Rp 98.379.021,09.
Adapun sebelumnya, biaya penyelenggaraan ibadah haji yang dibayarkan jamaah berkisar sekitar Rp. 39 juta. Sedangkan tahun 2023 ini diusulkan kenaikannya menjadi 69,2 juta.
Lantas, kenapa Biaya Perjalanan Ibadah Haji (Bipih) yang dibayar jamaah dalam usulan pemerintah justru naik?
Dirjen Penyelenggaraan Haji dan Umrah Hilman Latief menjelaskan bahwa hal itu terjadi karena perubahan skema persentase komponen Bipih dan Nilai Manfaat. Pemerintah mengajukan skema yang lebih berkeadilan dengan komposisi 70 persen Bipih dan 30 persen nilai manfaat.
"Hal ini dimaksudkan untuk menjaga agar nilai manfaat yang menjadi hak seluruh jamaah haji Indonesia, termasuk yang masih mengantre keberangkatan, tidak tergerus habis," terang Hilman Latief di Jakarta, Sabtu (21/1/2023).
Menurutnya, pemanfaatan dana nilai manfaat sejak 2010 sampai dengan 2022 terus mengalami peningkatan. Pada 2010, nilai manfaat dari hasil pengelolaan dana setoran awal yang diberikan ke jamaah hanya Rp 4,45 juta. Sementara Bipih yang harus dibayar jamaah sebesar Rp 30,05 juta. Komposisi nilai manfaat hanya 13 persen, sementara Bipih 87 persen.
Dalam perkembangan selanjutnya, komposisi nilai manfaat terus membesar menjadi 19 persen (2011 dan 2012), 25 persen (2013), 32 persen (2014), 39 persen (2015), 42 persen (2016), 44 persen (2017), 49 persen (2018 dan 2019). Karena Arab Saudi menaikkan layanan biaya Masyair secara signifikan jelang dimulainya operasional haji 2022 (jamaah sudah melakukan pelunasan), penggunaan dan nilai manfaat naik hingga 59 persen. "Kondisi ini sudah tidak normal dan harus disikapi dengan bijak," jelasnya.
Nilai manfaat, lanjut Hilman, bersumber dari hasil pengelolaan dana haji yang dilakukan Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH). Karenanya, nilai manfaat adalah hak seluruh jamaah haji Indonesia, termasuk lebih dari 5 juta yang masih menunggu antrean berangkat. Mulai sekarang dan seterusnya, nilai manfaat harus digunakan secara berkeadilan guna menjaga keberlanjutan. "Tentu kami juga mendorong BPKH untuk terus meningkatkan investasinya baik di dalam maupun luar negeri pasca pandemi Covid-19 ini, sehingga kesediaan nilai manfaat lebih tinggi lagi," tambahnya.
Jika komposisi Bipih dan Nilai Manfaat (NM) masih tidak proporsional, maka nilai manfaat akan cepat tergerus dan tidak sehat untuk pembiaayaan haji jangka panjang.
"Jika komposisi Bipih (41 persen) dan NM (59 persen), dipertahankan, diperkirakan nilai manfaat cepat habis. Padahal jamaah yang menunggu 5-10 tahun akan datang juga berhak atas nilai manfaat," urainya.
Berita Terkait:
Alhamdulillah, Kuota Haji Indonesia Bertambah Tanpa Batas Usia
325 Petugas Haji Diberangkatkan ke Arab Saudi
Biaya Haji Indonesia Naik, Arab Saudi Turun, Kok Bisa?
Untuk itulah, kata Hilman, Pemerintah dalam usulan yang disampaikan Menag saat Raker bersama Komisi VIII DPR, mengubah skema menjadi Bipih (70 persen) dan NM (30 persen). "Mungkin usulan ini tidak populer, tapi Pak Menteri melakukan ini demi melindungi hak nilai manfaat seluruh jamaah haji sekaligus menjaga keberlanjutannya," tegasnya.
"Ini usulan pemerintah untuk dibahas bersama Komisi VIII DPR. Kita tunggu kesepakatannya, semoga menghasilkan komposisi paling ideal," ujarnya.