Tips Pemulihan Kondisi Psikologis Anak Korban Penculikan

Pemulihan trauma korban penculikan membutuhkan proses dan waktu.

Anak korban penculikan menangis/ilustrasi.
Rep: Silvy Dian Setiawan Red: Yusuf Assidiq

REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Kasus percobaan penculikan anak kembali mencuat belakangan ini di sejumlah wilayah Indonesia. Bahkan, penculikan anak yang terjadi sempat menyebabkan hilangnya nyawa anak dari kasus yang terjadi di Januari 2023.

Dosen psikologi Universitas 'Aisyiyah (Unisa) Yogyakarta, Ratna Yunita Septiyani menilai, maraknya kasus penculikan anak akan memberikan masalah psikologis tersendiri untuk anak, terutama korban penculikan itu sendiri.

Hal ini dikarenakan munculnya perasaan terancam, terisolasi, dan ketakutan saat berada di lingkungan asing. Sementara, korban penculikan akan berada jauh dari lingkungan sekitarnya, bahkan mengalami tindakan fisik dan pelecehan seksual.

Menurutnya, hal tersebut yang membuat kondisi psikologis anak yang menjadi korban penculikan menjadi terdampak. Dampak psikologis, katanya, sangat bergantung pada bagaimana proses penculikan tersebut terjadi, apa yang terjadi selama anak diculik, dan setelah penculikan terjadi.

"Anak yang mengalami trauma akan tampak berbeda dari segi perilaku yang ditampakkan. Seperti lebih banyak diam dan termenung, berada pada kondisi emosi marah, tidak menentu, dan agresif, histeris, suka menyendiri, mimpi buruk, hingga melakukan perilaku menyakiti, baik pada diri sendiri maupun kepada orang lain," kata Ratna kepada Republika, Kamis (2/2/2023).

Pemulihan trauma korban penculikan pun disebutnya membutuhkan proses dan waktu, sesuai dengan tingkat keparahan yang dialami anak. Sedangkan, orang tua dan lingkungan sekitar juga memiliki peran besar dalam memberikan rasa aman kepada anak yang menjadi korban.

Untuk itu, Ratna pun membagikan beberapa tips yang dapat dijadikan sebagai panduan dalam memberikan kenyamanan psikologis pada anak. Tips ini juga sebagai upaya recovery kondisi mental anak yang mengalami kasus penculikan.

Ratna menjelaskan, tips pertama yang harus dilakukan yakni menjadi pendengar yang baik bagi anak. Termasuk meluangkan waktu untuk mendengarkan cerita anak, tanpa ada judgement apapun.

"Tidak perlu memaksa anak untuk bercerita secara rinci tentang kejadian penculikan itu, biarkan anak mengungkapkannya ketika ia ingin cerita," ujar Ratna.

Tips kedua yakni membangun rasa aman dalam kegiatan sehari-hari, dan memberi keyakinan kepada anak bahwa situasi telah kondusif. Hal ini juga perlu ditanamkan kepada anak bersama dengan orang-orang yang ada di sekitarnya.

Tips ketiga, memberikan curahan kasih sayang yang ekspresif kepada anak. Dengan begitu, anak akan merasa disayangi, sehingga dapat membantu pemulihan kondisi psikologis anak pasca-trauma.

Ratna menekankan, jika ternyata anak memberikan gejala yang lebih serius atas trauma yang dialaminya, maka akan lebih baik jika anak dirujuk ke Psikolog untuk dilakukan konseling dan mendapatkan terapi yang diperlukan sesegera mungkin.

"Jangan lupa juga untuk melakukan pemeriksaan fisik bila anak menunjukkan ketidaknyaman secara fisik," jelasnya.

Meski demikian, Ratna juga menekankan ada baiknya untuk melakukan deteksi dini terhadap kondisi psikologis anak sebelum menjalankan tips-tips tersebut. Deteksi dini yang dilakukan yakni dengan mencermati ada atau tidaknya perubahan sikap dan perilaku anak setelah terjadinya penculikan.

"Kalau misalnya anak sudah kembali seperti biasa dan sama sekali tidak ada perubahan, maka kita bisa lebih tenang bahwa anak tidak mengalami trauma. Namun, upaya lainnya perlu dilakukan jika kita mendapati anak menunjukkan gejala yang tidak biasa setelah penculikan," terang dia.



BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler