Risiko Stunting Meningkat Pada Bayi Prematur dan Bayi Berat Lahir Rendah

Indonesia menempati peringkat lima angka kelahiran prematur dan BBLR.

FAUZAN/ANTARA FOTO
Petugas menimbang berat badan bayi di Puskesmas Karawaci Baru, Kota Tangerang, Banten, Rabu (13/5/2020). Bayi prematur dan bayi dengan berat badan lahir rendah berisiko mengalami stunting.
Rep: Desy Susilawati Red: Reiny Dwinanda

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Bayi dengan kelahiran prematur dan bayi berat lahir rendah (BBLR) berisiko tinggi mengalami tengkes alias stunting. Berkaca dari data, Indonesia menempati peringkat lima angka kelahiran prematur dan BBLR.

Dari 100 bayi yang lahir, terdapat 10 bayi lahir secara prematur dan tujuh di antaranya dengan kondisi BBLR. Mengutip sebuah penelitian di 137 negara berkembang, dokter anak konsultan neonatologi Prof Rinawati Rohsiswatmo mengatakan bahwa 32,5 persen kasus stunting disebabkan oleh kelahiran prematur.

Sementara itu, berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018, bayi dengan berat lahir rendah memengaruhi sekitar 20 persen dari terjadinya stunting di Indonesia. Itu artinya, kejadian tengkes disumbang sepertiga oleh kelahiran prematur.

"Jadi bayi prematur 15,5 persen atau sekitar 675 ribu, kalau sepertiganya sekitar 225 ribu setahun," ungkap Prof Rina dalam Media Briefing Fresenius Kabi "Kontribusi Rumah Sakit Dukung Aksi Integrasi Percepatan Penurunan Prevalensi Tengkes", di Jakarta, Senin (20/2/2023).

Baca Juga



Prof Rina menjelaskan bayi prematur adalah semua bayi yang lahir pada usia kandungan atau gestasi di bawah 37 minggu. Bayi prematur dibagi dalam beberapa kategori.

Jika usia kandungan 35 sampai 36 disebut late preterm, prematur yang mendekati usia lahiran cukup bulan. Namun, ada pula yang sangat ekstrem di bawah usia kandungan 28 minggu dan seterusnya.

"Makin kecil usia kehamilannya, itu lebih repot. Banyak sekali masalah. Bagaimana dengan risiko tengkesnya? Pasti lebih ruwet," jelasnya.

Prof Rina mengatakan bayi di dalam kandungan tumbuh dengan pesat. Misalnya, usia kandungan 26 minggu beratnya sekitar 800 gram (normal) dan dalam waktu 10 minggu sudah menjadi tiga kilogram.

Kenaikan berat badannya empat sampai lima kali lipat. Dalam kehidupan manusia normal, tidak ada kenaikan bobot empat kali lipat selama 10 minggu.

Prof Rina mengatakan, di masa prematur itu, bayi harus mengejar dulu ketertinggalan pertumbuhannya. Setelah itu, mereka baru bisa mengikuti pertumbuhan bayi lain yang sudah cukup bulan.

"Karena bayi prematur harus lari kencang dulu atau sprint dulu dalam masa ketinggalan karena lahir lebih cepat. Jadi double burden buat dia," ungkap Prof Rina.

Direktur Utama Rumah Sakit Umum Pusat Nasional dr Cipto Mangunkusumo, Lies Dina Liastuti, menjelaskan, prematur artinya lahir belum cukup bulan. Konsekuensinya, bayi lahir dalam kondisi belum lengkap semua pertumbuhannya, mulai dari pembentukan otak, jantung, dan organ lainnya yang masih belum sempurna.

Lahir karena ketidaksempurnaan itu, proses bayi mengolah bahan makanan dan penyerapan makanan menjadi kurang bagus. Daya tahan tubuhnya juga jelek sehingga gampang sakit, terkena infeksi. Kedua faktor ini akhirnya membuat anak gagal tumbuh.

"Karena tubuhnya harus melawan penyakit terus, tidak bisa tumbuh, harusnya anak kecil diberikan makanan untuk tumbuh jadi besar tapi dipakai untuk melawan penyakit, habis energinya," dr Lies.

Oleh karena itu, menurut dr Lies, asupan nutrisi sejak masa janin hingga awal kelahirannya terjamin. Ia pun menyemangati agar para ibu memberikan air susu ibu (ASI) kepada bayinya.

"Bagaimana ASI-nya, kalau tidak ada, bagaimana memberikan sesuatu yang bagus."

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Berita Terpopuler