Pakar Unsoed: Revisi UU Desa Lebih Tepat Soal Kewenangan Kades, Bukan Masa Jabatan
Kepemimpinan dalam waktu lama dinilai akan mengalirkan oligarki politik.
REPUBLIKA.CO.ID, PURWOKERTO - Tuntutan para kepala desa mengenai masa jabatan agar diperpanjang dinilai tidak tepat, jika berkaca pada hal-hal yang terjadi selama pandemi. Para kepala desa menuntut perpanjangan jabatan dari enam tahun menjadi sembilan tahun.
Namun belakangan, Asosiasi Pemerintah Desa Seluruh Indonesia (Apdesi) meminta masa jabatan kepala desa tidak hanya hanya diubah menjadi 9 tahun, tapi juga mengusulkan kepala desa bisa menjabat hingga 27 tahun atau 3 periode. Pakar Kebijakan Publik Universitas Jenderal Soedirman, Indaru Setyo Nurprojo, menjelaskan bahwa tuntutan para kades tersebut dinilai tidak tepat untuk revisi Undang-Undang Desa.
"Kalau kepemimpinan dalam waktu lama akan mengalirkan oligarki politik yang tentunya membahayakan bagi demokrasi di desa," ujar Indaru kepada Republika.co.id, Selasa (24/1/2023).
Menurutnya, masa jabatan yang dinilai tepat adalah sembilan tahun per periode dan dapat menjabat untuk dua periode atau enam tahun dikali tiga periode. Hal ini mempertimbangkan biaya politik yang akan menjadi lebih rendah karena proses pilkades yang dibebankan kepada calon, bukan APBD Kabupaten.
Selama ini proses kepemimpinan desa yang efektif hanya berlangsung empat tahun. Sebab, anggaran desa di awal mengikuti anggaran tahun sebelumnya, dan baru pada tahun kedua mulai efektif bekerja. Sedangkan di tahun ke lima dan enam, mereka sudah kembali pada orientasi politik. Sehingga jika hanya satu atau dua periode akan ada ketersendatan program.
Kendati begitu, mengenai masa jabatan yang diperpanjang, harus memerhatikan kondisi psikologis setiap desa berbeda-beda. "Saya dengar di NTT menolak masa jabatan kades terlalu lama. Artinya ada wilayah-wilayah yang secara psikologis tidak diuntungkan kalau masa bekerja kades terlalu lama, karena kan yang menuntut jabatan lama itu kebanyakan kades dari Jawa dan desa kan tidak hanya di Jawa," jelasnya.
Akan tetapi, yang paling penting dalam revisi UU Desa, menurut Indaru adalah revisi mengenai kewenangan desa dan kepala desa. Meskipun Dana Desa (DD) yang masuk bernilai besar, tetapi desa-desa tidak memiliki kemampuan untuk mengelola dan mengatur dana tersebut.
Berkaca pada pandemi, selama pandemi desa-desa mengalami intervensi pengelolaan DD oleh empat kementerian yakni Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Kesehatan, Kementerian Desa PDTT, dan Kementerian Keuangan.
"Substansinya itu menurut saya revisinya bukan di jabatan, tapi lebih kepada pengaturan kewenangan bagi desa itu ketika ada intervensi pada kekuatan dari luar desa. Karena kewenangan itu menjadi sangat strategis dibandingkan hanya sekedar jabatan," tutur Indaru.
Ia juga menyoroti kewajiban bagi setiap desa untuk membentuk BUMDes. Padahal tidak semua desa memiliki kapasitas yang mumpuni untuk membentuk BUMDes. Kemudian ketika BUMDes mangkrak karena kurangnya kemampuan dan kapasitas mereka dalam mengelola, mereka harus berhadapan dengan aparat penegak hukum.
"Mereka harus diarahkan ke kebijakan ini itu, padahal tidak semua desa paham akuntansi keuangan pemerintahan, dan bagaimana SPJ nya. Makanya mereka takut inovasi karena takut pertanggungjawabannya, ini yang harus disikapi," katanya.
Mengenai parameter kinerja yang disebutkan pihak kepala desa sebagai pertimbangan dalam masa jabatan lebih lama, menurut Indaru hal tersebut tidak relevan sebagai bahan pertimbangan. Sebab, parameter kinerja mereka yakni terpilih kembali atau tidak dalam periode selanjutnya.
Hal itu pun belum tentu dapat mencegah penyelewengan kinerja yang menurutnya merupakan tabiat. "Makanya penekanan bukan pada jumlah (periode), tapi yang mereka pertaruhkan kewenangan desa. Karena desa ini nanti arahnya jadi orde baru dan robot parpol, ini yang menurut saya harus ditata," tandasnya.