Cacing Laut Bisa Jadi Sumber Protein untuk Cegah Stunting di NTB

NTB terkenal dengan Festival Bau Nyale, yakni berburu cacing laut.

Aprillio Akbar/ANTARA FOTO
Warga menunjukkan nyale (cacing laut warna-warni) di Pantai Seger, Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Mandalika, Kuta, Praya, Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat (NTB), Kamis (4/3/2021). Festival Bau Nyale berasal dari tradisi turun-temurun masyarakat Sasak Lombok untuk menangkap nyale yang muncul sekali setahun di pantai selatan Lombok. Nyale terkenal tinggi kandungan proteinnya.
Red: Reiny Dwinanda

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sumber protein untuk mengatasi stunting ada beragam dan dapat disesuaikan dengan pangan lokal. Di Nusa Tenggara Barat, misalnya, masyarakat dapat memanfaatkan nyale (cacing laut) sebagai alternatif.

"Kalau memang lebih murah dan memang telah diteliti itu mengandung banyak protein, itu bisa dimakan," kata dokter anak Rumah Sakit Permata Depok Agnes Tri Harjaningrum dalam taklimat media Koalisi Perlindungan Kesehatan Masyarakat (Kopmas) yang diikuti di Jakarta, Selasa (14/2/2023).

Baca Juga



Dokter Agnes mengingatkan meski nyale dapat digunakan sebagai alternatif telur atau ikan sebagai sumber protein hewani yang direkomendasikan Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), cara memasaknya harus tetap diperhatikan. Hal itu berguna untuk mencegah terjadinya alergi atau infeksi dari sebuah virus yang terbawa.

Dengan demikian, anak bisa terhindar dari stunting. Sebab, salah satu faktor risiko tengkes alias gagal tumbuh tersebut adalah mengalami infeksi berulang.

"Saya juga pernah dengar di Papua itu ada yang mirip-mirip seperti itu. Sagu juga itu bisa, asal aman. Jangan lupa amannya dan cara masaknya yang benar, nanti kalau pada alergi bahaya," katanya.

Dokter Agnes menyebut masih ada makanan lain yang dapat dijadikan alternatif keluarga jika tidak bisa memberikan daging kepada buah hatinya. Ada telur, ikan kembung, susu UHT, ataupun hati ayam yang bisa disediakan untuk anak.

Selaras dengan program pemerintah yang kini menggaungkan pencegahan stunting, dr Agnes menekankan protein hewani penting untuk melindungi anak dari stunting. Sebab, stunting paling banyak terjadi di usia tiga bulan hingga anak berusia dua tahun.

"Ini selain karena kekurangan gizi kronis, ibu tidak membawa anak ke posyandu, tidak terpantau tumbuh kembangnya," kata dr Agnes.

Di buku Kesehatan Ibu dan Anak (KIA) yang diberikan di posyandu, ada grafik pertumbuhan anak. Ketika mendatangi posyandu, anak akan dipantau kurva pertumbuhannya.

"Kalau berat badan anak tidak naik dua tiga bulan berturut-turut (weight faltering) itu harus diintervensi. Itu cara efektif untuk mencegah stunting," jelas dr Agnes.

Kawal 1.000 Hari Pertama Kehidupan Anak

Menjaga kebersihan lingkungan tempat tinggal, menjalankan inisiasi menyusu dini (IMD), dan melanjutkan pemberian air susu ibu (ASI) eksklusif sampai anak berusia dua tahun diperlukan agar anak tidak mudah sakit. Upaya tersebut juga merupakan bentuk pencegahan stunting.

Dokter Agnes mengingatkan selama 1.000 Hari Pertama Kehidupan (HPK), semua orang tua harus terus memantau tumbuh kembang anak dengan jeli. Berat badan anak yang terus menurun dikhawatirkan akan menyebabkan anak menjadi stunting dan memengaruhi produktivitasnya kelak.

Stunting berbeda dengan pendek karena genetik. Tengkes adalah malanutrisi kronis, kaitannya dengan asupan gizi kurang yang berkepanjangan dan infeksi berulang. "Itu yang membuat tubuhnya pendek, IQ-nya turun, sakit-sakitan, dan ke depannya obesitas, juga terkena penyakit metabolik," katanya.

Terpisah, dokter spesialis gizi klinis Alia Hospital Jakarta Nurul Ratna Mutu Manikam mengatakan kandungan protein hewani pada cacing laut bisa mencapai 43,84 persen terhadap beratnya. Kandungan protein hewaninya, bahkan lebih tinggi dibandingkan dengan telur ayam 12,2 persen dan susu sapi sekitar 3,5 persen.

sumber : Antara
BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Berita Terpopuler