Arab Saudi dan Iran Kembali Mesra, Apa Dampaknya dan Siapa Gelisah?

Keharmonisan Arab Saudi dan Iran memicu beragam tanggapan

Nournews via AP
Dalam foto yang dirilis oleh Nournews ini, Sekretaris Dewan Keamanan Nasional Tertinggi Iran, Ali Shamkhani, kanan, berjabat tangan dengan diplomat paling senior China Wang Yi, saat Penasihat Keamanan Nasional Arab Saudi Musaad bin Mohammed al-Aiban terlihat saat upacara penandatanganan perjanjian antara Iran dan Arab Saudi untuk membangun kembali hubungan diplomatik dan membuka kembali kedutaan setelah tujuh tahun ketegangan antara rival Timur Tengah, di Beijing, China, Jumat (10/3/2023).
Red: Nashih Nashrullah

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA— Kabar mengejutkan dari Timur Tengah ketika dua negara yang selama ini bermusuhan, Iran dan Arab Saudi, pada 10 Maret 2023 sepakat menormalisasi kembali hubungan diplomatiknya setelah hampir tujuh tahun bersitegang.

Baca Juga


Ditengahi Cina dalam sebuah pembicaraan di Beijing, kedua negara akan saling membuka kedutaan besarnya kembali dua bulan ke depan.

Pembicaraan normalisasi hubungan ini sudah dimulai sejak dua tahun lalu di Irak, tapi sempat terhenti karena Pemilu Irak pada 2021.

Para pejabat kedua negara lalu melanjutkan bertemu di Oman, terutama membahas situasi di Yaman, di mana kedua negara berkonflik untuk menjadi pendukung dua kubu di sana.

Normalisasi hubungan Arab Saudi-Iran menohok kekuatan-kekuatan besar yang selama ini menjadi pemain utama di Timur Tengah, khususnya Amerika Serikat dan Israel, terlebih kesepakatan itu dicapai di Cina yang justru sedang berseteru dengan Amerika Serikat di hampir semua medan politik global.

Ini ‘kudeta diplomatic”  Cina terhadap Amerika Serikat dan Barat yang memandang kawasan ini sebagai pelataran politiknya.

Iran dan Arab Saudi memilih Cina bukan saja dianggap netral, tetapi juga hubungan ekonomi kedua negara dengan Cina yang kian rapat.

Memilih Beijing juga melukiskan adanya pergeseran orientasi hubungan luar negeri Iran dan Arab Saudi yang lebih ‘menengok ke timur’, ke Asia, khususnya Cina, yang menjadi pasar ekonomi terbesar di dunia.

Dalam konteks misalnya, di mata Arab Saudi, Cina memiliki kemampuan yang tak bisa dimiliki Amerika Serikat, yakni membeli minyak mentah Arab Saudi 2 juta barel per hari yang tak bisa dilakukan Amerika Serikat.

Yang paling menarik dari perkembangan ini adalah keinginan Riyadh dan Teheran dalam menormalisasi hubungan setelah berseteru keras dalam banyak hal.

Sejak Revolusi Islam Iran pada 1979, hubungan kedua negara terus bergolak, kendati ada masa-masa singkat mereka membangun hubungan yang lebih konstruktif.

Di samping Mesir, Israel, dan Turki, kedua negara berlomba menjadi pemimpin Timur Tengah. Bersama Turki, kedua negara bersaing menjadi pemimpin dunia Islam.

Persaingan mereka lebih merupakan pertarungan ideologis antara Syiah dan Sunni yang tak pernah padam sejak berabad-abad silam.

Itu semua tercermin dalam konflik-konflik sektarian di Lebanon dan banyak tempat lainnya, termasuk Pakistan. 

Baca juga: Muhammadiyah Resmi Beli Gereja di Spanyol yang Juga Bekas Masjid Era Abbasiyah

Terlebih di Suriah, Irak dan Yaman yang berbatasan langsung dengan Arab Saudi. Irak juga berbatasan langsung dengan Iran.

'Saudi First'

Di Lebanon, Iran menyokong gerakan Hizbullah yang Syiah, sedangkan Arab Saudi menjadi promotor faksi Sunni dalam peta politik Lebanon yang memang amat beragam.

Di Suriah, Iran menjadi pendukung setia Bashar al Assad yang Syiah Alawiyah, sementara Saudi menyokong oposisi Sunni, hingga meletuskan perang saudara yang sampai kini belum tuntas. Perang saudara ini juga melibatkan faksi, termasuk Kurdi dan kelompok ekstremis Negara Islam (ISIS).  

 

Di Yaman, Arab Saudi berusaha memulihkan pemerintahan Sunni yang terdesak oleh oposisi Syiah, Houthi, yang didukung Iran.

Dalam empat medan ini, Arab audi bukan menjadi pihak pemenang. Assad tak kunjung bisa ditumbangkan, Houthi makin berjaya di Yaman, faksi-faksi Sunni Lebanon tak pernah bisa lebih kuat ketimbang Hizbullah, dan Irak sudah bukan lagi diperintah minoritas Sunni sejak diktator Saddam Husein digulingkan pasukan multinasional pimpinan Amerika Serikat.

Hubungan kedua negara selalu naik turun, bahkan pada 2016 Arab Saudi memutuskan hubungan diplomatik dengan Iran setelah demonstran Iran menduduki misi diplomatik Arab Saudi di Teheran akibat eksekusi hukuman mati ulama Syiah terkenal di Arab Saudi, Nimr al-Nimr.

