Mengukur Kemampuan Wholesale Bank Syariah
BSI menargetkan porsi segmen wholesale meningkat jadi 35 persen.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Bank syariah semakin didorong untuk menggarap kue-kue besar dari segmen korporasi demi meningkatkan pangsa dan kontribusi perekonomian. Namun demikian, apakah kapasitasnya sudah cukup kuat dan mumpuni?
Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) telah memerintahkan PT Bank Syariah Indonesia Tbk (BSI) fokus menggarap segmen wholesale, bahkan hingga ke ranah global. Wakil Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) II Kartika Wirjoatmodjo menyampaikan, sejak masa awal berdiri hingga di usianya yang kedua, segmen konsumen menjadi andalan bisnis BSI.
“Untuk pembiayaan jangka panjang seperti infrastruktur dan jalan tol dengan dengan interest yang sudah terukur, sebenarnya syariahlah yang terbaik. Memang selama ini kita belum mendalami menstruktur flow revenue perusahaan atau satu aset seperti pembangkit listrik,” ujar Tiko, sapaan akrabnya, saat menghadiri BSI Global Islamic Finance Summit 2023 di Jakarta, Rabu (15/2/2023).
Namun, bila menengok pelajaran ke belakang, ada risiko besar dalam dunia wholesale yang dapat menjadi bumerang untuk bank syariah. Kegagalan pernah dialami bank syariah pertama nasional, Bank Muamalat saat menggarap segmen wholesale dengan kurang kehati-hatian.
Kinerja Bank Muamalat tergerus lonjakan pembiayaan bermasalah atau non performing financing (NPF) hingga level di atas lima persen atau lebih tinggi dari batas maksimal ketentuan regulator. Aset bermasalah yang mencapai Rp 10 triliun terus menggerus profitabilitas.
Dalam laporan keuangan perseroan Januari-Agustus 2019, laba bersih Bank Muamalat tercatat Rp 6,57 miliar. Padahal pada periode yang sama tahun sebelumnya (Januari-Agustus 2018), laba bersih perusahaan mencapai Rp 110,9 miliar. Dalam delapan bulan pertama tahun 2019, laba bersih perusahaan juga anjlok hingga 94,1 persen secara tahunan.
Praktisi dan Akademisi Perbankan Syariah, Tika Arundina mengatakan hal yang paling utama dalam menggarap segmen wholesale secara global adalah tata kelola bank. Menurutnya, agar tidak terjerumus seperti Bank Muamalat, BSI harus dapat menjalankan fungsi good corporate governance dengan sangat baik, menjalankan dan mematuhi SOP yang berlaku.
"Assessment terhadap nasabah korporasi dilakukan dengan cermat dan independen, agar tidak terjadi conflict of interest atau moral hazard," terang Tika kepada Republika.co.id, Rabu (1/3/2023).
Peneliti Center of Reform on Economics (Core) Indonesia, Yusuf Rendy Manilet mengatakan saat menyalurkan kredit kepada korporasi, bank syariah harus memiliki pegangan yang kuat, terutama terkait tata kelola dan manajemen risiko. Beberapa hal standar wajib dilakukan bank.
Mulai dari menilai kapasitas para kreditur, menilai kecukupan modal kreditur, menilai prospek yang diberikan kreditur perusahaan, hingga menilai jaminan. Ia meyakini hal tersebut seharusnya sudah sangat dipahami.
Ia menitikberatkan pada beberapa hal kunci, seperti prospek sektor korporasi yang akan dibiayai. Tentunya, sambung Yusuf, jangkauan penilaian perlu diperluas, tidak hanya sekedar melihat kondisi laporan keuangan.
"Perlu dilihat kondisi makro ekonomi di dalam negeri di tahun berjalan dan posisinya di tahun-tahun kedepannya," ucapnya.
Proyeksi makro ekonomi ini, diperlukan untuk menilai pengaruh kondisi perekonomian pada kinerja kreditur atau korporasi yang bersangkutan. Selain itu, analisis juga perlu dilakukan pada kondisi makro ekonomi yang tidak berkaitan langsung.
"Misalnya kalau kita bicara connect tidak langsung terkait regulasi, pemerintah ingin mendorong berkurangnya emisi gas di Indonesia, sehingga secara tidak langsung kebijakan ini tentu akan berpengaruh ke korporasi yang berkaitan dengan penghasil emisi gas," terangnya.
Perlu digarisbawahi, berbagai upaya yang dilakukan pun tidak menjamin 100 persen bank syariah dapat terlepas dari risiko ketika melakukan pembiayaan untuk korporasi. Namun setidaknya beberapa langkah tersebut bisa meminimalisir kondisi peningkatan non performing financing.
Direktur Utama BSI, Hery Gunardi menuturkan, hingga saat ini pembiayaan BSI sebanyak 70 persen disumbang segmen ritel dan 30 persen lainnya datang dari wholesale. Ia menargetkan segmen wholesale bisa naik kontribusinya menjadi 35 persen di masa depan.
BSI mengincar sektor kesehatan, telekomunikasi, dan pembiayaan sindikasi. Pada akhir 2022 lalu, BSI telah menyalurkan pertumbuhan pembiayaan korporasi 18,47 persen (yoy) menjadi Rp 46,13 triliun. Sedangkan pembiayaan komersial tumbuh 5,87 persen (yoy) menjadi Rp 11,04 triliun.
Secara total, pembiayaan wholesale BSI tercatat sebesar Rp 57,18 triliun di penghujung tahun lalu. Nilai itu tumbuh 15,8 persen (yoy), mengalami pertumbuhan dari posisi 2021 sebesar Rp 49,38 triliun.