Mengurai Problematika Penggerak Zakat
Masyarakat masih banyak yang memilih menunaikan zakat secara langsung kepada mustahik
REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Imam Nawawi (Kepala Humas BMH Pusat)
Permasalahan realisasi zakat yang masih rendah (Tahun 2022 terhimpun Rp 22 triliun dari potensi Rp 327 triliun) penting mendapat perhatian seluruh elemen, terutama stakeholder zakat. Tetapi, alih-alih itu akan terwujud, gerakan zakat kini seperti menghadapi “turbulensi” internal yang tidak bisa disebut ringan. Jika tak segera diatasi, maka hal itu akan membuat tempo (waktu tempuh antara realisasi dan potensi zakat) yang diperlukan akan semakin panjang.
Sebelum ini, beragam upaya untuk memahami hal tersebut telah dilakukan banyak pihak, termasuk tokoh dan pemerhati zakat. Catatan sementara, karena masyarakat masih banyak yang memilih menunaikan zakat secara langsung kepada mustahik.
Dalam bahasa yang lain, masyarakat masih banyak yang belum mengenal lembaga resmi berupa Lembaga Amil Zakat atau pun bahkan Badan Amil Zakat sendiri. Hal itu membuat sebagian umat memilih membayar zakat bukan kepada lembaga resmi. Lebih jauh kita bisa asumsikan, mengapa masyarakat masih ada yang memilih membayar langsung, sementara pemerintah telah memfasilitasi secara legal melalui UU Zakat No. 23 Tahun 2011, boleh jadi ada dua kemungkinan.
Pertama, literasi zakat yang belum menjangkau semua kalangan. Kedua, berbagai dinamika tentang zakat yang kadangkala mengundang pertanyaan bahkan keraguan masyarakat. Ini yang penulis maksud “turbulensi” internal di awal tadi.
Misalnya, ada lembaga zakat yang tidak berizin dan pemerintah umumkan kepada publik. Belakangan muncul kabar bahwa adanya lembaga yang tidak berizin itu karena memang tidak diberi izin. Dalam hal ini publik melihat bahwa belum ada kesamaan langkah dalam hal memasifkan literasi zakat dan mengundang masyarakat untuk membayar zakat melalui lembaga resmi.
Pemerintah tentu saja atas dasar tanggung jawab merasa perlu memberikan informasi kepada publik. Namun, langkah yang sepihak atau mungkin tergesa-gesa, juga bisa berdampak kontraproduktif bagi kebaikan gerakan zakat secara lebih umum. Silakan baca Republika: “Protes LAZ Berizin yang Disebut Tak Berizin oleh Kemenag.”
Langkah Solusi
Memperhatikan kondisi tersebut tentu akan tidak baik-baik saja bagi gerakan zakat ke depan jika tidak segera di solusikan dengan baik. Sejauh ini LAZ tengah berusaha kuat menjaga trust publik dengan melakukan berbagai ketentuan UU dan Peraturan Pemerintah perihal transparansi dan akuntabilitas.
Namun, dalam sisi yang lain kita belum melihat upaya “terbuka” pemerintah untuk benar-benar mengedukasi publik tentang literasi zakat yang progresif. Bahkan dalam beberapa hal, jika pemerintah tidak sigap, sebut “persaingan” tidak sehat antar lembaga zakat untuk mendapatkan perolehan terbanyak akan jadi bom waktu bagi gerakan zakat nasional ke depan.
Karena itu butuh langkah solusi yang tidak semata-mata berbasis regulasi, tetapi juga basis kultural yang dapat menghadirkan kehangatan antar penggerak zakat secara riil dan berkesinambungan dapat terwujud. Dengan demikian maka akan tercipta kesamaan persepsi dan langkah yang memungkinkan antar lembaga zakat saling sinergi dan kolaborasi, bukan murni “kompetisi.”
Kita mesti senantiasa sadar, mengapa gerakan zakat perlu adalah untuk mengatasi problematika umat, bangsa dan negara. Lebih dalam lagi, zakat adalah syariat Islam, yang tak semestinya kita kemas dengan orientasi materi belaka. Kemudian satu golongan mendapuk dada sebagai yang terbaik dengan cara-cara jemawa.
Maslahat
Langkah yang sungguh sangat penting para penggerak zakat lakukan sebenarnya adalah menghadirkan maslahat dari setiap aktivitas yang dilakukan, terutama dalam sisi pendayagunaan dana zakat. Maslahat yang selama ini ada harusnya menjadi tema besar dalam diskusi antar lembaga zakat yang penting terus dikembangkan dan ditingkatkan, sehingga diskusi bersama Baznas dan Kemenag tidak terjebak pada pola-pola formal belaka (laporan tahunan), tetapi riil meningkatkan maslahat umat.
Gerakan zakat ke depan penting melakukan agenda perubahan secara sinergis dan kolaboratif secara lebih konkret. Kampung Zakat sebenarnya bisa menjadi satu pola yang terus dikembangkan.
Kemenag pun telah melibatkan unsur LAZ dalam hal pembinaan KUA unggulan. Nah, tema-tema seperti ini perlu kita persering. Lebih jauh sangat mungkin seluruh elemen zakat memberdayakan pesantren secara bersama-sama sesuai dengan core program masing-masing LAZ.
Dengan demikian ke depan, gerakan zakat akan semakin tampak elegan dan dewasa dalam menghadirkan maslahat. Lebih dari itu sekat-sekat organisasi sebenarnya tidak lebih dari sekedar “rumah dan alamat” yang mana secara substansi, banyaknya LAZ adalah wujud keluarga besar umat Islam yang memang beragam. Namun dalam hal zakat bisa sinergi dan kolaborasi. Kemenag, Baznas dan LAZ punya amanah mewujudkan, merawat dan mengembangkan hal itu.