MK di Tengah Polemik Revisi UU dan Gugatan Sistem Proporsional Pemilu
DPR kembali mengusulkan revisi UU MK meski terakhir baru disahkan pada 2020.
REPUBLIKA.CO.ID, oleh Nawir Arsyad Akbar
Dalam seminggu terakhir, Mahkamah Konstitusi (MK) menjadi pembicaraan di tingkat legislatif, eksekutif, hingga mantan Presiden Republik Indonesia. Dimulai pada Rabu (15/2/2023), di mana Komisi III DPR kembali mengusulkan revisi Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang MK.
Padahal, lembaga legislatif tersebut baru merevisinya dan disahkan menjadi undang-undang pada September 2020. Setidaknya, ada empat materi yang akan diubah dalam revisi keempat undang-undang tersebut.
Pertama adalah persyaratan batas usia minimal hakim konstitusi. Kedua, evaluasi hakim konstitusi. Ketiga, unsur keanggotaan majelis kehormatan MK,. Terakhir, penghapusan ketentuan peralihan mengenai masa jabatan ketua dan wakil ketua MK.
Dalam perkembangannya, beberapa ketentuan UU MK diubah sebanyak tiga kali. Usulan terbaru Komisi III akan menjadi revisi keempat, karena UU MK saat ini dinilai sudah tidak sesuai dengan perkembangan kebutuhan hukum masyarakat dan kehidupan ketatanegaraan.
"RUU ini merupakan perubahan keempat atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang MK, perubahan undang-undang ini dilatarbelakangi karena terdapat beberapa ketentuan yang dibatalkan Putusan MK Nomor 96/PUU-XVII/2020 dan Putusan MK Nomor 56/PUU-XX/2022," ujar anggota Komisi III Habiburokhman membacakan pendapat Komisi III.
Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD mengatakan, bahwa pemerintah tak memiliki agenda untuk merevisi UU MK. Pemerintah sendiri sudah melakukan diskusi dengan pakar dan akademisi terkait usulan Komisi III tersebut.
Ungkapnya, para pakar dan akademisi mengimbau pemerintah untuk tak menyetujui usulan komisi hukum itu untuk merevisi UU MK. Meskipun dalam pemaparannya, ia tak mengungkapkan alasan mereka menolaknya.
Kendati demikian, DPR memiliki hak dan kewenangan konstitusional untuk mengajukan revisi UU MK. Meskipun, lembaga legislatif tersebut baru mengesahkan revisi yang sama menjadi undang-undang pada dua tahun lalu.
"Artinya, pemerintah menyetujui usul ini untuk dibahas," ujar Mahfud dalam rapat kerja dengan Komisi III, Rabu.
Pendapat Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang diwakilkan oleh Mahfud mengatakan, MK adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman yang dijamin kemerdekaannya oleh pasal 24 Ayat 1 Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Prinsip kekuasan kehakiman yang merdeka mengandung makna bahwa kekuasaan kehakiman harus bebas dari pengaruh kekuasaan lainnya untuk menyelenggarakan peradilan guna penegakan hukum dan keadilan.
Lembaga peradilan haruslah menghasilkan keputusan yang objektif dan tidak memihak. Oleh karena itu, harus ada pengaturan mengenai jaminan kemerdekaan kekuasaan kehakiman di Indonesia.
Di negara hukum modern, terdapat dua prinsip dan menjadi prasyarat utama dalam sistem peradilannya. Keduanya adalah the principle of judicial independence dan the principle of judicial impartiality.
"Parameter kemandirian dari lembaga kekuasaan kehakiman dilihat dari lembaganya sendiri, proses peradilannya, serta hakimnya. Independensi lembaga peradilan mutlak diperlukan sebagai prasyarat untuk menegakkan rule of law dan peradilan yang bebas dan tidak memihak," ujar Mahfud.
Seusai rapat tersebut, Ketua Komisi III Bambang Wuryanto ditanya oleh wartawan, apakah usulan revisi tersebut berkaitan dengan hakim MK, Aswanto yang sebelumnya telah diberhentikan oleh DPR? Ia menjawab bahwa itu menjadi salah satu alasan Komisi III. Termasuk dalam mengevaluasi hakim-hakim agar menjalankan tugasnya.
Ungkapnya, salah satu alasan pihaknya merevisi UU MK adalah untuk mengevaluasi hakim-hakim yang tak menjalankan tugasnya. Tak segan, ia mengungkap bahwa evaluasi terhadap hakim diperlukan agar undang-undang yang telah dihasilkan DPR tak dibatalkan lewat sebuah gugatan.
Jelasnya, DPR mengoreksi diri karena banyaknya gugatan atau judicial review terhadap undang-undang dari lembaganya. Revisi UU MK disebutnya sebagai bagian dari perbaikan terhadap proses pembentukan perundang-undangan.
Kendati demikian, ia menegaskan bahwa revisi UU MK justru menjadikan lembaga tersebut tak independen. Sebab independensi MK harus didasarkan tugas utamanya, yakni menyandingkan undang-undang dengan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.
"Jadi kita ingin penegakan hukum benar-benar clear, bagaimana menerjemahkan UUD 45 clear. Karena sesungguhnya tugas terutama dan paling utama bagi MK adalah menyandingkan UU dengan UUD 45, jangan kemudian membatalkan UU itu dengan UU yang ada," ujar Bambang.
Anggota Komisi III DPR Arsul Sani menjelaskan, salah satu materi muatan yang akan diubah adalah tentang evaluasi hakim MK. Jelasnya, hakim MK dapat dievaluasi oleh lembaga yang mengusulkan atau memilihnya.
"Itulah (evaluasi hakim oleh DPR) yang akan kita atur akan seperti apa. Karena prinsipnya, evaluasi itu juga tidak boleh mengganggu independensi," ujar Arsul di Gedung Nusantara II, Kompleks Parlemen, Jakarta, Kamis (16/2/2023).
Jelasnya, dalam konteks pengisian jabatan hakim konstitusi, DPR, presiden, dan Mahkamah Agung (MA) diberi amanat untuk mengisi jabatan hakim MK dengan cara memilih atau mengajukan masing-masing sebanyak tiga orang hakim konstitusi. Itu diatur dalam Pasal 18a UU MK saat ini.
Artinya, hakim MK yang dipilih oleh DPR juga nantinya akan dievaluasi oleh lembaga legislatif itu sendiri. Sedangkan, hakim MK yang dipilih atau diajukan oleh MA akan dievaluasi oleh lembaga yang juga merupakan lembaga pemegang kekuasaan kehakiman itu.
Independensi hakim MK dalam proses evaluasi tersebut, nilai Arsul, akan menjadi tantangan tersendiri dalam revisi UU MK. Sebab, MK adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman yang dijamin kemerdekaannya oleh pasal 24 Ayat 1 UUD 1945.
"Nanti kita ya harus dengarkan juga apa pendapat dari para ahli, apa masukan dari teman-teman masyarakat sipil. Hemat saya, ya ini juga jangan terburu-buru," ujar politikus Partai Persatuan Pembangunan (PPP) itu.
Setelah adanya usulan revisi UU MK, dua pentolan Partai Demokrat angkat bicara. Pertama adalah Wakil Ketua Umum Partai Demokrat yang juga anggota Komisi III Benny K Harman.
Benny menilai, sesungguhnya tak ada urgensi untuk merevisi UU MK. Tak segan ia menyebut, revisi tersebut dilakukan untuk menjadikan lembaga hukum tersebut sebagai alat untuk meloloskan dan menyingkirkan orang-orang tertentu.
Kredibilitas MK sudah terganggu sejak lama. Bahkan tak segan ia menyebut, lembaga tersebut sudah tak dapat diharapkan lagi oleh masyarakat untuk menjaga konstitusi dan seakan berubah menjadi pelindung kekuasaan.
"Mahkamah Konstitusi telah berubah menjadi penjaga kekuasaan, itu harus disadari oleh hakim Mahkamah Konstitusi," ujar Benny.
"Saat ini saya hanya ingatkan MK jangan sekali-kali menjadi alat kekuasaan, itu kan peringatan," sambungnya menegaskan
Selang beberapa hari, Ketua Majelis Tinggi Partai Demokrat yang juga Presiden keenam Republik Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) juga angkat bicara terkait MK. Namun ia tak membicarakan ihwal revisi UU MK, melainkan gugatan terhadap sistem proporsional terbuka di lembaga tersebut.
SBY mengaku telah mendapatkan informasi bahwa MK akan segera mengeluarkan putusannya. Ia sendiri tak dalam posisi menentukan mana yang lebih baik antara sistem proporsional terbuka dan tertutup.
Namun, ia mengingatkan MK bahwa lembaga tersebut tengah menangani hal yang sangat fundamental dan berkaitan dengan masyarakat.
"Hakikatnya, salah satu fundamental konsensus dalam perjalanan kita sebagai bangsa. Apalagi, putusan MK bersifat final dan mengikat. Bagaimana jika putusan MK itu keliru? Tentu bukan sejarah seperti itu yang diinginkan oleh MK, maupun generasi bangsa saat ini," ujar SBY lewat keterangannya, Ahad (19/2/2023).
SBY sangat mengerti bahwa sistem pemilu memang dapat diganti, mengingat konstitusi saja dapat diubah. Namun dalam perubahannya, hal tersebut harus dapat menjawab tiga pertanyaan, yakni apa, kenapa, dan bagaimana.
Dalam perjalanan ke depan, Indonesia harus memiliki budaya untuk selalu mengedepankan kekuatan alasan. Permasalahan bangsa mesti dilihat secara utuh dan seraya tetap berorientasi ke depan, serta untuk memenuhi aspirasi besar rakyatnya.
Perubahan sistem pemilu itu bukanlah keputusan dan kebijakan yang biasa. Dalam perubahannya perlu dilakukan dalam proses dan kegiatan manajemen nasional, tak bisa semata-mata dilakukan di tengah tahapan kontestasi yang sedang berlangsung.
SBY menegaskan, rakyat harus diajak dalam pembahasan perubahan sistem pemilu. Rakyat juga sangat perlu diberikan penjelasan yang gamblang tentang rencana penggantian sistem pemilu itu. Termasuk perbedaan sistem proporsional terbuka dan tertutup.
Sebab, dalam tatanan kehidupan bernegara dan berdemokrasi yang baik, ada semacam konvensi yang bersifat tertulis dan tidak. Jika hendak melakukan perubahan yang bersifat fundamental, pada hakikatnya rakyat perlu diajak bicara.
"Rakyat sungguh perlu diberikan penjelasan tentang rencana penggantian sistem pemilu ini, karena dalam pemilihan umum merekalah yang paling berdaulat. Inilah jiwa dan napas dari sistem demokrasi," ujar SBY.