Usulan Pembubaran Arema FC Dianggap Ekspresi Rasa Frustrasi Manajemen Klub

Manajemen dan suporter Arema FC harus bisa duduk bersama mencapai kesepakatan.

Republika/Wilda Fizriyani 
Manajemen Arema FC memberikan keterangan usai bertemu dengan Aremania di Kantor Arema FC, Kota Malang, Selasa (31/1/2023).
Rep: Reja Irfa Widodo Red: Endro Yuwanto

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat sepak bola, Kusnaeni, menilai munculnya usulan pembubaran Arema FC merupakan wujud rasa frustrasi manajemen klub terhadap situasi yang tengah dihadapi klub berjuluk Singo Edan tersebut. Meski opsi pembubaran sebuah klub selalu terbuka, opsi itu dinilai memiliki konsekuensi yang sulit dan mahal.

Manajemen Arema FC mempertimbangkan membubarkan klub tersebut apabila kondisi klub yang berbasis di Kota Malang itu tidak kunjung kondusif. Ini menjadi respons manajemen klub pascaaksi demonstrasi yang dilakukan pendukung Arema, Aremania, pada akhir pekan lalu.

Demonstrasi tersebut berujung ricuh dan membuat kantor Arema FC rusak. Aksi demonstrasi itu merupakan bentuk kekecewaan Aremania terkait minimnya perhatian klub terhadap para keluarga korban Tragedi Kanjuruhan, yang menyebabkan setidaknya 135 orang meninggal dunia.

''Saya melihatnya, itu (usulan manajemen klub untuk membubarkan Arema FC) sikap frustrasi terhadap situasi yang ada. Manajemen merasa sudah melakukan perbaikan, pembenahan, tapi respons dari pendukung tidak sesuai ekpektasi mereka. Kalau semacam ini, sebenarnya ada kesenjangan komunikasi,'' ujar Kusnaeni saat dihubungi Republika.co.id, Selasa (31/1/2023).

Sementara manajemen klub merasa sudah mengakomodasi semua kebutuhan keluarga korban Tragedi Kanjuruhan, di pihak lain, suporter Arema justru merasa ditinggal oleh manajemen klub dalam upaya mencari keadilan dalam Tragedi Kanjuruhan tersebut. Hal ini hanya bisa terjadi apabila ada kesenjangan komunikasi.

Untuk itu, Kusnaeni menyarankan, manajemen klub dan suporter Arema harus bisa duduk bersama, mencapai kesepakatan yang menjadi perhatian bersama. ''Ekspektasi manajemen dan ekspektasi suporter tidak nyambung, tidak ketemu. Ya, harusnya ketemu, ngobrol, dan mencari titik temu,'' ujar Kusnaeni.

Opsi pembubaran klub, kata Kusnaeni, selalu terbuka. Namun, opsi itu menjadi opsi paling pahit yang harus diambil apbila tidak ada titik temu antara manajemen klub dan suporter klub. Tidak hanya itu, opsi itu juga memiliki konsekuensi yang besar dan mahal.

Berdasarkan regulasi kompetisi Liga 1 2022/2023, klub yang mengundurkan diri saat kompetisi telah berjalan harus membayar sejumlah kompensasi terhadap kerugian klub lain, PSSI, LIB, sponsor, dan televisi. Pun dengan hilangnya poin yang telah dikumpulkan Arema FC selama mengikuti gelaran Liga 1.

Tidak berhenti sampai di situ, klub yang membubarkan diri juga harus mengembalikan semua kontribusi yang telah diterima dari pihak operator. Selain itu, klub yang membubarkan diri, terutama pada paruh kedua kompetisi, harus membayar denda hingga mencapai lima miliar rupiah.

''Belum lagi soal memenuhi kewajiban gaji para pemain yang telah dikontrak. Jadi, apabila dipikirkan lebih jauh, konsekuensinya akan sangat sulit dan mahal. Itu bukanlah opsi yang terbaik,'' kata Kusnaeni.

Selain itu, dengan memilih untuk membubarkan Arema FC, manajemen klub juga terkesan berusaha lari dari masalah yang tengah membelit klub. ''Kalau saat kondisi seperti ini, bubar, itu namanya lari dari masalah. Hadapi masalahnya, cari titik temu, dan capai kesepakatan bersama untuk mengatasinya,'' tegas Kusnaeni.

Baca Juga


BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler