95 Persen Negara di Dunia Gagal Memerangi Korupsi
Denmark dipandang sebagai yang paling tidak korup tahun ini.
REPUBLIKA.CO.ID, BERLIN -- Sebagian besar dunia terus gagal memerangi korupsi dengan 95 persen negara hanya membuat sedikit atau bahkan tidak ada kemajuan sejak 2017. Hasil tersebut dirilis dalam Indeks Persepsi Korupsi 2022 oleh Transparency International pada Selasa (31/1/2023).
Laporan mengukur persepsi korupsi sektor publik menurut para ahli dan pebisnis ini juga menemukan bahwa pemerintah yang terhambat oleh korupsi tidak memiliki kapasitas untuk melindungi rakyat. Sementara ketidakpuasan publik cenderung berubah menjadi kekerasan.
“Korupsi telah membuat dunia kita menjadi tempat yang lebih berbahaya. Karena pemerintah secara kolektif gagal membuat kemajuan melawannya, mereka memicu peningkatan kekerasan dan konflik saat ini dan membahayakan orang di mana pun,” kata Ketua Transparency International Delia Ferreira Rubio.
“Satu-satunya jalan keluar adalah negara melakukan kerja keras, membasmi korupsi di semua tingkatan untuk memastikan pemerintah bekerja untuk semua orang, bukan hanya segelintir elit,” ujarnya.
Laporan tersebut memeringkat negara-negara dalam skala dari 0 atau "sangat korup" hingga 100 atau "sangat bersih". Indeks tersebut menilai 180 negara dan wilayah.
Denmark dipandang sebagai yang paling tidak korup tahun ini dengan 90 poin, sedangkan dan Finlandia dan Selandia Baru keduanya mengikuti dengan skor 87. Institusi demokrasi yang kuat dan penghormatan terhadap hak asasi manusia juga menjadikan negara-negara ini salah satu yang paling damai di dunia.
Sedangkan Somalia berada di posisi terbawah dengan 12 poin. Sudan Selatan bersama Suriah untuk posisi kedua dari terakhir dengan 13 poin.
Laporan tersebut juga menunjukkan bahwa sementara Eropa Barat tetap menjadi wilayah dengan skor tertinggi, beberapa negara menunjukkan tanda-tanda penurunan yang mengkhawatirkan.
Inggris turun lima poin menjadi 73 atau skor terendah yang pernah ada. Laporan itu mengatakan sejumlah skandal mulai dari pengeluaran publik hingga lobi, serta terungkapnya pelanggaran menteri, telah menyoroti kekurangan yang menyedihkan dalam sistem integritas politik negara itu. Kepercayaan publik terhadap politik juga sangat rendah.
Negara-negara seperti Swiss dengan 82 poin dan Belanda dengan skor 80 poin menunjukkan tanda-tanda penurunan. Kondisi ini terjadi di tengah kekhawatiran akan lemahnya integritas dan peraturan lobi, meskipun skor mereka tetap tinggi dibandingkan dengan negara lain di dunia.
Hanya ada delapan negara yang meningkat tahun lalu, di antaranya Irlandia dengan 77 poin, Korea Selatan dengan 63 poin , Armenia dengan 46 poin, dan Angola dengan 33 poin.
Sedangkan Rusia disorot sebagai contoh mencolok dari dampak korupsi terhadap perdamaian dan stabilitas. Invasi negara itu ke Ukraina adalah pengingat nyata akan ancaman korupsi dan tidak adanya akuntabilitas pemerintah terhadap perdamaian dan keamanan global.
Laporan itu menyatakan, negara dengan 28 poin ini menunjukkan para petinggi hanya mengumpulkan kekayaan besar dengan berjanji setia kepada Presiden Vladimir Putin. Tindakan ini dibalas imbalan kontrak pemerintah yang menguntungkan dan perlindungan kepentingan ekonomi segelintir kelompok.
“Tidak adanya pengawasan terhadap kekuasaan Putin memungkinkan dia untuk mengejar ambisi geopolitiknya tanpa mendapat hukuman. Serangan ini menggoyahkan benua Eropa, mengancam demokrasi, dan telah membunuh puluhan ribu orang," laporan itu menyimpulkan.
Di sisi lain, Ukraina mencetak 33 poin. Negara ini masih berada di skor rendah tetapi melakukan reformasi penting dan terus membaik.
Bahkan setelah pecahnya perang, negara terus memprioritaskan reformasi antikorupsi. Namun, perang mengganggu proses normal dan memperburuk risiko.
Perang memungkinkan pelaku korup mengantongi dana yang dimaksudkan untuk pemulihan. Investigasi awal bulan ini mengungkap dugaan pencatutan perang oleh beberapa pejabat senior.
Disusun sejak 1995, indeks ini dihitung menggunakan 13 sumber data berbeda yang memberikan persepsi tentang korupsi sektor publik dari para pebisnis dan pakar negara. Sumber termasuk Bank Dunia, Forum Ekonomi Dunia, serta risiko swasta dan perusahaan konsultan.