Jarang Main Tanah, Anak Kota Bisa Kecacingan Juga?
Anak yang mengalami kecacingan berisiko malanutrisi kronis.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Faktor utama penularan penyakit kecacingan atau cacingan adalah kontak dengan tanah. Lantas bagaimana dengan anak di perkotaan yang umumnya jarang bermain tanah seperti anak di pedesaan?
Dokter Ayodhia Pitaloka Pasaribu menjelaskan risiko kecacingan pada anak yang tidak sering berkontak dengan tanah memang hanya sedikit. Namun, tidak berarti risiko itu hilang.
"Saya meyakini Jakarta, misalnya, masih memiliki kecacingan di wilayah perifer cukup banyak, belum dilakukan penelitian karena biasanya meneliti ke desa, tapi harusnya ada dan lebih baik untuk mengevaluasi data supaya lebih pasti," kata anggota Unit Kerja Koordinasi (UKK) Infeksi Tropik Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) itu dalam webinar disimak Jumat (3/2/2023).
Namun, satu temuan yang dipublikasikan jurnal Universitas Padjajaran pada 2020, menemukan 7,3 persen dari 82 anak mengalami kecacingan di Sekolah Dasar (SD) Jakarta Utara. Penelitian tersebut bertujuan mengetahui prevalensi kecacingan dan status gizi setelah kampanye pemberantasan cacing di SDN 6 Cilincing, Jakarta Utara.
Dokter Ayodhia menjelaskan bahwa ketika ada tanah gembur dan lembap, maka risiko kecacingan menjadi sama di wilayah manapun. Di setiap provinsi, prevalensi kecacingan umumnya ditemukan di wilayah penduduk kurang mampu dan dengan sanitasi kurang baik.
Risiko terkena kecacingan bisa dikarenakan lupa mencuci tangan sebelum makan setelah kontak dengan tanah. Selain itu, anak bisa terinfestasi dari kuku yang kotor, tidak menggunakan alas kaki, dan akibat mengonsumsi sayuran yang tidak dicuci bersih.
Studi kecacingan di wilayah dengan prevalensi tinggi telah dilakukan, baik pada anak prasekolah dan anak sekolah. Peneliti menemukan bahwa wilayah perkebunan memang memiliki angka kecacingan paling tinggi.
"Karena ibu membawa anaknya ke ladang, di Karo, Sumatra Utara, kami dapatkan anak yang kurang dari empat tahun mengalami kecacingan sebanyak 34,4 persen, lebih tinggi dari Sulawesi Barat (Sulbar)," kata dia.
Prevalensi kecacingan
Secara nasional, ada sebanyak 2,8 persen balita di Indonesia menderita kecacingan pada 2021. Sulawesi Barat memiliki prevalensi tinggi sekitar 12,2 persen dan Nusa Tenggara Timur (NTT) sebesar 12 persen.
Kecacingan termasuk salah satu penyakit parasit. Sebagai parasit, cacing akan menggerogoti nutrisi sehingga bisa menyebabkan anemia bahkan stunting pada anak.
Ketika nutrisinya digerogoti, tentunya anak berisiko malanutrisi kronis. Alhasil, penderitnya akan mengalami anemia, IQ rendah, dan sulit konsentrasi.
"Jangan salah, kecacingan bisa bikin sumbatan usus, ada juga yang tidak bisa buang air besar gara-gara ususnya kesumbat cacing dalam jumlah banyak," jelas Ketua PP IDAI, Dokter Piprim Basarah Yanuarso SpA(K).