Arab Saudi agaknya menjadi pihak yang berusaha tak lagi terlalu ideologistis, apalagi belakangan ini Arab Saudi cenderung berorientasi ke dalam negeri yang membuatnya tak mau lagi memproyeksikan kekuatannya di luar negeri secara berlebihan, kecuali ada insentif ekonomi yang jelas.

Ada kesadaran luas di Arab Saudi bahwa konflik-konflik eksternal hanya menyedot energi Arab Saudi tanpa mendapatkan apa-apa. Khusus dalam konflik di Yaman, Arab Saudi merasa berjuang sendirian menghadapi Iran.

Di samping itu, Arab Saudi mendapati kenyataan bahwa semua negara, termasuk Amerika Serikat, kini lebih mementingkan kepentingan politik dalam negerinya. Kecenderungan ini dibuka terang-terang oleh Donald Trump sewaktu memimpin Amerika Serikat.

Tak berlebihan jika langkah Arab Saudi dalam menormalisasi hubungan dengan Iran adalah bagian dari orientasi politik yang juga mementingkan dahulu kepentingan nasionalnya atau?

Baca juga: Perang Mahadahsyat akan Terjadi Jelang Turunnya Nabi Isa Pertanda Kiamat Besar?

Arab Saudi mungkin tak peduli orang mengatakan normalisasi hubungan dengan Iran sebagai bentuk kekalahan politik mereka dari Iran.

Arab Saudi, tepatnya Pangeran Muhammad bin Salman, mungkin berpikir, jika tak ada insentif dari setiap ekspedisi politik Arab Saudi di luar negeri, maka buat apa melanjutkan kebijakan yang malah mengancam eksistensi mereka.

Namun, belum tentu juga Iran bertepuk dada telah menjadi kekuatan regional tak tertandingi, sehingga bebas dalam bermanuver di Timur Tengah atau bahkan dunia Islam.

Ketiadaan lawan yang sepadan malah bisa membuat Iran menekan petualangan politiknya di luar negeri yang memang mahal, sehingga melalaikan kondisi domestiknya, apalagi jika masyarakat kawasan sudah tak melihat perlunya mengeraskan pertarungan ideologis, khususnya antara Syiah dan Sunni.

Israel gelisah

Sebaliknya, normalisasi hubungan diplomatik dengan Arab Saudi bisa berpengaruh baik terhadap kawasan yang akhirnya menaikkan citra kedua negara. Berhentinya permusuhan antara kedua negara, adalah juga bisa berarti mereda atau bahkan berhentinya konflik di Yaman, Suriah, Lebanon, dan kawasan-kawasan lain.

 

Sesedarhana itukah? Kemungkinan tetap rumit karena ada pihak-pihak yang gelisah melihat rukunnya lagi Iran dan Arab Saudi.

Di antara yang paling gelisah adalah Israel yang selama ini melihat Arab Saudi sebagai penyeimbang untuk ambisi regional Iran. Tak terbayangkan oleh Israel, jika Arab Saudi dan Iran bersatu.

Arab Saudi yang berseteru dengan Iran jelas menguntungkan Israel, ketimbang Saudi yang satu front dengan Iran.

Akan lebih berbahaya lagi bagi Israel jika semangat normalisasi hubungan itu menular kepada faksi-faksi politik yang saling bersaing di Lebanon dan Suriah yang berbatasan langsung dengan Israel, atau Palestina.

Kekhawatiran itu tercermin dari kupasan media massa Israel dalam menanggapi normalisasi hubungan Iran-Saudi. Fakta kesepakatan Iran-Saudi itu dicapai ketika Israel dan Arab Saudi sendiri aktif menjalin kontak-kontak politik, membuat Israel semakin gelisah.

Surat kabar Haaretz sampai menyebut impian membentuk aliansi Arab-Israel untuk menangkal Iran musnah seketika oleh normalisasi hubungan Arab Saudi-Iran tersebut.

Elite politik Israel pun menjadi saling tuding mengenai siapa yang pantas dijadikan biang keladi merapatnya Arab Saudi kepada Iran.

Mantan Perdana Menteri Yair Lapid menyebut normalisasi hubungan Iran-Saudi itu sebagai akibat dari kesalahan besar kebijakan luar negeri Perdana Menteri Benjamin Netanyahu. 

Sebaliknya, Netanyahu menyalahkan pemerintahan Israel sebelumnya. Situasi serupa terjadi di Amerika Serikat dan sejumlah negara Barat lainnya.

Dari perspektif ini, normalisasi hubungan diplomatik Iran-Saudi adalah tsunami politik untuk Israel dan Barat. 

Baca juga: Arab Saudi-Iran Sepakat Damai Diprakarsai China, Ini Reaksi Amerika Hingga Negara Arab

Sebaliknya, ini bisa menjadi oase untuk terciptanya perdamaian yang langgeng di Timur Tengah dan bisa memaksa Israel berkompromi untuk banyak isu di kawasan ini, khususnya menyangkut Palestina.

Namun demikian, ini baru harapan, terlebih Arab Saudi mungkin saja menormalisasi hubungan dengan Israel sekalipun, seperti sudah ditempuh sejumlah negara Arab lainnya, termasuk Mesir, Yordania, dan Uni Emirat Arab.

Langkah itu juga bisa menjadi bentuk lain dari tekanan tidak langsung Saudi kepada Amerika Serikat dan sekutu-sekutunya agar mereformulasi kebijakan terhadap Saudi dengan lebih baik lagi.

 

Dalam normalisasi hubungan Iran-Saudi, pihak Arab Saudi tampaknya menjadi pihak yang lebih kentara ingin hendak berubah. Dalam kata lain, Arab Saudi adalah faktor terpenting di balik semua ini.     

sumber : Antara
BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler