Beda Shaum dan Shiyam dalam Alquran untuk Menyebut Puasa

Puasa hendaknya membuat seseorang melakukan perbuatan menuju ketakwaan kepada Allah.

Muhammad Noor Alfian
Talkshow seputar kesehatan puasa bagi penderita diabetes di RS PKU Muhamadiyah Solo, Selasa (14/3/2023).
Rep: Andrian Saputra Red: Erdy Nasrul

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Seringkali kita mendengar masyarakat atau para pendakwah menyebut puasa dengan kata shaum. Ada juga yang menyebutnya shiyam. Apakah kedua kata itu ada di Alquran? Apa perbedaanya? Mana yang tepat digunakan?

Baca Juga


Mengenai hal ini pakar tafsir Alquran yang juga Pengasuh Pesantren Pasca Tahfidz Bayt al-Qur’an -PSQ Jakarta, KH. Syahrullah Iskandar memberikan penjelasannya. Ia mengatakan dalam Alquran ada dua term yang digunakan untuk menyebut puasa, yaitu shaum dan shiyam. Kata shaum hanya tersebut sekali dalam Alquran, sedangkan kata shiyam tersebut tujuh kali dalam Alquran. 

Kata shaum tersebut dalam Alquran surat Maryam ayat 26:

فَكُلِى وَٱشْرَبِى وَقَرِّى عَيْنًا ۖ فَإِمَّا تَرَيِنَّ مِنَ ٱلْبَشَرِ أَحَدًا فَقُولِىٓ إِنِّى نَذَرْتُ لِلرَّحْمَٰنِ صَوْمًا فَلَنْ أُكَلِّمَ ٱلْيَوْمَ إِنسِيًّا

Maka makan, minum dan bersenang hatilah kamu. Jika kamu melihat seorang manusia, maka katakanlah: "Sesungguhnya aku telah bernazar berpuasa (bicara) untuk Tuhan Yang Maha Pengasih, maka aku tidak akan berbicara dengan seorang manusiapun pada hari ini". (surat Maryam ayat 26).

Kiai Syahrullah menjelaskan kalimat falan akallamal yauma insiyya (aku tidak akan berbicara  dengan siapa pun pada hari ini) konteksnya terkait Maryam yakni ibu dari Nabi Isa, yang diperintahkan menahan diri untuk tidak berkata-kata sedikit pun kepada siapa pun. Ini dilakukan untuk merespons keraguan banyak orang saat kehamilannya akan kesucian dirinya melalui ucapan bayi yang dilahirkannya kelak. 

"Perintah khusus berpuasa dalam konteks Maryam tersebut tidak diperintahkan dalam Islam, karena hanya diminta untuk diam tanpa bicara, sementara puasa tidak menghalangi seseorang untuk menjalin silaturahmi dengan orang lain. Dalam syariat Islam, justru perintah berpuasa menggunakan kata shiyam," kata kiai Syahrullah kepada Republika.id beberapa hari lalu.

Kiai Syahrullah yang juga Wakil Sekjen Pengurus Besar Darud Da’wah wal Irsyad (PB-DDI) mengatakan dalam syariat Islam perintah berpuasa di dalam Alquran menggunakan kata shiyam. Ini dapat ditemukan pada Alquran surat Al Baqarah ayat 183:

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ كُتِبَ عَلَيْكُمُ ٱلصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى ٱلَّذِينَ مِن قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ

Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa, (Al Baqarah ayat 183).

Dalam Al Baqarah ayat 183 tersebut, menurut kiai Syahrullah, puasa atau shiyam yang dimaksud adalah mencakup puasa wajib seperti puasa Ramadhan, puasa Kafarat, puasa nazar, maupun puasa sunah. 

Selain pada ayat tersebut kata shiyam juga ada pada dua ayat setelahnya yakni surat Al Baqarah ayat 184 dan juga ayat 185. Kiai Syahrullah mengatakan rentetan ayat-ayat tersebut yakni  surat Al Baqarah 183-185 bukan saja berbicara tentang kewajiban puasa semata, tetapi juga secara sekaligus berbicara tentang iman, akidah, akal, rasa, dan hati. Atas dasar itulah, menurut kiai Syahrullah, perintah berpuasa  mudah diterima dan dijalankan oleh kaum beriman, bahkan disambut dengan sukacita (tarhib ramadhan). 

Lebih lanjut kiai Syahrullah yang juga Wakil Sekjen Pengurus Pusat Hebitren Indonesia mengatakan dalam Al Arkan Al Arba'ah, Abu al Hasan Ali Nadvi menguraikan bahwa perintah puasa mengandung latihan dan pendidikan, perbaikan dan penyucian, dan menjadi wadah penempaan moral (madrasah khuluqiyah). Dengan berpuasa, seseorang akan menghindari hal yang dilarang dan merusak keutamaan puasa.   

Al-Jurjani dalam kitab al Ta’rifat memaknai puasa secara etimologis sebagai menahan (imsak), sedangkan makna terminologisnya yaitu menahan dalam bentuk khusus yaitu dari makan, minum, bersetubuh, dari subuh hari hingga magrib yang disertai niat. 

"Redaksi definisi puasa ini banyak ragamnya dalam referensi fikih yang muktabar, meski substansinya sama, yaitu upaya menahan dari yang dapat merusak puasa dan hadirnya niat di dalamnya. Kedua komponen inilah yang menjadi rukun puasa," katanya.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Berita Terpopuler