Pakar: Semua Tipe Virus Flu Burung Mudah Mati dengan Pemanasan dan Detergen
DKI memiliki risiko tinggi penularan virus flu burung, termasuk varian baru 2.3.4.4b.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Guru Besar Biologi Molekuler Universitas Airlangga, Surabaya, Jawa Timur, Prof Chairul A Nidom, mengungkapkan, virus flu burung mudah mati. Virus dapat dimatikan dengan pemanasan serta menggunakan deterjen.
"Semua tipe virus flu burung mudah mati dengan pemanasan dan deterjen," kata Prof Chairul dalam seminar daring mengenai pencegahan flu burung yang diadakan Dinas Kesehatan DKI di Jakarta, Kamis (2/3/2023).
Menurut Prof Chairul, agar dapat menangkal virus tersebut, maka masyarakat diimbau untuk memenuhi asupan gizi dan menjaga kesehatan. Dengan tubuh yang sehat dengan asupan gizi yang cukup, maka pertahanan tubuh lebih kuat.
Selain itu, Prof Chairul mendorong masyarakat menjaga kesehatan dengan mengelola stres. Ketahanan tubuh yang prima diperlukan mengingat virus flu burung tidak terlihat dan dapat masuk ke dalam sel tubuh.
"Jadi tatkala sehat dan diri penuh gizi, maka respons pertahanan terhadap virus flu burung atau apapun itu bisa lebih dikendalikan dibandingkan ketidaksiapan," katanya.
Untuk mencegah penularan flu burung, lanjut Prof Chairul, pengendalian dapat dilakukan dengan biosekuriti, karantina, menggunakan produk herbal atau probiotik, vaksinasi, hingga pengawasan. Beberapa waktu lalu, varian baru flu burung (H5N1) dilaporkan menewaskan dua warga Kamboja.
Risiko Flu Burung di Jakarta
Adanya laporan kematian diduga terkait flu burung di Kamboja kembali meningkatkan kewaspadaan termasuk di Indonesia. Pemerintah Provinsi DKI Jakarta juga meningkatkan kewaspadaan mengingat tingkat mobilitas masyarakat yang tinggi mengakibatkan Jakarta memiliki risiko tinggi penularan virus flu burung, khususnya varian baru saat ini, yakni 2.3.4.4b.
"Tingkat risiko di Jakarta relatif lebih tinggi dibandingkan provinsi lain," kata Kepala Dinas Kesehatan DKI Jakarta, Widyastuti.
Kasus flu burung sebelumnya sempat muncul di Indonesia pada 2005. Saat itu, kasus di Jakarta lebih tinggi dibandingkan daerah lain di Tanah Air. Pada 2006, menurut Widyastuti, tercatat ada 55 kasus dengan angka kematian yang tinggi mencapai 45 kasus di Jakarta.