SBY Pertanyakan Urgensi Perubahan Sistem Proporsional Terbuka Menjadi Tertutup

SBY mengingatkan MK jelang putusan gugatan sistem proporsional terbuka.

ANTARA FOTO/Muhammad Iqbal
Ilustrasi pemilihan umum (Pemilu). Saat ini tengah bergulir sidang gugatan sistem proporsional terbuka dalam pemilu di Mahkamah Konstitusi (MK). (ilustrasi)
Rep: Nawir Arsyad Akbar Red: Andri Saubani

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Presiden keenam Republik Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mengaku tertarik dengan isu pergantian sistem proporsional terbuka menjadi tertutup dalam pemilihan umum (Pemilu). Sebab, ia menerima informasi bahwa Mahkamah Konstitusi (MK) akan segera mengeluarkan putusannya.

Baca Juga


Sebelum putusan tersebut keluar, ia mempertanyakan benar atau tidaknya mengganti sistem dan mekanismenya di tengah tahapan Pemilu 2024. Pertanyaan tersebut ia sampaikan khusus kepada partai politik yang akan bersinggungan langsung.

"Tepatkah di tengah perjalanan yang telah direncanakan dan dipersiapkan dengan baik itu, utamanya oleh partai-partai politik peserta pemilu, tiba-tiba sebuah aturan yang sangat fundamental dilakukan perubahan?" ujar SBY lewat keterangannya, Ahad (19/2/2023).

"Ini tentu dengan asumsi bahwa MK akan memutuskan sistem proporsional tertutup yang mesti dianut dalam pemilu 2024 yang tengah berjalan saat ini," sambungnya.

Ia mempertanyakan, apakah ada kegentingan seperti krisis 1998 yang harus membuat sistem pemilu diubah di tengah jalan. Walaupun perubahannya memang sangat dimungkinkan lewat gugatan yang disampaikan ke MK.

Namun, perubahan tersebut lebih baik tak dilakukan jelang kontestasi nasional 2024. Menurutnya, masih ada banyak waktu untuk mengkaji dan membahas perubahan sistem pemilu di Indonesia.

"Sangat mungkin sistem pemilu Indonesia bisa kita sempurnakan, karena saya juga melihat sejumlah elemen yang perlu ditata lebih baik. Namun, janganlah upaya penyempurnaannya hanya bergerak dari terbuka, tertutup semata," ujar SBY.

Dalam tatanan kehidupan bernegara dan berdemokrasi yang baik, ada semacam konvensi yang bersifat tertulis dan tidak. Jika hendak melakukan perubahan yang bersifat fundamental, pada hakikatnya rakyat perlu diajak bicara.

"Menurut saya, lembaga-lembaga negara, baik eksekutif, legislatif maupun yudikatif tidak boleh begitu saja menggunakan kekuasaan (power) yang dimilikinya dan kemudian melakukan perubahan yang sangat mendasar yang berkaitan dengan "hajat hidup rakyat secara keseluruhan," ujar Ketua Majelis Tinggi Partai Demokrat itu.

Peneliti Riset Politik di Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Profesor Siti Zuhro meminta Mahkamah Konstitusi (MK) menimbang dampak politik yang akan muncul ketika hendak memutuskan perkara uji materi sistem proporsional terbuka. Sebab, ia meyakini akan muncul resistensi yang tinggi apabila MK memutuskan pemilihan legislatif (Pileg) kembali menggunakan sistem proporsional tertutup.

Siti menjelaskan, resistensi bakal tinggi karena pengubahan sistem pemilu terjadi saat tahapan Pemilu 2024 sedang berlangsung. Apalagi, penerapan sistem baru butuh waktu agar bisa berjalan efektif.

Selain itu, saat ini kalangan akademisi, aktivis, dan bahkan partai politik sudah banyak yang menolak penerapan kembali sistem proporsional tertutup. Resistensi kuat diyakini bakal datang dari delapan parpol parlemen yang sudah menyatakan menolak sistem tersebut.

Karena itu, MK diminta menimbang resistensi yang akan muncul ketika hendak membuat keputusan. "Menurut saya MK itu buka mata lebar-lebar, lapangan dada, buka pikiran. Pikirkan dampaknya sebelum mengetuk palu untuk menerima atau mengesahkan sistem proporsional tertutup. Serius menurut saya dampaknya," kata Siti, Selasa (24/1/2023).

 

 


BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler