Pukat UGM: Harta tak Wajar Pejabat Ditjen Pajak Fenomena Gunung Es

Kewajiban LHKPN ini perlu terus ditegakkan sebagai instrumen pencegahan korupsi.

dokrep
Gedung Direktorat Jenderal Pajak
Rep: Fauziah Mursid Red: Teguh Firmansyah

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Peneliti Pusat Kajian Anti Korupsi (Pukat) UGM Zaenur Rohman menyebut, harta tak wajar pejabat Ditjen Pajak Rafael Alun Trisambodo (RAT) yang disorot buntut kasus penganiayaan anaknya seperti fenomena gunung es. Selama ini, masalah itu tidak pernah mendapat perhatian serius pemerintah.

Baca Juga


Zaenur mengatakan, kewajiban penyampaikan laporan harta kekayaan penyelenggara negara (LHKPN) yang menjadi instrumen kontrol publik dan pencegahan korupsi penyelenggara negara saat ini belum berjalan dengan baik.

"Sekarang rame-rame berita seorang pegawai yang masih rendah juga baru eselon III di di DJP LHKPN-nya fantastis saya percaya itu fenomena gunung es dan itu tidak pernah mendapatkan perhatian serius oleh negara gitu," ujar Zaenur dalam keterangannya kepada Republika.co.id, Jumat (24/2/2023).

Zaenur mengatakan, problem LHKPN saat ini adalah mereka yang tidak lapor sama sekali dan yang kedua sudah melapor tetapi isi laporannya tidak sesuai dengan seharusnya. Padahal, penyelenggara negara wajib melaporkan harta kekayaan sebagaimana diatur Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara.

"Sampai sekarang dua-duanya terjadi, yang tidak lapor banyak, yang lapor tetapi isi laporannya tidak sesuai ketentuan ya itu juga banyak dan dua-duanya tidak ada konsekuensi sanksi berarti," ujarnya.

Rendahnya kepatuhan LHKPN ini, kata Zaenur, salah satunya dilatarbelakangi penegakan sanksi lemah bagi mereka yang tidak melaporkan LHKPN. Menurutnya, ancaman sanksi hanya sanksi administrasi dan tidak dijelaskan lebih lanjut prosedur sanksi di peraturan perundang-undangan sehingga pada praktiknya hampir tidak pernah dijalankan.

Selain itu, untuk PNS, meskipun terdapat ancaman sanksi hukuman berat bagi Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang tidak lapor LHKPN sebagaimana tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 94 Tahun 2021 tentang Disiplin PNS, tetapi tidak pernah ditegakkan. Hal ini karena belum ada kejelasan prosedur penegakan norma tersebut, apakah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) atau pejabat pembina kepegawaian (PPK) instansi negara.

"Dengan ketidakjelasan sanksi dan mekanisme penjatuhan sanksinya maka kemudian akhirnya LHKPN ini seakan-akan hanya dianggap sebagai kewajiban moral bagi para penyelenggara negara untuk melaporkannya," ujar Zaenur.

Padahal menurutnya, pelaporan LHKPN ini salah satu instrumen penting mencegah korupsi dan sebagai mekanisme kontrol publik terhadap penyelenggara negara.

Karena itu, Zaenur mendorong kewajiban LHKPN ini terus ditegakkan sebagai pencegahan korupsi dengan memasukkannya dalam Undang-undang Tindak Pidana Korupsi. Selain itu, dia menilai perlunya sanksi yang jelas dan bertingkat mulai administrasi hingga pidana untuk mereka yang tidak melaporkan LHKPN.

"Maka untuk mengatasi persoalan tersebut adalah ada dua cara itu tadi, undang-undang Tipikor masukan  perbaiki pengaturan LHKPN sertakan sanksi, sanksinya tidak hanya administrasi juga sampai pidana atau yang kedua ya segera sahkan RUU perampasan aset hasil kejahatan," ujarnya.

 

 

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler